Viralnya tagar #ConquestOfConstantinopel bertepatan dengan pembebasan Konstantinopel (Istanbul) oleh Sultan Muhammad Al Fatih, yang dijadikan momen untuk menggairahkan kembali perjuangan umat demi berjayanya Islam kembali, disamping banyak tanggapan positif juga ditanggapi negatif oleh sebagian kalangan.
Ada dua hal yang ‘diserang’ terkait dengan pembebasan Konstantinopel tersebut. Pertama, bahwa pembebasan Konstantinopel sebagaimana yang diisyaratkan Nabi saw belumlah terlaksana. Kedua, bahwa apa yang dilakukan oleh Sultan Muhammad Al Fatih terhadap Konstantinopel adalah keliru dan lebih tepat disebut aib sejarah. Tuduhan seperti ini sebenarnya sekedar mengulang tuduhan Imron Husein beberapa tahun lalu.
Terkait hal pertama, yakni sabda Rasulullah saw:
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ
“Sungguh Kostantinopel akan dibebaskan, sebaik–baik amir adalah amirnya dan sebaik–baik pasukan adalah pasukan tersebut.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad[1], Al Hakim dalam Al Mustadrak menyatakan hadits ini shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim dan disepakati oleh adz-Dzahabi,[2] juga dikeluarkan oleh Al Haitsami, Abu Nu’aim, Ibnu Abi Syaibah, Al Bazzar dan At Thabrani.
Hadits ini telah mendorong umat Islam untuk merealisir sabda Nabi tersebut. Maslamah bin Abdul Malik memanggil Ubaidillah dan menanyakan tentang hadits ini, setelah diberitahu kebenarannya maka Maslamah kemudian menyerang Kostantinopel.[3] Pasca Maslamah, upaya itu dilanjutkan oleh Abu Ayyub al-Anshari (44 H), Sulaiman bin Abdul Malik (98 H), Harun al-Rasyid (190 H), Beyazid I (796 H), dan baru berhasil pada masa Sultan Muhammad Al Fatih (824 H).
Adalah hal yang wajar, jika seorang muslim menyambut dan menyongsong kabar gembira dari Rasulullah, bahkan semestinya memang begitu. Wajar pula jika semua yang berupaya membuka Konstantinopel berharap dan berprasangka baik bahwa merekalah yang dimaksud dalam sabda Nabi saw tersebut, sebagaimana pidato Sultan Muhammad Al Fatih didepan prajuritnya: “Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah saw telah menjadi kenyataan, dan salah satu dari mukjizatnya telah terbukti. Maka kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadits tersebut, yaitu berupa kemuliaan dan penghargaan.”[4]
Adapun hadits yang diriwayatkan Abu Daud:
عُمْرَانُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ خَرَابُ يَثْرِبَ، وَخَرَابُ يَثْرِبَ خُرُوجُ الْمَلْحَمَةِ، وَخُرُوجُ الْمَلْحَمَةِ فَتْحُ قُسْطَنْطِينِيَّةَ، وَفَتْحُ الْقُسْطَنْطِينِيَّةِ خُرُوجُ الدَّجَّالِ
“Makmurnya Baitul Maqdis (yakni dengan banyak penduduk, bangunan dan harta[5]) adalah tanda keruntuhan kota Madinah, runtuhnya kota Madinah adalah tanda terjadinya peperangan besar, terjadinya peperangan besar adalah tanda dari pembukaan kota Konstantinopel, dan pembukaan kota Konstantinopel adalah tanda keluarnya Dajjal.”[6]
Hadits ini, dan hadits riwayat Imam Muslim tentang pembukaan kota tanpa senjata, cukup dengan pekikan takbir dan tahlil saja, bukanlah dalil untuk mengingkari atau mengerdilkan prestasi yang sudah diukir oleh Sultan Muhammad Al Fatih. Bagaimana mungkin diingkari sesuatu yang faktanya ada?. Oleh karena itulah Syaikh Ahmad Syakir menyatakan bahwa pembukaan kota Konstantinopel akan terjadi dua kali, yang pertama dengan amir Sultan Muhammad al-Fatih, merupakan pembuka untuk penaklukan yang lebih besar ini (tamhîdan lil fathil ‘a’dzam), dan yang kedua akan terjadi di akhir zaman, sebelum keluarnya Dajjal sebagaimana dalam hadits di atas. Pembukaan yang kedua ini berbentuk kembalinya kaum muslimin kepada agamanya setelah sebelumnya mereka berpaling dari agamanya (dengan mengadopsi sekularisme).[7]
Kedua, apa yang dilakukan oleh Sultan Muhammad Al Fatih terhadap Konstantinopel bukanlah kekeliruan apalagi aib sejarah umat Islam. Tuduhan ini bermuara pada setidaknya dua hal: pertama, Sultan Muhammad Al Fatih mengubah Gereja Hagia Sophia menjadi masjid, ini dianggap dosa yang memalukan. Kedua, pasukan Islam yang membongkar masuk kemudian memperkosa, merampas, dan membunuh bahkan sampai ke dalam gereja. Sultan mengijinkan hal ini terus berlanjut.
Terkait mengubah gereja menjadi masjid, tidak ada masalah dengan hal tersebut karena hukumnya memang boleh, baik gereja itu dibeli oleh umat Islam lalu dialihfungsikan, atau dihibahkan sebagaimana dalam kasus Sultan Muhammad Al Fatih, atau jamaat gerejanya berubah keyakinan menjadi muslim sebagaimana pada zaman Umar bin Khattab, dimana saat itu banyak orang-orang Romawi berbondong-bondong masuk Islam sehingga banyak gereja yang tidak berfungsi lagi, lalu Umar r.a. menyerukan mengubah fungsi gereja menjadi masjid.
Thalq bin ‘Ali ketika menemui Rasulullah, lalu masuk Islam, beliau menanyakan bagaimana dengan tempat ibadah yang dia miliki. Maka Beliau saw bersabda,
اخْرُجُوا فَإِذَا أَتَيْتُمْ أَرْضَكُمْ فَاكْسِرُوا بِيعَتَكُمْ وَانْضَحُوا مَكَانَهَا بِهَذَا الْمَاءِ وَاتَّخِذُوهَا مَسْجِدًا
“Pulanglah kalian, bila telah sampai ke negeri kalian, maka hancurkan kuil itu dan siramlah Puing-puingnya dengan air ini, lalu jadikanlah (bangunlah diatasnya) masjid.” (HR. an-Nasai)[8]
Pasca takluknya Konstantinopel, Sultan Muhammad Al Fatih menuju Gereja Hagia Sophia, didalamnya berkumpul orang-orang Nashrani Ortodox, mereka dulunya pernah diserang dan dikuasai dengan dzalim oleh pasukan salib pada masa Perang Salib Keempat. Pasukan Salib menduduki Konstantinopel dan mendirikan Kekaisaran Latin (Romawi Timur Katolik) pada 1204. Pasukan Salib menghancurkan berbagai hal di kota yang sebelumnya menjadi pusat agama Ortodoks ini. Hagia Sophia menjadi tempat mabuk-mabukan, berbagai bangunan sekuler dan keagamaan (gereja dan biara) tidak luput dari pengrusakan, para biarawati diperkosa di biara mereka, dan orang-orang yang sekarat terbaring sampai mati di jalan-jalan.[9] Ketika Sultan Muhammad Al Fatih menemui mereka, beliau memberikan amnesti umum dan menjamin keamanan dan kebebasan beribadah mereka, melihat sikap yang mulia ini dan membandingkan dengan sikap pasukan salib sebelumnya, banyak para pendeta yang kemudian masuk Islam.[10] Paus Genadius, sebagai pemimpin tertinggi gereja saat itu, memberikan kunci Hagia Sofia dan simbol penyerahan kota. Lalu apa salahnya mengalihfungsikan sesuatu yang sudah diberikan? Terlebih lagi Hagia Sofia adalah ‘icon’ kota tersebut, bukankah aneh jika pusat Khilafah ‘icon’nya adalah gereja? Kan Khalifah Umar tidak mengubah gereja di Palestina menjadi masjid? iya, memang di Palestina tidak, namun di negeri lain beliau mengubahnya, sesuai situasi dan kondisinya.
Terkait tuduhan bahwa pasukan Islam yang membongkar masuk kemudian memperkosa, merampas, dan membunuh bahkan sampai ke dalam gereja dan Sultan mengijinkan hal ini terus berlanjut, ini adalah kedustaan. Sebelum menyerangpun Sultan sudah mewanti-wanti, bahkan dibantu para ‘ulama yang berkeliling kepada para prajurit:
ويجب على كل جندي أن يجعل تعاليم شريعتنا الغراء نصبَ عينيه، فلا يصدر عن أي واحد منهم ما يجافي هذه التعاليم، وليتجنبوا الكنائس والمعابد، ولا يمسوها بأذى، وليَدَعوا القَسَاوَسَ والضعفاء والعَجَزَة الذين لا يقاتلون
“Wajib bagi setiap pasukan, menjadikan ajaran syariat kita selalu di depan matanya dan jangan sampai ada di antara mereka melanggar ajaran syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka menjauhi tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja, jangan mengotorinya. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran.”[11]
Memang mungkin ada saja satu dua tempat ibadah yang hancur karena peluru meriam kan tidak memiliki mata, namun itu bukanlah hal yang patut dibesar-besarkan. Lagi pula, jika tuduhan keji tersebut benar, yakinkah masih ada non muslim yang tersisa di Konstantinopel?. Allâhu A’lam. [MTaufikNT]
Konstantinopel Akan Ditaklukkan Dua Kali
[1] Ahmad bin Hanbal al-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), Juz 31, h. 287.
[2] Al-Hakim, Al-Mustadrak ’ala al-Shahihain (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), Juz 4, h. 468.
[3] Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir, Cet. II. (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1994), Juz 2, h. 38.
[4] Ali Muhammad al-Shallabi, Fâtih Al-Qusthantîniyyah al-Sulthân Muhammad al-Fâtih, Cet. I. (Kairo: Maktabah al-Sayyidah, 2006), h. 107.
[5] Nûr al-Dîn al-Mulla al-Harawi al-Qâri, Mirqâtu Al-Mafâtîh Syarh Misykâtu al-Mashâbîh, Cet. 1. (Beirut: Dâr al-Fikr, 2002), Juz 8, h. 3417.
[6] Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abu Daud (Beirut: Maktabah al-’Ashriyyah, tt), Juz 4, h. 110.
[7] Abu Khallad Nashir bin Sa’id bin Saif as-Saif, Al-Fawâid al-Mukhtârah ‘Ala Asyrâti as-Sâ’Ah (Dâr Ibnu Khuzaimah, n.d.), h. 43: الفتح الصحيح لها حين يعود المسلمون إلى دينهم الذين أعرضوا عنه وأما فتح الترك الذي كان قبل عصرنا هذا كان تمهيداً للفتح الأعظم.
[8] Ahmad bin Syu’aib bin ’Ali al-Nasa-i, Sunan Al-Nasa-i, Cet. II. (Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islamiyyah, 1986), Juz 2, h. 38.
[9] Steven Runciman, A History of the Crusades, Cambridge 1966 [1954], vol 3, p.123
[10] al-Shallabi, Fâtih Al-Qusthantîniyyah al-Sulthân Muhammad al-Fâtih, h. 111.
[11] Ibid., h. 107.
View Comments (1)
Assalamu'alaikum.
Persoalan yg paling mendasar bagi siapapun adalah dalam mengambil kesimpulan, hasilnya bisa bertolak belakang:
1. Seberapa banyak data yg dikumpulkan
2. Objektivitas dalam membaca data
3. Subjektivitas dlm mengambil kesimpulan
Cukup banyak hadits terkait Konstantiopel dan akhir zaman, baik yg shahih maupun yg lemah.
Lalu bagaimana metode yg lebih baik? Tentu harus dari AL Qur'an terlebih dahulu. Substansi Al Qur'an apakah bisa ditangkap atau tidak. Semua ayat harus dibaca berulang-ulang agar dapat ditangkap gagasan utamanya. Dan....ini yg paling bermasalah bagi umtat di luar Arab, adalah kehilangan konteksnya ketika membaca Al Qur'an. Al Qur'an turun dalam konteks 2 ummat sebelumnya, yakni Yahudi dan Nashara, plus konteks Jazirah Arab. Ini pokok yg harus dipegang. Ayat2 Al Qur'an nampak seperti "menjawab" persoalan dan pertanyaan Bani Israel.
Kita lanjut soal Konstantinopel.
1. Surah Ar Rum: bagi kaum pada era Rasulullah s.a.w ini jelas siapa yg dimaksud di situ, yaitu Konstantinopel (Bizantin), bukan Roma yg Latin. Apakah ada bedanya? SIlakan dikaji di Al Maidah.
2. Mengapa Mukmin bergembira dikatakan di Surah Ar Rum setelah kemenangan Bizantin kembali ? Adakah Al Qur'an menyebutkan lawan Bizantin padahal sejarah catatan manusia menulis dengan jelas Rumawi melawan Persia? Namun Qur'an mengabaikan data sejarah. Apakah Al Qur'an memiliki cara pandang berbeda?
3. Sebelum turunnya Al Qur'an, kenabian Muhammad s.a.w, siapa yg menahan Baitul Maqdis dari
pengambilalihan oleh Bani Israil? Tentu Bizantin bukan? Siapa yg mengilhami Bizantin ? Bukankah Bizantin kemudian bisa dikatakan menjadi alat Allah untuk "menghukum" Bani Israil?
4. Oleh sebab itu, ketika Bizantin menang kembali dari lawannya bukankah menyebabkan kegembiraan kaum beriman karena Baitul Maqdis masih dapat dikendalikan oleh Bizantin kembali?
5. Apakah Nabi Muhammad s.a.w dan Khulafaur Rashidin tertarik menuju Konstantinopel atau cukup berhenti di Baitul Maqdis saja? Baitul Maqdis sbg bagian dari Syam, yg artinya masih wilayah berbahasa Arab.
6. Ketika Konstantinopel digempur habis2an dengan persenjataan dan pasukan Turki yg luar biasa, lalu kalah, apakah kemudian boleh dikatakan Islam menang? Siapa yg bisa menjustifikasi itu adalah kemenangan Islam? Pada saat yg bersamaan Pasukan Salib/ Latin sedang mengganyang wilayah lain. Anehnya, pada saat Turki berhasil membobol Konstantinopel, kekuatan Barat juga mulai menguat dengan cepat (Spanyol lepas dari Dinasti Umayyah yg Arab).
7. Apakah Turki Seljuk dan Utsmaniy bisa dibilang Muslim? Sama halnya apakah Bizantin bisa dibilang Nashara? Al Qur'an menyebut Yahudi dan Nashara itu dari keturunan Israil (Bani Israil), bukan kaum lain. Coba perhatikan baik2 ayat berikut, siapa pihak yg mengklaim dirinya Nashara? Ini bukan Bani Israil, beda dengan Al Maidah 51 :
Al Maidah 82:
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri. .
Mengklaim diri-sendiri sebagai Nashara, bukan Allah yg mewisuda mereka :).
Wassalam.
Assalamu'alaikum.
Persoalan yg paling mendasar bagi siapapun adalah dalam mengambil kesimpulan, hasilnya bisa bertolak belakang:
1. Seberapa banyak data yg dikumpulkan
2. Objektivitas dalam membaca data
3. Subjektivitas dlm mengambil kesimpulan
Cukup banyak hadits terkait Konstantiopel dan akhir zaman, baik yg shahih maupun yg lemah.
Lalu bagaimana metode yg lebih baik? Tentu harus dari AL Qur'an terlebih dahulu. Substansi Al Qur'an apakah bisa ditangkap atau tidak. Semua ayat harus dibaca berulang-ulang agar dapat ditangkap gagasan utamanya. Dan....ini yg paling bermasalah bagi umtat di luar Arab, adalah kehilangan konteksnya ketika membaca Al Qur'an. Al Qur'an turun dalam konteks 2 ummat sebelumnya, yakni Yahudi dan Nashara, plus konteks Jazirah Arab. Ini pokok yg harus dipegang. Ayat2 Al Qur'an nampak seperti "menjawab" persoalan dan pertanyaan Bani Israel.
Kita lanjut soal Konstantinopel.
1. Surah Ar Rum: bagi kaum pada era Rasulullah s.a.w ini jelas siapa yg dimaksud di situ, yaitu Konstantinopel (Bizantin), bukan Roma yg Latin. Apakah ada bedanya? SIlakan dikaji di Al Maidah.
2. Mengapa Mukmin bergembira dikatakan di Surah Ar Rum setelah kemenangan Bizantin kembali ? Adakah Al Qur'an menyebutkan lawan Bizantin padahal sejarah catatan manusia menulis dengan jelas Rumawi melawan Persia? Namun Qur'an mengabaikan data sejarah. Apakah Al Qur'an memiliki cara pandang berbeda?
3. Sebelum turunnya Al Qur'an, kenabian Muhammad s.a.w, siapa yg menahan Baitul Maqdis dari
pengambilalihan oleh Bani Israil? Tentu Bizantin bukan? Siapa yg mengilhami Bizantin ? Bukankah Bizantin kemudian bisa dikatakan menjadi alat Allah untuk "menghukum" Bani Israil?
4. Oleh sebab itu, ketika Bizantin menang kembali dari lawannya bukankah menyebabkan kegembiraan kaum beriman karena Baitul Maqdis masih dapat dikendalikan oleh Bizantin kembali?
5. Apakah Nabi Muhammad s.a.w dan Khulafaur Rashidin tertarik menuju Konstantinopel atau cukup berhenti di Baitul Maqdis saja? Baitul Maqdis sbg bagian dari Syam, yg artinya masih wilayah berbahasa Arab.
6. Ketika Konstantinopel digempur habis2an dengan persenjataan dan pasukan Turki yg luar biasa, lalu kalah, apakah kemudian boleh dikatakan Islam menang? Siapa yg bisa menjustifikasi itu adalah kemenangan Islam? Pada saat yg bersamaan Pasukan Salib/ Latin sedang mengganyang wilayah lain. Anehnya, pada saat Turki berhasil membobol Konstantinopel, kekuatan Barat juga mulai menguat dengan cepat (Spanyol lepas dari Dinasti Umayyah yg Arab).
7. Apakah Turki Seljuk dan Utsmaniy bisa dibilang Muslim? Sama halnya apakah Bizantin bisa dibilang Nashara? Al Qur'an menyebut Yahudi dan Nashara itu dari keturunan Israil (Bani Israil), bukan kaum lain. Coba perhatikan baik2 ayat berikut, siapa pihak yg mengklaim dirinya Nashara? Ini bukan Bani Israil, beda dengan Al Maidah 51 :
Al Maidah 82:
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri. .
Mengklaim diri-sendiri sebagai Nashara, bukan Allah yg mewisuda mereka :).
Wassalam.