Mediaumat.id – Hasil laporan investigasi yang disusun oleh Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) mengenai Tragedi Kanjuruhan pada Sabtu (1/10) lalu, dinilai seharusnya mengkonstruksikan sebagai pelanggaran HAM berat, bukan pidana biasa.
“TGIPF seharusnya sejak awal mengkonstruksikan Tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM yang berat, bukan sebagai pidana biasa,” ujar Ketua Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andi Muhammad Rezaldy kepada Mediaumat.id, Selasa (18/102022).
Pasalnya, apabila hal itu didasarkan fakta-fakta yang ada diduga terjadi serangan yang sistematis. “Diduga terjadi serangan secara sistematik oleh aparat keamanan terhadap penduduk sipil yang berpotensi terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana ditegaskan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,” ulasnya.
Maka, ia pun menyayangkan, hasil laporan TGIPF ternyata tidak memberikan kesimpulan dan rekomendasi tegas terkait dugaan kejahatan sistematis yang dilakukan aparat keamanan.
Padahal sekali lagi, terdapat sejumlah fakta yang mengarah pada aktor level tinggi yang berpotensi pada pelanggaran HAM berat serta dugaan tindak pidana menghalang-halangi atau merintangi proses hukum (obstruction of justice) yang menurutnya perlu diusut lebih jauh.
Tidak Tegas
Lebih lanjut, ia juga menyayangkan seputar ketidaktegasan TGIPF dalam memberikan poin desakan berupa rekomendasi yang ditujukan kepada institusi keamanan, yaitu institusi Polri dan TNI.
“Berkenaan dengan institusi Polri misalnya, TGIPF seolah-olah menutup mata bahwa ada pertanggungjawaban hukum atasan dalam penggunaan kekuatan,” beber Andi.
Artinya, terkait laporan yang menyebutkan adanya dugaan penembakan gas air mata yang dilakukan di luar komando, menurutnya tetap seorang komandan atau pimpinan dari kesatuan tersebut bertanggung jawab secara hukum,
Sebab, kata Andi, berdasarkan wewenang yang dimiliki, komandan dimaksud tidak melakukan upaya kontrol dan pencegahan sedemikian rupa kepada bawahannya sehingga mengakibatkan korban jiwa.
Tak hanya itu, ia dan tim KontraS juga menyoroti dugaan tindak obstruction of justice yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian.
Hal tersebut, terangnya, tampak dari keterangan sejumlah pihak yang diperoleh TGIPF yang pada intinya menyatakan, cctv di areal stadion dilarang untuk diunduh dan diduga ada upaya dari kepolisian untuk mengganti rekaman dengan yang baru.
“Itu sejalan dengan temuan TGIPF yang menyatakan hilangnya durasi rekaman cctv yang kemudian menyulitkan TGIPF dalam melakukan penelusuran fakta,” kata Andi.
Namun lagi-lagi ia menyesalkan, TGIPF tidak menjadikan temuan tersebut sebagai poin desakan untuk dapat diselidiki lebih lanjut.
Sementara sebagaimana dipahami, dugaan tindak obstruction of justice merupakan bagian dari tindak kejahatan yang harus diusut secara tuntas.
Selain soal institusi Polri, TGIPF juga tidak begitu tegas berkaitan dengan membuat poin desakan terhadap institusi TNI. “TGIPF dalam poin desakannya tidak mengurai pertanggungjawaban komando yang seharusnya ikut bertanggung jawab secara hukum terkait peristiwa kekerasan yang terjadi,” singgungnya.
Sedangkan merujuk laporan TGIPF, diketahui Pangdam V/Brawijaya mengerahkan 361 prajurit bawah kendali operasi (BKO) untuk mengamankan pertandingan Arema vs Surabaya berdasarkan Surat Tugas Nomor: ST/1279/2022 tertanggal 26 Juli 2022.
Lantaran itu berdasarkan keputusan Pangdam V/Brawijaya yang mengerahkan para prajuritnya, ia memberikan catatan khusus karena diduga melanggar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pertama, TNI tidak memiliki tugas dalam pengamanan pertandingan olahraga. Kedua, bahwa yang berwenang mengerahkan prajurit TNI adalah Presiden dengan persetujuan DPR RI. “Tetapi, sayangnya masalah tersebut tidak dijadikan sebagai poin yang seharusnya dievaluasi lebih lanjut,” sesalnya lagi.
Berdasarkan itu semua, ia pun berpendapat bahwa TGIPF memang tampak tidak tegas. “Kami khawatir hal tersebut berdampak pada tidak tuntasnya penyelesaian dugaan kejahatan sistematis yang terjadi di Stadion Kanjuruhan beberapa waktu lalu,” pungkasnya.[] Zainul Krian