Kontinum Inspirasi

 Kontinum Inspirasi

Siapapun belajar aljabar dan algoritma, sanadnya sampai Imam Al-Khawarizmi, sekalipun tidak ditulis.

Ditulis Oleh: Prof. Dr. Fahmi Amhar | Anggota Ikatan Alumni Program Habibie |Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial.

Belum lama ini ada tokoh yang bertanya retoris, “Mana yang lebih besar perannya dalam berdirinya NKRI? Nabi Muhammad atau Bung Karno?” Tentu saja semua orang tahu bahwa proklamator Republik Indonesia adalah Bung Karno, bukan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad sudah lebih dari 1000 tahun wafat bahkan sebelum kepulauan Nusantara ini sempat dijajah.

Namun pertanyaan yang mungkin saja berniat agar umat Islam di negeri ini juga menghargai pahlawan nasionalnya, tidak hanya tokoh agamanya, itu oleh sebagian umat Islam akan dirasakan bernada merendahkan Nabi, menistakan agama.

Apalagi pelakunya juga bukan baru sekali ini melakukan perbuatan kontroversial serupa. Tak heran bila kemudian terjadi kegaduhan.

Pertanyaan semacam itu, tidak perlu dilontarkan bila orang paham konteks sejarah. Semua yang terjadi di dunia ini ada dalam sebuah kontinum, yakni rangkaian, keterkaitan dan keberlanjutan. Nabi Muhammad memang tidak terlibat langsung dalam berdirinya NKRI.

Namun bila orang paham, bagaimana rakyat Aceh semangat berwakaf untuk membelikan pesawat bagi Republik Indonesia, atau bagaimana arek-arek Suroboyo bersedia mati syahid setelah ada fatwa jihad melawan tentara Sekutu, tentu kita paham, tanpa ajaran Nabi Muhammad, NKRI tidak akan bertahan lama setelah diproklamasikan.

Hal yang serupa terjadi dalam revolusi industri. Dalam 2,5 abad terakhir, dunia industri sudah mengalami empat kali revolusi. Revolusi pertama tahun 1784 saat ditemukan mesin uap, yang lalu menggantikan tenaga manusia atau hewan di industri, pertambangan atau moda transportasi.

Revolusi kedua tahun 1870 saat listrik mulai digunakan secara massal untuk membagi-bagi manufaktur dalam proses ban berjalan.

Revolusi ketiga tahun 1969 setelah transistor menjadikan alat-alat elektronik menjadi murah. Dan kini, revolusi industri keempat sedang terjadi, ditandai tiga teknologi kunci: Internet of things (IoT), Bigdata, dan Artificial Intelegence (AI).

Kalau ditanyakan secara retoris, “Mana yang lebih besar perannya dalam semua revolusi industri, ilmuwan Islam atau ilmuwan Barat?”. Jelas, jawabannya adalah ilmuwan Barat.

Namun adalah sebuah kesombongan dan kejahilan untuk menafikan sejarah peradaban Islam dalam kontinum kebangkitan Barat dengan semua revolusi industrinya.

James Watt (1736-1819) tentu akan sangat kesulitan membangun mesin uapnya, bila sebelumnya Al Jazari (1136–1206) belum menemukan prinsip roda gigi yang mengubah gerakan translasi menjadi gerakan rotasi atau sebaliknya. Al-Jazari menciptakan berbagai varian mesin air yang bekerja otomatis. Berbagai elemen mesin buatannya ini tetap aktual hingga kini, ketika mesin digerakkan dengan uap atau listrik.

Demikian juga dengan revolusi industri kedua. Thomas Alva Edison (1847-1931), sosok pencipta lebih dari 1000 patent terkait lampu, generator dan berbagai perangkat listrik, tentu tidak bisa memulai apapun bila sebelumnya prinsip elektrokimia belum ditemukan oleh Alessandro Volta (1745–1827). Dan Volta beruntung mendapatkan ilmu kimia sudah “modern”, karena hampir seribu tahun sebelumnya sudah dibersihkan dari mistik dan sihir oleh Jabir al Hayyan (721-815).

Will Durant dalam bukunya The Story of Civilization jilid IV: “The Age of Faith” menulis: “Chemistry as a science was almost created by the Moslems; for in this field, where the Greeks were confined to industrial experience and vague hypothesis, the Saracens introduced precise observation, controlled experiment, and careful records. … ”

Revolusi industri ketiga baru terjadi setengah abad yang lalu. Melanda dunia informasi dan komunikasi. Komputer menjadi murah. Rekayasa perangkat lunak (software) menjadi dunia tersendiri. Bill Gates boss Microsoft menjadi orang terkaya di dunia.

Namun ini juga tak bisa lepas dari kenyataan, bahwa lebih dari 1000 tahun sebelumnya, Al-Khawarizmi (780-850) telah menulis kitab Al Jabar wal-Muqabala. Bahkan namanya telah diadopsi menjadi istilah dasar dalam dunia informatika: “algoritma”.

Ini pula mengapa Mark Zuckerberg diriwayatkan pernah berkata, “Saya heran ada orang-orang yang terlalu mengidolakan saya, padahal saya sangat mengidolakan ilmuwan Muslim Al-Khawarizmi karena tanpa Algoritma dan Aljabar, maka jangan pernah bermimpi ada Facebook, Whats App, BBM, Line, games bahkan komputer.”

Maka tak heran bahwa revolusi industri keempat dengan IoT, BigData dan kecerdasan buatan ini juga pasti memiliki kontinum inspirasi dari zaman Islam. Jam gajah dari Al Jazari adalah salah satu contoh prototype dari robot yang bekerja mandiri yang di abad 21 bekerja dengan kecerdasan buatan.

Sebagaimana kontinum dalam inspirasi, persoalan sosial yang dihadapi setiap revolusi industri juga ada dalam kontinum.

Fenomena seperti kenaikan produksi, tetapi juga hilangnya, atau lebih tepatnya beralihnya sebagian jenis pekerjaan lama ke yang baru, selalu berulang. Dan Islam pernah menunjukkan contoh dalam menghadapi revolusi semacam itu, yakni ketika peradaban Islam mengalami revolusi pertanian.

Melimpahnya produksi dan berkurangnya kebutuhan tenaga manusia, seharusnya digunakan manusia untuk melakukan hal-hal lain yang lebih bermakna. Mereka bisa melakukan apapun yang tidak bisa diwakilkan ke mesin, komputer atau robot, semisal ibadah lebih khusyuk, menghafal Qur’an, berdakwah, berolahraga, rekreasi bersama keluarga, membersamai anak tumbuh shaleh, hingga merawat lansia.

Teknologi jika lepas dari tangan umat Islam, cenderung menjajah. Umat Islam tanpa menguasai teknologi cenderung terjajah. Hanya jika teknologi dikembangkan dan dikendalikan bersama umat Islam, akan membebaskan dunia dari penjajahan.

Sumber: Republika 28 November 2019

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *