Mediaumat.news – Menyikapi kasus persekusi dan kriminalisasi Habib Rizieq Shihab (HRS), Pakar Hukum Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. mengatakan bahwa equality before the law (persamaan di depan hukum) itu hanya mitos.
“Kalau kita melihat apa yang terjadi itu seolah membetulkan bahwa equality before the law (persamaan di depan hukum) itu just a myth, jadi itu hanya mitos yang dibuktikan kesehariannya itu kebohongannya,” ujarnya dalam acara Forum Group Discussion (FGD): Mewaspadai Rekayasa Tuntutan atas HRS dkk & Zionis Nusantara, Sabtu (29/5/2021) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD).
Ia memandang, dalam penanganan kasus HRS itu ada eksploitasi hukum untuk kepentingan politik. Sebab sejak awal memang terkesan ada unfair trial (peradilan yang tidak jujur) dalam penanganan kasus tersebut, mulai dari penetapan tersangka sampai penahanan.
Padahal terkait penahanan itu, kata Prof. Suteki, menyangkut delik pidana yang ancamannya lima tahun penjara, sedangkan dalam kasus HRS ini kan hanya melanggar protokol kesehatan yang sanksinya adalah denda dan dendanya pun sudah dibayar sebesar lima puluh juta rupiah. Sementara permintaan pra peradilan dan penangguhan penahanan juga ditolak.
Menurut Prof. Suteki, kalau memang konsekuen pelanggaran prokes itu dipidana, maka banyak pelanggaran prokes yang dilakukan pejabat tinggi negara termasuk Presiden sendiri saat di NTT, mestinya juga dipidana.
Dan terkait rekayasa tuntutan HRS dan resonansi agresi Israel ke Palestina ini, menurut Prof. Suteki, ada titik kesamaannya, yaitu dipertontonkannya ketidakadilan, penindasan dan juga perampasan oleh yang kuat kepada yang lemah.
Maka solusi dari ketidakadilan, penindasan dan perampasan oleh yang kuat kepada yang lemah tersebut, menurut Prof. Suteki, solusinya memang harus berupa solusi sebab, dan solusi sebab itu berarti solusinya ke akar atau radikal.
“Oleh karena itu kalau mau solusi radikal ya bukan mengganti sopir saja, kendaraannya ya diganti, jadi apa? Sistemnya yang diganti,” tegasnya.
Prof. Suteki menyayangkan, ketika ada masyarakat yang menginginkan solusi radikal sistematis ini langsung dituding orang yang radikal dan harus diberikan sanksi.
Ia merasa aneh, bahwa 87,19 % Indonesia itu penduduknya Muslim, tapi ketika mau menjalankan atau menerapkan sistem pemerintahan Islam, maka akan dikuyo-kuyo, distempeli tidak setia pada Pancasila, bahkan disebut tidak setia pada NKRI dan seterusnya.
Padahal kalau mau jujur, kata Prof. Suteki, mestinya yang mayoritas itu pegang kendali, katakanlah dalam demokrasi saja umat Islam itu mayoritas, kalau mau umat Islam bisa menang. Tapi justru yang merusak itu bukan orang dari luar, umat Islam sendirilah yang merusak.
“Kenapa kita enggak bersatu? Dari kita sendiri, bukan dari orang lain atau pihak luar,” pungkasnya.[] Agung Sumartono