KontraS Desak Kejagung Kembali Tindaklanjuti Peristiwa Wasior

 KontraS Desak Kejagung Kembali Tindaklanjuti Peristiwa Wasior

Mediaumat.info – Memperingati 23 tahun Peristiwa Wasior, Manokwari, Papua, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali mendesak Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti peristiwa yang terjadi pada 13 Juni 2001 silam itu.

“Memerintahkan Jaksa Agung untuk membentuk Tim Penyidik ad hoc sebagai tindak lanjut penyelidikan Peristiwa Wasior,” ujar Kordinator Badan Pekerja KontraS Dimas Bagus Arya dalam pers rilis KontraS yang diterima media-umat.info, Kamis (13/6/2024).

Tak hanya itu, terkait berbagai pelanggaran HAM berat yang telah KontraS laporkan ke Komnas HAM pun diharapkan ditindaklanjuti sesuai amanat Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, yaitu terbentuknya pengadilan HAM di Papua demi penegakan dan perlindungan HAM bagi masyarakat Papua.

Dengan kata lain, di tengah slogan All Eyes on Papua yang dalam sepekan terakhir mencuat tak lama setelah unggahan All Eyes on Rafah viral di media sosial, seruan yang berarti ‘semua mata mengarah ke Papua’ ini menarik perhatian publik, termasuk Kontras, mengenai situasi ketidakadilan yang tengah terjadi di tanah Papua, termasuk di Wasior.

Peristiwa Wasior bermula dari terbunuhnya lima anggota Brimob dan seorang warga sipil di base camp perusahaan CV. Vatika Papuana Perkasa (VPP) di Desa Wondiboi, Distrik Wasior, pada 13 Juni 2001 dini hari.

Menurutnya, penyerangan ini adalah buntut dari tuntutan terhadap hak ulayat masyarakat adat ke CV. VPP yang tidak diindahkan. Pasukan dari Polres Manokwari, Biak, Jayapura, dan Sorong kemudian diterjunkan ke Distrik Wasior dan mulai melakukan pencarian pelaku yang diketahui membawa lari enam pucuk senjata dari anggota Brimob yang tewas.

Namun, berdasarkan penyelidikan Tim ad hoc Papua Komnas HAM, anggota kepolisian malah diketahui telah melakukan pembunuhan terhadap empat orang, penyiksaan terhadap 39 orang, perkosaan kepada satu orang, dan penghilangan secara paksa terhadap empat orang masyarakat sipil selama proses pengejaran ini.

Kata Dimas, pada tahun 2003 Komnas HAM sebenarnya telah menyelesaikan proses penyelidikan pro-justitia-nya terhadap Peristiwa Wasior dan menyerahkannya ke Jaksa Agung.

Namun dengan alasan klise yakni belum terpenuhinya kelengkapan atau syarat-syarat suatu peristiwa untuk dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran berat HAM, baik pada syarat formil maupun materiil, proses ini pun mandek.

Karena itu, sebagaimana desakan sebelumnya, pemerintah harusnya membentuk perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) demi penegakan dan perlindungan HAM di Papua, sesuai Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU No. 21/2001 yang telah direvisi melalui UU No. 2/2021),

“Tekanan forum internasional pun tampaknya tidak mendorong upaya penyelesaian yang berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran berat HAM di Papua, termasuk Peristiwa Wasior,” sambungnya.

Sekadar ditambahkan, dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) PBB pada tahun 2017, pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di Papua.

Tetapi hingga pelaksanaan sidang UPR berikutnya pada Desember 2022 lalu, belum ada tindakan yudisial yang berarti dari pemerintah. Padahal, berdasarkan pemantauan KontraS, kata Dimas, berbagai macam pelanggaran HAM terus berlanjut terhadap orang asli Papua.

Tidak Serius

Lantas terlepas banyaknya korban dalam Peristiwa Wasior, pemerintah malah terus menunjukkan ketidakseriusan untuk menghormati dan melindungi hak asasi masyarakat Papua.

Hal ini tampak dari pemberian bantuan materialistik yang tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan standar pemulihan yang efektif berdasarkan standar hukum internasional, sehingga pemerintah terkesan sedang ‘cuci tangan’.

“Penyelesaian ini cenderung dijadikan sebagai ajang cuci tangan untuk mengabaikan proses yudisial kasus pelanggaran berat HAM,” sebut Dimas.

Terlebih, pemerintah tak kunjung mengevaluasi pendekatan keamanan yang digulirkan di Papua melainkan terus-menerus mengerahkan pasukan berupa 1.142 Polri dan 6.388 personel TNI yang menurutnya, justru berpotensi besar menciptakan iklim ketakutan dan pembungkaman bagi masyarakat sipil serta praktik kekerasan yang terus berulang.

Pun demikian wacana penambahan Komando Daerah Militer (Kodam) seperti yang disampaikan oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, juga dipandangnya bakal memperburuk potensi iklim ketakutan serta melanggengkan militerisme di Papua. Sementara, kekayaan alam, hutan adat dan hak-hak masyarakat adat lainnya terus dikeruk tanpa mengedepankan kepentingan orang asli Papua.

Untuk itu, kembali Dimas menegaskan, pentingnya evaluasi pendekatan keamanan di Papua sebagai langkah awal untuk membangun dialog dan menyelesaikan konflik secara damai. serta menjamin hak asasi orang asli Papua, termasuk hak hidup, hak ulayat masyarakat hukum adat, hak untuk berekspresi maupun hak untuk berkumpul secara damai. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *