Mediaumat.id – Konsultan Keluarga Muslim Iwan Januar mengatakan fenomena Citayam Fashion Week (CFW) merupakan bagian dari tabiat budaya yang dibangun oleh ideologi kapitalisme yang akhirnya melahirkan masyarakat hedonis dan memuja penampilan fisik.
“Memang tabiat kapitalis itu akhirnya melahirkan budaya hedonis yang memuja penampilan fisik. Sehingga kondisi masyarakat kita yang sudah budayanya dibangun dari ideologi kapitalis ini memang begitulah secara umum. Artinya bukan cuma terjadi pada remaja,” tuturnya dalam acara Diskusi Online Media Umat: Hijrah versus Hedon, Ahad (31/7/2022) di kanal YouTube Media Umat.
Menurutnya, sebagai manusia tentu saja remaja atau anak-anak yang mengikuti tren CFW secara fitrah sebenarnya ingin eksis dan diakui. Sama halnya dengan kelompok pelajar yang berprestasi dan pintar di mata guru sekolah ataupun berbagai kegiatan positif lainnya. Seperti kelompok belajar kimia, pramuka, dan sebagainya. Hanya saja anak-anak yang kemudian merasa tidak bisa berkompetisi dengan kemampuan otak mereka atau terkadang dianggap bandel, memilih cara-cara yang lain karena ingin mengekspresikan diri.
Iwan juga menyatakan, mereka yang jadi fenomenal di CWF adalah sebagian dari remaja yang mewakili generasi Indonesia yang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor.
“Secara ekonomi tidak beruntung, kondisi sosial keluarga juga tidak beruntung, kehilangan ruang publik untuk ekspresi, mereka tidak seberuntung kawan-kawan mereka yang bisa sekolah, dan kuliah. Kemudian secara sosial juga menghadapi problem di tengah keluarga dan lingkungan. Sebagai remaja pada umumnya, mereka juga ingin muncul dan diakui. Dan salah satu caranya ya dengan fenomena yang sedang terjadi, CFW,” ungkapnya.
Kemudian, viralnya fenomena tersebut tidak lepas dari konten-konten yang kontra juga latar belakang tempat yang digunakan untuk mengekspresikan aksi mereka. Sehingga menarik banyak perhatian publik.
Selain itu, kata Iwan, CFW juga sangat unik. Sebab dilakukan di jantung kota Jakarta yang merupakan kawasan komersial, kawasan bisnis, dan diramaikan oleh anak-anak pinggiran kota dari Citayam. Hingga masyarkat yang tadinya tidak tahu ada Cityam, kini seantero Indonesia mengenalnya. Sehingga tentu saja akan menaikkan rating mereka. Kemudian juga banyak viewer yang menontonnya melalui akun-akun media sosial.
Ketika ditanya apakah fenomena CFW merupakan pelarian dari kondisi mereka yang sempit, sulit, dan marginal agar mendapatkan kondisi yang baru dan lepas dari semua keterpurukan yang mereka alami, konsultan keluarga Muslim itu menjawab dengan mengatakan bisa iya maupun tidak.
“Bisa ya bisa tidak. Begini, sekarang kita hidup di bawah maysrakat yang kapitalistik. Jadi, banyak orang sekarang itu tolak ukurnya oke, keren di kalangan remaja sifatnya materi. Jadi, kalau ada orang yang punya motor keren, anak sekolah punya mobil keren, mahal, atau punya harganya sampai ratusan juta, itu dipandang keren. Selain itu, mereka hari ini juga senang dengan budaya flexing (pamer),” jelasnya.
Budaya hedonis dan ingin pamer, tuturnya, bukan hanya menimpa kalangan orang kaya saja yang ingin selalu pamer kekayaannya. CFW adalah salah contoh bahwa kalangan masyarakat marginal juga ingin dikenal dan eksis dengan segala yang mereka miliki. Misalnya, adanya komunitas motor tertentu atau Vespa jadul yang kemudian di-build up menjadi aneh.
“Fenomena inikan akhirnya jadi viral. Lalu jadi bahan pembicaraan. Kemudian masuk TV dan segala macam,” imbuhnya.
Lesappe
Fakta tersebut mengingatkan konsultan keluarga Muslim itu dengan fenomena masyarakat di negara Kongo. Ada satu komunitas yang bernama Lesappe. Oleh karena itulah, ia menyebutkan situasi ingin eksis meskipun tekor dengan istilah biar tekor asal sohor.
“Ada kelompok masyarakat yang marginal secara ekonomi tetap ingin eksis seperti itu. kejadian ini mengingatkan saya dengan satu komunitas di Kongo, itu ada namanya Lesappe. Kongo ini daerah jajahan Prancis. Ada komunitas kalau dalam bahasa saya, biar tekor asal sohor. mereka suka bikin pegelaran fashion juga. Walaupun tinggal di daerah kumuh dan miskin, tapi fashion yang mereka pakai itu barang branded. Dibeli dari luar negeri. Kemudian mereka pakai untuk fashion. Padahal mereka orang-orang miskin,” tambahnya.
Psikologis Anak
Anak-anak atau kelompok yang memiliki niat untuk mengikuti gaya trendy orang-orang kaya tersebut karena ingin eksis namun dengan ala kadarnya dinilai Iwan berpengaruh terhadap psikologis anak.
“Secara psikologis ini mendorong bukan cuma terhadap anak-anak, tapi juga orang dewasa bisa terpengaruh. Jadi mereka ingin menaikkan life style karena pengaruh gaya hidup, kemudian mereka ingin muncul dan ingin hidup gaya,” tangkasnya.
Ia mengisahkan satu contoh yang diangkat dari Twitter tentang seorang anak sekolah yang memarahi ibunya agar dibelikan motor jenis tertentu.
“Saya sempat nonton ini satu video dari platform Twitter tapi kelihatannya dari TikTok. Ada anak sekolah marah kepada ibunya, melempar ibunya dan sambil ngomong kalau dia ingin dibelikan motor merek anu yang harganya puluhan juta. Padahal rumahnya itu saya lihat di video sangat sederhana. Ia bilang kalau bahasa yang saya tangkap itu, ‘Masa aku ke sekolah enggak naik motor, sementara orang lain pada punya. Aku mau motor merek A, jenis A begitu,” sebut Iwan menirukan omongan si anak.
Sebab itulah, Iwan menyatakan, kalau hari ini hidup tidak bergaya maka dalam pandangan masyarakat sekarang, bisa-bisa tidak diakui komunitasnya. Jadi jangankan anak-anak, orang dewasa juga sama.
“Makanya tidak heran kalau lihat seseorang secara finansial sebenarnya aman, tapi karena hidup gaya, bisa terbelit jerat utang dan sebagainya. Apalagi anak-anak. Saat orang tua mereka punya kecukupan finansial, kemudian mereka menuntut. Kalau tidak ada, akhirnya terjadilah seperti fenomena di CFW,” pungkasnya.[] M. Siregar