Kontras: Banyak yang Menilai Rezim Jokowi Mirip Orde Baru
Pemerintahan Joko Widodo dinilai semakin jauh dari perjuangan menegakkan hak asasi manusia di masa lalu.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma justru menyebut, rezim Jokowi mirip dengan Rezim Orde Baru.
“Selama ini banyak masyarakat menilai rezim hari ini hampir mirip orde baru. Kritik dikriminalisasi, diskusi dibubarkan, lahirnya kebijakan berujung pada represif,” kata Feri dalam jumpa pers peringatan 33 tahun peristiwa berdarah Tanjung Priok, di Kantor Amnesty International Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (11/9/2017).
Feri mengatakan, tiga tahun pemerintahan Jokowi berjalan, belum terlihat adanya arah positif terkait penyelesaian kasus HAM berat masa lalu. Padahal, saat kampanye Pemilihan Presiden 2014 Jokowi berjanji bakal menuntaskan kasus-kasus tersebut.
Feri justru menilai ada upaya mencap orang-orang yang kritis terhadap pemerintah dengan stempel anti Pancasila.
“Kami berharap unit kerja presiden pemantapan ideologi pancasila (UKP-PIP) yang baru dibentuk kemarin tidak mengulang sejaeah masa lalu. Dimana monopoli Pancasila hanya milik negara, milik pemerintah,” kata dia.
Impunitas, sambung Feri, semakin tebal di era Jokowi. Bahkan, aktor-aktor yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu justru mendapatkan posisi strategis di dalam pemerintahan. Salah satunya adalah Menteri Koordinator Hukum dan Kemananan Wiranto.
“Kami tahu di banyak dokumen termasuk dokumen resmi Komnas HAM Wiranto aktor yang bertanggung jawab dalam beberapa kasus pelanggaran HAM Orde Baru,” ujarnya.
Oleh karena itu, di momen peringatan 33 tahun Peristiwa Tanjung Priok yang jatuh pada esok hari, Feri mengingatkan pemerintah agar menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 12 September 1984 itu.
“Momen ini kita harapkan pesan sampai pada presiden untuk serius menindaklanjutinya dan tidak melimpahkan pada Menko Polhukam yang kita nilai tidak bisa memproses penegakkan HAM secara transparan,” ujarnya.
Berdasaarkan catatan Amnesty International Indonesia, peristiwa Priok berdarah terjadi saat 1500 orang berdemonstrasi menuntut pihak militer untuk membebaskan empat orang yang ditahan. Namun, pasukan bersenjata menembaki mereka hingga menewaskan paling tidak 23 orang tewas dan lainnya ditahan serta disiksa.
Komnas HAM menyatakan peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat. Pengadilan hak asasi manusia ad-hoc untuk menuntaskan kasus Tanjung Priok sudah dilakukan. Sebab, 14 orang tersangka dinyatakan bebas oleh Mahkamah Agung.
Jaksa Agung juga tidak menuntut pemberi komando sebagai pihak bersalah sesuai laporan Komnas HAM.
Sumber: kompas.com (11/9/2017)