Konsolidasi Demokrasi yang Rapuh
Oleh: Iwan Satriawan, Ph.D
Dosen Hukum Tata Negara, UMY
Ketua Dept. HAM Majelis Hukum dan HAM
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
“Law without power is utopia. Power without law is tyranny”.
DPR mengesahkan Perppu Ormas menjadi UU. 7 Parpol menerima dan 3 parpol menolak. Dari 7 parpol yang menerima, 2 parpol menerima dengan catatan. Memang aneh,. UU Ormas yang dibuat di masa pasca reformasi, tahun 2013 diabaikan dengan alasan tidak memadai karena terlalu panjang prosedur pembubaran sebuah Ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Orang lupa bahwa amendemen UUD 1945 semangatnya memang menegaskan prinsip konstitusionalisme negara dan rule of law. Konstitusionalisme intinya pembatasan kekuasaan (limited government) karena peradaban manusia sudah menunjukkan kekuasaan yang eksesif akan mendorong terjadinya kesewenang-wenangan. Rule of law berasumsi bahwa kekuasaan tunduk pada hukum karena itulah ada lembaga peradilan yang mengawal agar sebuah tuduhan disidang oleh peradilan dengan proses yang adil dan transparan. Sebuah organ negara tidak bisa langsung menjadi penyidik, pendakwa, pengadil dan eksekutor pada saat yang sama karena itu ciri absolutisme kekuasaan. Jika itu dilakukan, kita sedang mempraktikkan ” a new authoritarianism”.
Orang lupa pada sejarah bahwa, penegasan konsep negara hukum justru dengan memperketat prosedur penggunaan logika kekuasaan melalui proses hukum. Contohnya, prosedur impeachment dipersulit dan prosedurnya diperpanjang dengan melibatkan Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment dengan harapan proses impeahment itu tidak semata proses politik di DPR dan MPR.
Saat UUD 1945 diamandemen, semangat sebagian besar parpol adalah mempersulit pemakzulan presiden karena mereka takut itu akan mengenai diri mereka sendiri. Maka, dilibatkanlah lembaga peradilan MK untuk mengawal proses tersebut.
Namun, saat ini ketika bicara Ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, parpol rezim yang berkuasa menggunakan nalar yang berbeda. Mereka membuang peran lembaga peradilan dalam proses pembubaran ormas. Jadi kekuasaan itu tetap cenderung korup secara logika berpikir. Bagaimana jika, peran MK dihilangkan dalam proses pemakzulan presiden agar presiden bisa dijatuhkan lebih cepat. Tidak melalui prosedur yang panjang seperti saat ini. Tentu, parpol yang berkuasa akan menggunakan jurus logika yang lain.
Kemarahan sekelompok orang kepada kelompok lain, sampai melupakan orang pada konstitusi yang membatasi kekuasaan mereka. Anehnya, yang harus paham konstitusi juga membenarkan praktik kekuasaan yang eksesif dalam bernegara tersebut. Ini praktik negara kekuasaan, bukan contoh negara demokrasi konstitusional berdasarkan rule of law yang dianut oleh UUD 1945.
Di negara manapun tirani mayoritas di Parlemen memang kadang mengancam hak-hak minoritas. Oleh karena itulah, maka Konstitusi itu perlu ada mengawalnya. Jika tidak, maka konstitusi hanya ada di atas kertas, tidak hidup dalam menjamin kebebasan warga negara. Pemerintah dan DPR seharusnya harusnya memahami prinsip-prinsip konstitusionalisme dan rule of law yang dianut oleh UUD 1945.[]