Kontroversi Gelar Doktor Bahlil, Chusnul Mar’iyah: Ini Cuma Satu dari Banyak Kasus

Mediaumat.info – Menanggapi kontroversi gelar doktor yang diperoleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dari Universitas Indonesia (UI) hanya dalam waktu relatif singkat, Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia Dra. Chusnul Mar’iyah, mengatakan, itu hanya satu dari sekian banyak kasus yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia.

“Ini sih bukan hal baru di dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kasus Bahlil menurut saya, ini cuma satu kasus dari banyak kasus,” tuturnya dalam video Dosen UI Bongkar Modus Obral Gelar Doktor di Perguruan Tinggi, Kamis (24/11/2024) di kanal YouTube Abraham Samad Speak Up.

Ia mengungkapkan bahwa fakta semacam ini sudah ada sejak lama. Sebelumnya juga pernah ada menteri dan gubernur yang dalam jangka waktu tidak sampai dua tahun sudah bisa mendapat gelar doktor.

“Saya enggak mau cuma ngomong sekadar Bahlil. Karena kerusakan ini sudah nasional di dalam konteks sistem pendidikan kita,” ungkapnya.

Menurutnya, masalah itu tidak hanya terjadi di Universitas Indonesia (UI) tetapi juga terjadi di berbagai perguruan tinggi lainnya seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Riau (UNRI) dan di perguruan tinggi negeri terkemuka lainnya.

“Berantakannya perguruan tinggi itu cerminan berantakannya negara,” tukasnya.

Terkait mudahnya gelar didapatkan para pejabat, ia mengatakan sebenarnya sudah mempersoalkan hal ini selama 25 tahun lalu. Namun selalu berbenturan dengan regulasi hingga implementasi pemerintah.

Alih-alih menjaga dan memperjuangkan kualitas, lanjutnya, yang terjadi justru komersialisasi pendidikan yang tidak terhindarkan.

“Menurut saya sudah kompleks persoalan pendidikan ini. Dari mulai SDM-nya, administrasinya, intact-nya (integral),” ujarnya.

Ia mengatakan, seharusnya perguruan tinggi menjadi tempat penjaga dan mempertahankan etika moral, artinya siapa pun mahasiswanya adalah sama, tidak ada yang lebih diistimewakan.

“Mau pejabat, mau apa ya kita sama aja. Di sini adalah Anda kuliah, Anda belajar, Anda baca buku. Tidak kemudian karena Anda pejabat, Anda punya duit, terus Anda bisa seenaknya saja. Tapi kan enggak semua prodi begitu. Ada juga yang menerima pejabat karena ada materialisme dunia ini,” bebernya.

Sebetulnya, lanjutnya, perlu ada revolusi untuk membedah kurikulum pendidikan negeri ini.

Selain itu, tambahnya, hal lain yang harus diperhatikan adalah isu leadership (kepemimpinan), pemimpin harus bisa menjadi teladan bagi rakyatnya.

“Kalau Anda jadi pejabat tertinggi, misalnya presiden, wakil presiden sekolahmu aja enggak jelas, kira-kira gimana pejabat yang lainnya?” katanya.

Ia kemudian mengingatkan semboyan Ki Hajar Dewantara tentang prinsip mendasar dalam pendidikan, “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karsa, Tut wuri handayani (Di depan memberi contoh, di tengah-tengah membangun semangat, dari belakang memberi dorongan).”

“Banyak hal yang harus diperbaiki. Revolusi kebudayaan, revolusi pendidikan, tapi intinya di mana? Leadership (kepemimpinan),” ucapnya.

Dari segi moral pun demikian, terangnya, harusnya jangan pisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Karena nilai moral tertinggi itu adalah agama.

Menurutnya, jika para pemimpin menganut nilai moral sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan), maka tidak ada rasa takut dengan Yaumul Hisab, tidak menyadari bahwa segalanya kelak akan ada pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta.

“Saya juga pasti nanti ditanya oleh Allah pada saat Yaumul Hisab, ‘Jadi dosen kamu ngapain aja, mahasiswamu seperti apa, ngajarin yang benar atau enggak?’ walaupun dianggap akademisi fundamentalis karena menyebut-nyebut ayat Al-Qur’an,” pungkasnya. [] Tenira

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: