Konsep Kepemimpinan Imam

 Konsep Kepemimpinan Imam

Oleh: Abu Inas (Tabayyun Center)

Imamah dalam pembicaraan ulama bukan sembarang kepemimpinan. Imamah yang mereka maksud adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia. Artinya, gelar imam dan lembaga imamah tidak digunakan kecuali dalam konteks pemerintahan yang tertinggi ini. Maka dari itu tidak sembarang pemerintahan layak disebut imamah dan tidak semua pemimpin negara relevan dengan konsep imam yang dibicarakan oleh para ulama.

Konsep tersebut tergambar dalam definisi yang dikemukakan oleh Al-Iji, bahwa imamah adalah: “pengganti kedudukan Rasul saw. (khilafatur Rasul) dalam hal menegakkan agama sehingga wajib bagi seluruh umat (kaaffatul ummah) untuk mentaatinya”. [An Nasafi, Bahrul kalam, Damaskus: Maktabah Dar al-Farfur, 2000.]

Kata kaaffatul ummah menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan imamah tersebut adalah kepemimpinan bagi seluruh umat Islam.

Oleh karena itu, terkait dengan sebuah wilayah yang terpisah jauh dari posisi imam sehingga wilayah itu luput dari jangkauan pemerintahannya, maka Imam al-Haramain berpendapat bahwa umat Islam di wilayah itu wajib mengangkat seorang pemimpin yang beliau sebut “amir”. Akan tetapi, amir itu tidaklah setara dengan kedudukan al-imam. Beliau mengatakan:

“jika sebelumnya telah ada akad imamah kepada orang yang layak, dan kita melihatnya telah memegang akad serta memiliki otoritas penuh (mustaqillan bin nadhori) di seluruh wilayah yang ada, kemudian terdapat atau muncul secara tiba-tiba perkara yang menghalangi perhatiannya (ke sebuah negeri), maka tidak ada alasan untuk menelantarkan orang-orang yang tidak terjangkau oleh perintah imam. Tetapi mereka hendaknya mengangkat seorang amir, agar mereka dapat merujuk kepada pandangannya, bersandar kepada perintahnya, terikat kepada syari’ah yang dibawa oleh Al Musthofa -saw- dalam segala hal yang mereka kerjakan dan mereka tinggalkan. Namun kedudukan amir tersebut tidak sama dengan jabatan imam. Maka seandainya berbagai penghalang tersebut telah hilang, dan perhatian imam sudah mampu menjangkau mereka, maka amir dan rakyatnya harus tunduk kepada sang imam seraya menyampaikan salam kepadanya. Sedangkan imam hendaknya menerima udzur mereka lalu mengurusi kepentingan mereka. Apabila dia (imam) menyetujui orang yang mereka angkat (sebagai amir) maka (keputusan mereka itu) tetap berlaku, tapi jika dia melihat perlu adanya penggantian amir, maka keputusannyalah yang diikuti, dan kepadanyalah (kaum muslimin) merujuk.” Jadi jelas, imam dalam bahasa imam al-Haramain adalah al-imamul a’dham alias pemimpin seluruh umat Islam, bukan pemimpin sebuah negeri semata.

Ibnu Hazm menyatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika gelar imamah itu diucapkan secara mutlak maka yang dimaksud tiada lain hanyalah orang yang berkuasa memelihara urusan ahlul Islam[al-mutawalli li ‘umuri ahlil islam”]. (An Nawawi. 2003. Raudhah ath-Thalibin, Juz VII. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah]

Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa jumhur ulama tidak membolehkan keberadaan lebih dari satu imam bagi kaum muslimin. Bahkan, Ibnu Hazm mengklaim adanya ijma’ salaf dalam hal ini. Ibnu Hazm berkata dalam Maratibul Ijma’: “dan mereka (para ulama) bersepakat bahwa tidak boleh ada dua imam bagi kaum muslimin pada satu waktu di seluruh belahan dunia, baik kedua imam itu saling berdamai atau pun bermusuhan, baik keduanya di tempat yang sama maupun di dua tempat yang berbeda.”

Al-Mawardi berkata, “apabila imamah diakadkan kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda maka akad keduanya tidak sah karena umat tidak boleh memiliki dua imam pada satu waktu”. [At-Taftazani. 1998. Syarh al-Maqashid, juz V. Beirut: ‘Alam al-Kutub]

Abu Ya’la menyatakan: “tidak boleh mengakadkan imamah kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda dalam satu masa.”

Senada dengan hal itu, Al-Bazdawi menegaskan Ahli kiblat secara umum menyatakan: “imamah tidak boleh diakadkan kepada dua orang, sehingga apabila telah diakadkan kepada seseorang maka tidak boleh diakadkan kepada orang lain, dan seandainya terlanjur diakadkan juga kepada orang lain yang menjadi imam adalah yang pertama.” Bazdawi, Ushulud Diin, tahqiq oleh Dr. Ahmad Hijazi As Saqo [Kairo: al-Maktabah al-azhariyah lit-turots, 2003) h. 195]

Dalam al-Bahr ar-Ra’iq dikatakan: “tidak boleh terkumpul dua imam dalam satu zaman”. (Ibnu Najim, al-Bahr ar-Ra’iq Syarh Kanz ad-Daqa’iq). Sementara itu An Nawawi berkata : “tidak boleh mengangkat dua orang imam pada waktu yang sama meskipun keduanya berada di tempat yang berjauhan.” (An-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin, Juz VII (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003) h. h. 267)

Imam al-Haramain menegaskan bahwa kewajiban untuk menyatukan imamah ini merupakan hukum yang disepakati. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat ketika di dunia ini terdapat wilayah darul Islam yang terpencil, tidak terjangkau oleh pemerintahan imam yang ada. Maka dalam kondisi darurat seperti ini ada ulama –seperti al-Isfarayini, al-Baghdadi, asy-Syaukani, dll- yang mengharuskan wilayah terpencil tersebut untuk mengangkat imam sendiri. Namun ada pula ulama –seperti Imam al-Haramain sendiri- yang mewajibkan penduduk tempat terpencil itu untuk mengangkat seorang amir, namun amir tersebut tidak dianggap setara dengan kedudukan imam.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *