Korban Demokrasi, Stres dan Ngamuk

Di Sampang, Madura, Muhammad Taufiq (50) caleg dari PKS kecewa dan marah karena perolehan suaranya minim.

Korban-korban pesta demokrasi mulai muncul. Mereka bukan konstituen, tapi para calon wakil rakyat yang gagal menjadi legislator. Mereka yang telah memproklamirkan diri sebagai caleg, memasang foto di mana-mana, serta mengumbar janji serta mengeluarkan uang banyak, ternyata tak terpilih. Banyak di antara mereka yang menanggung utang dan malu. Jadilah mereka stres.

Poliklinik Kejiwaan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) WZ Johannes Kupang, Nusa Tenggara Timur, memeriksa dua caleg yang diduga mengalami gangguan kejiwaaan. Mereka memeriksakan kondisi kejiwaannya setelah mengetahui dirinya kalah pada pemilu legislatif 9 April 2014.

Pihak rumah sakit merahasiakan identitas kedua caleg. Dua caleg itu masing-masing mencalonkan diri menjadi anggota DPRD Kota Kupang dan DPRD Provinsi NTT. Keduanya diantar keluarga masing-masing ke rumah sakit.

“Suami saya terguncang karena sudah mengeluarkan banyak uang untuk membiayai pencalonan, ternyata tidak terpilih,” kata istri salah satu caleg yang menolak namanya ditulis, Sabtu, 12 April 2014.

Di Sampang, Madura, Muhammad Taufiq (50) caleg dari PKS kecewa dan marah karena perolehan suaranya minim. Pria ini ditemani Asmad (50) tiba-tiba keluar dari rumah dan mendatangi TPS 2 Dusun Cekocek, Desa Bierem, Kecamatan Tambelangan, Kabupaten Sampang.

Saat itu, petugas baru saja merampungkan penghitungan suara. Tanpa permisi, Taufiq dan Asmad langsung mengambil paksa sebuah kotak suara di TPS tersebut.

“Merasa tidak puas dengan hasil perhitungan suara, kedua pelaku pergi ke TKP dan mengambil kotak suara secara paksa, kemudian dibawa ke rumah saudara Taufik,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Ronny F Sompie sambil menambahkan bahwa kedua pelaku kemudian diamankan Panwascam Tambelangan.

Ulah keterlaluan lainnya yang dilakukan caleg yang gagal yakni dengan menarik kembali bantuan yang telah diberikan pada masyarakat. Pembangunan mushala di RT 2 RT 2 Desa Majan, Kecamatan Kedung Waru, Tulungagung, bisa jadi akan terhambat. Pasalnya, material bantunan Haji Miftahul Huda, seorang caleg Partai Hanura ditarik kembali, gara-gara dia kecewa karena perolehan suaranya pada pemilu legislatif 9 April lalu di luar harapan.

Material berupa 2000 batu bata, 10 zak semen dan satu truk pasir memang diberikan Miftahul Huda untuk pembangunan mushala saat masa kampanye lalu melalui salah satu tim suksesnya. Namun Miftahul menarik kembali sumbangan ini, karena di tempat ini dia hanya memperoleh 29 suara di RT 2 RW 2 Desa Majan.

Penarikan bantuan gara-gara caleg gagal juga terjadi di Sulawesi Tenggara. Seorang kepala desa di Kabupaten Kolaka menyegel sebuah sekolah Taman Kanak-kanak dan Tempat Pendidikan Anak Usia Dini. Bahkan mengancam akan mengusir seluruh guru dan kepala sekolahnya setelah dua orang caleg titipan sang kades kalah di TPS dusun ini.

Menurut Kepala Sekolah TK, Darma, dua caleg titipan kades yakni dari Partai PKPI dan PDIP gagal memperoleh cukup suara. Akibat penyegelan ini sebanyak 27 siswa TK terpaksa belajar di rumahnya masing-masing

Lain lagi dengan Witarsa, sehari pascapencoblosan lelaki ini dibawa anggota keluarganya ke sebuah padepokan di Desa Sinarancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Caleg dari Partai Demokrat untuk Dapil Jabar X ini mengalami stres akibat perolehan suaranya sangat minim, sehingga gagal menjadi anggota DPRD Jawa Barat. Padahal, modal yang dikeluarkannya sangat besar.

Ketika dibawa ke padepokan itu, Witarsa masih mengenakan seragam Partai Demokrat. Dia menjalani pengobatan di padepokan dengan cara dimandikan dulu, lantas dibacakan ayat-ayat suci Alquran.

Pemilik Padepokan al-Bustomi, Ujang Busthomi mengatakan sudah tujuh orang Caleg yang datang di Padepokannya dan rata-rata mereka depresi tingkat rendah hingga sedang.”Mereka mengaku pusing, finansial sudah keluar besar tapi takut tak menang,” ujarnya.

Di Papua, caleg Partai Amanat Nasional (PAN), Anselmus Petrus Youw, nekat menutup jalan masuk Perumahan Satpol PP dengan balok kayu, karena warga setempat tidak memilih dirinya saat Pemilu 2014.

“Benar, Anselmus memblokir perumahan karena warga setempat tidak memilih dia,” kata anggota Panitia Pengawas Pemilu Distrik Nabire, Micky sambil menambahkan bahwa mantan Bupati Nabire itu merasa kecewa karena sudah memberikan tanahnya untuk pembangunan perumahan, namun warga setempat tidak mencoblosnya.

Bersama puluhan pendukungnya, dia menutup gapura masuk perumahan di Kampung Wadio, Kelurahan Bumi Wonorejo, Nabire, Papua. Mereka merusak pangkalan ojek dan kantor kepala desa. Massa juga sempat mengancam petugas TPS dan ketua RT setempat agar perolehan suara caleg yang didukungnya lebih banyak.

“Beberapa orang masuk rumah sakit,” kata Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Sulistyo Pudjo. Warga setempat ketakutan. Mereka tak berani keluar rumah. Situasi mereda setelah aparat keamanan bersiaga di lokasi.

Di Bangkalan, nyaris terjadi pertumpahan darah. Kejadian itu berlangsung di Dusun Shebuh, Desa Tobadung, Kecamatan Klampis. Kejadian bermula ketika caleg NasDem, Abdul Azis, mengecek TPS 3 di Dusun Shebah. Gerak-gerik Aziz dicurigai oleh H Halim yang merupakan caleg dari Gerindra.

Perselisihan terjadi di antara kedua caleg tersebut. Halim mengeluarkan celurit yang dibawanya dan menantang duel Abdul Azis. “Namun dapat dipisahkan oleh Kapolsek, Kasat Narkoba, sehingga mereka bisa menahan diri dan didamaikan,” kata Kadiv Humas Ronny F Sompie.

Di Banda Aceh, para caleg yang gagal bersembunyi di rumah ketua partai. Enam calon wakil rakyat lokal tak berani pulang ke rumah. Alasannya, mereka belum bisa membayar uang saksi yang diordernya menjaga TPS.

Salah satu caleg, Junaidi, mengaku kerap mendapat telepon dan menerima pesan singkat dari para saksi. Ia sebenarnya ingin melunasi honor saksi. Hanya saja, ia tidak punya uang. Apalagi, berdasarkan penghitungan suara internal, ia kalah. “Sekarang kami terpaksa harus menginap di rumah ketua partai,” ujarnya.

Caleg non anggota legislatif memang rentan mengalami depresi pasca Pemilu 2014. Sebab hampir seluruh biaya kampanye sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Pemilu Nomor 8 tahun 2012, dibebankan pada caleg yang maju.

Demokrasi Bikin Gila

Pengamat sosial Iwan Januar menilai banyaknya caleg yang stres dan bertingkah aneh ketika gagal dalam pemilu disebabkan karena demokrasi sistem politik yang tidak manusiawi.

“Sistem ini membuat orang memuja jabatan dan materi, akhirnya mereka menjadi depresi karena besarnya modal yang telah dikeluarkan,” ujarnya kepada Media Umat.

Hal yang sama ditegaskan Pengamat Politik Suswanta Abu Alya. Menurutnya rincian kampanye yang menghabiskan 200 juta sampai 6 milyar rupiah, dengan biaya yang sangat besar itu memaksa para caleg memutar otak untuk mencari dana memenuhi biaya kampanye yang sangat besar.

“Hal ini membuat para caleg harus jor-joran mengeluarkan biaya politik untuk meraih kekuasaan, hingga harus mencari cukong membantu mereka” terangnya kepada Media Umat.

Suswanta menambahkan kondisi ini sangat mengerikan sebab para cukong pasti akan menagih janji untuk mengembalikan modal hingga dipikiran para caleg hanya money. “Kalah jadi gila terlilit hutang, menang jadi gila dunia,” pungkasnya.[] fatih dari berbagai sumber.

Share artikel ini: