Mediaumat.info – Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menegaskan, konsepsi Ibnu Taimiyah tentang pemimpin zalim diperuntukkan bagi ‘imam’ atau ‘khalifah’, bukan ‘presiden’ yang zalim.
“Pemimpin yang zalim (dimaksud) adalah khalifah atau imam yang zalim, yaitu pemimpin dalam negara Khilafah, bukan pemimpin dalam sistem demokrasi yang sekuler saat ini,” ujarnya kepada mediaumat.info, Senin (12/2/2024).
Hal ini ia ungkapkan untuk merespons suatu lontaran seruan kepada umat terkait wajibnya memilih pemimpin melalui sebuah gelaran pemilu di negeri ini. Untuk ditambahkan, ajakan ini memiliki kecenderungan pada kandidat paling sedikit mudaratnya apabila memang tidak ada yang baik di antara para calon pemimpin.
Celakanya, seperti telah dipaparkan, seruan ini dikaitkan pula dengan pernyataan Imam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ al-Fatawa, Juz ke-28, hlm. 391, yang artinya, ‘Enam puluh tahun di bawah imam yang zalim, lebih baik daripada satu malam tanpa kepemimpinan/kekuasaan’.
Menurut seruan tersebut, istilah ‘imam yang zalim’ diartikan atau diganti dengan kalimat ‘’pemimpin yang zalim’. Padahal istilah ‘imam zalim’ seperti di dalam fatwa ulama tersebut, memiliki definisi bukan seorang pemimpin pada umumnya. Yang lantas kemudian, dijadikan dalih untuk umat harus memilih pemimpin dalam Pemilu 2024 termasuk pilpres di dalamnya.
Kutipan asli dari Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ al Fatawa Juz ke-28, hlm. 391 tersebut, dalam bahasa Arabnya pun terdapat redaksi ’imam’ yang bila diterjemahkan, menurut Kiai Shiddiq, adalah seorang khalifah yang notabene pemimpin tertinggi dalam negara khilafah.
“Istilah ‘imam’ atau ‘khalifah’ adalah istilah khusus, bukan istilah umum, yang secara spesifik merupakan istilah untuk pemimpin tertinggi dalam negara khilafah atau sistem pemerintahan Islam,” jelas Kiai Shiddiq, mengutip keterangan dalam kitab Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 126, karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani.
Sedangkan ‘pemimpin’ yang bahasa Arabnya adalah amir, sambung Kiai Shiddiq, adalah kata yang bermakna umum mencakup setiap pemimpin dalam berbagai sistem pemerintahan.
“Kata ‘pemimpin’ bisa mencakup khalifah atau imam, sebagai kepala negara dari negara khilafah, mencakup pula presiden dalam sistem pemerintahan republik dari Barat, mencakup pula raja dalam sistem pemerintahan kerajaan (monarki), dsb.,” sambungnya menguraikan.
Pun meski istilah khalifah bisa disebut sebagai imam atau amirul mukminin, sebagaimana fatwa Imam Nawawi di dalam kitab Raudhah al-Thalibin, Juz X, hlm. 49, tetapi secara khusus tugas dan fungsinya berbeda dengan presiden, raja, dan pemimpin-pemimpin dalam sistem pemerintahan selain Islam.
“Secara lebih khusus, tugas pokok dan fungsi imam atau khalifah telah dijelaskan oleh para ulama, yaitu menerapkan syariah Islam dalam kekuasaan,” tegasnya, mengutip keterangan dari Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Nizham al-Hukmi fi Al-Islam, hlm. 49, yang artinya:
‘Khalifah (imam) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam pemerintahan dan kekuasaan, dan dalam pelaksanaan hukum-hukum syariah Islam’.
Dengan demikian jelaslah, bahwa pemaknaan kutipan terkait pemimpin zalim tersebut adalah salah, dan layak dipandang sebagai upaya memanipulasi arti sebenarnya. “Jelas ini adalah suatu penerjemahan yang manipulatif dan keliru,” pungkasnya. [] Zainul Krian