KontraS Sebut Komitmen Pemerintah Hapus Penyiksaan Minim

 KontraS Sebut Komitmen Pemerintah Hapus Penyiksaan Minim

Mediaumat.info – Makin tingginya jumlah peristiwa penyiksaan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam di Indonesia, menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menunjukkan masih minimnya komitmen pemerintah terhadap penghapusan penyiksaan tersebut.

“Menunjukkan bahwa komitmen Indonesia terhadap penghapusan penyiksaan masih sangat minim,” demikian laporan terbaru dari KontraS terkait situasi penyiksaan 2024 bertajuk Normalisasi dan Berulangnya Kultur Kekerasan dalam Penegakan Hukum yang diterima media-umat.info, Senin (12/8/2024).

Artinya, penyiksaan masih menjadi praktik buruk yang umum terjadi dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Atau dalam hal ini penyiksaan digunakan sebagai alat untuk mengejar pengakuan dari korban.

Sebutlah kasus dugaan penyiksaan yang menyebabkan kematian terhadap Afif Maulana di Padang, penyiksaan oleh terduga anggota TNI yang menyebabkan kematian terhadap Mikael H. Sitanggang di Medan, serta penyiksaan oleh aparat kepolisian kepada I Wayan Suparta di Klungkung, Bali.

Selain itu, pemantauan yang dilakukan pada Juni-Agustus 2024 KontraS juga menemukan adanya 9 peristiwa penyiksaan yang menyebabkan 29 orang terluka dan 1 orang tewas. 15 di antara 30 orang tersebut merupakan anak di bawah umur.

Maknanya, paling tidak 10 orang menjadi korban penyiksaan setiap bulannya pada rentang Juni-Agustus 2024. Sehingga KontraS pun memandang hal ini sebagai gejala normalisasi terhadap kekerasan oleh aparat.

Padahal, pendekatan dengan kekerasan dan penghukuman yang kejam telah dilarang dengan tegas dalam sistem hukum Indonesia. Di antaranya berdasarkan Pasal 28I UUD 1945 hak untuk bebas dari penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights). Ketentuan serupa, masih menurut KontraS, juga termaktub dalam Pasal 4 UU 39/1999 Tentang HAM.

Ditambah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan melalui UU 5/1998 dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU 12/2005.

“Dari dua perjanjian internasional tersebut, secara tegas mengatur bahwa hak untuk bebas dari penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apa pun,” urainya.

Tak ayal kondisi masih kentalnya kultur kekerasan di kalangan aparat dalam tubuh institusi keamanan serta penegakan hukum di Indonesia ini menjadi bukti nyata pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara.

Rekomendasi

Maka, KontraS merekomendasikan setidaknya empat poin terkait temuan tersebut. Pertama, pengawasan dan akuntabilitas terhadap aparat penegak hukum, khususnya penjatuhan sanksi pidana dan etik kepada aparat yang terbukti melakukan penyiksaan.

Kedua, negara memberikan perlindungan yang komprehensif bagi korban penyiksaan, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan, hukum, dan psikososial.

Ketiga, melakukan reformasi menyeluruh terhadap sektor keamanan, termasuk perubahan paradigma dari pendekatan keamanan berbasis kekerasan menjadi pendekatan keamanan berbasis HAM.

Keempat, melakukan ratifikasi secara menyeluruh terhadap perjanjian internasional terkait penyiksaan khususnya Optional Protocol to the Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (OPCAT). [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *