KH Heru Ivan Elyasa, Ulama Aswaja Mojokerto, Jatim, kembali mendapatkan ujian karena sikap kritisnya dalam berdakwah. Kyai Elyasa, begitu beliau kerap dipanggil, aktif mengadakan pengajian di kediamannya yang dihadiri ribuan peserta. Kyai Elyasa sering mengangkat tema-tema kajian tentang persoalan yang menimpa umat manusia, ketidakadilan, kedholiman sebagai bagian dari dakwah amar makruf nahi mungkar kepada penguasa.
Kemarin Kamis, 15 Agustus 2019, Penyidik Polres Mojokerto tiba-tiba menyatakan berkas P-21 dan dilakukan pelimpahan pada hari Kamis (15/8). Kasus ini bermula di bulan Juni 2018, dimana Kyai Heru Elyasa, dalam status facebooknya 17-21 Juni 2018 mengunggah dengan menggunakan akun heruivan123@gmail.com.
Unggahan berupa dakwah amar Ma’ruf Nahi Munkar ditafsirkan sebagai ujaran kebencian oleh aparat. Beliau, dijerat pasal pukat harimau UU ITE, yakni pasal 28 ayat (2) Jo pasal 45 ayat (2) UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Padahal pasal ini tidak pernah digunakan untuk menyasar aktivis atau tokoh lain yang berpihak pada rezim.
Detik.com, Kamis 15 Agustus 2019 dalam situsnya mengupload berita sebagai berikut:
“Mengapa HTI dihadapkan melawan banser? Karena hanya banser yang bisa dipakai untuk menggebuk saudara seiman”. Kemudian tanggal 18 Juni 2018 “PBNU, BANSER, ANSOR tegakkan hukum Allah tinggalkan pertemanan dengan teroris Yahudi”. Sementara status pada 21 Juni 2018 “setelah lama berinteraksi di dumai dari semua teman FB saya yang menyerang ide KHILAFFAH ternyata ada 2 aktifis ISIS dan pemuda NU”.
“Akibat unggahan statusnya tersebut, Eks pentolan HTI Jatim itu dilaporkan ke polisi oleh Ali Muhammad Nasir, Ketua Cabang GP Ansor Kabupaten Mojokerto pada 23 September 2018. Oleh polisi, Heru lantas ditetapkan sebagai tersangka karena dinilai melanggar Pasal 45A juncto Pasal 28 ayat (2) UU RI No 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 11 tahun 2008 tentang ITE”. (Detik.com/15/8).
Ahmad Khozinuddin, Pengacara Kyai Heru Elyasa dari LBH Pelita Umat Jakarta, menanggapi berita miring tentang kliennya ini menyatakan
“Sejumlah media melakukan pemberitaan tidak beretika dalam kasus ini. Nomenklatur hukum terhadap proses ini adalah penahanan. Kenapa menggunakan diksi ‘dijebloskan penjara’? Tidakkah lebih beretika dan sesuai fakta hukum menggunakan diksi ‘ditahan’? Apakah media, juga sedang menjalankan misi rezim untuk mengalienasi ulama dari umat?”, demikian penjelasan Khozinuddin dalam pernyataan hukumnya.
“Kasus yang sudah lama ini, sempat mereda saat menjelang Pilpres. Namun setelah Pilpres kasus Kyai Heru Elyasa ini diangkat kembali. Tiba-tiba saja, tiga hari yang lalu Penyidik Polres Mojokerto menyatakan berkas P-21 dan dilakukan pelimpahan pada hari Kamis (15/8). Tanpa mengindahkan permohonan penangguhan dan jaminan tokoh dan ulama untuk Kyai Heru Elyasa, Kejaksaan Negeri Mojokerto menahan Kyai Heru Elyasa untuk 20 hari ke depan”, terang Khozinuddin.
Terus berlanjutnya kasus kriminalisasi ulama, ajaran islam dan simbol-simbol Islam, semakin membuktikan bahwa rezim saat ini anti Islam. Tindakan dan kebijakannya yang hanya menyasar organisasi islam, aktivis Islam, kyai, ustad yang kritis, menyuarakan dakwah amar makruf nahi mungkar terhadap rezim, menjadi targetnya.
Rezim berupaya memadamkan cahaya kebangkitan Islam yang disuarakan oleh para ulama, ustad dan organisasi islam, namun upaya itu akan sia-sia. Tindakan justru akan membuat umat islam semakin gigih berjuang menyambut kemenangan Islam. Karena hadirnya khilafah adalah berkah bagi umat manusia, yang akan memberikan kesejahteraan dan keadilan. Mengakhiri kedholiman rezim beserta sistem pemerintahan kapitalis liberal yang telah menyengsarakan umat manusia, yang tidak memanusiakan manusia.
Para ulama, ustad dan organisasi Islam berdakwah amar makruf nahi mungkar hanya menginginkan umat ini menjadi hamba yang taat, dengan tunduk kepada Allah SWT melalui penerapan syariah Islam secara kaffah.[]