Kongkalikong di Balik Kartu Prakerja : Awas, Proyek Pencitraan!

 Kongkalikong di Balik Kartu Prakerja : Awas, Proyek Pencitraan!

Oleh : Arifah Azkia N.H (Aktivis Mahasiswi Surabaya)

Kontroversi Kartu Prakerja kembali menjadi perbincangan yang di sorot oleh berbagai fraksi partai politik hingga Ombudsman. Anggota Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati, meminta pemerintah menghentikan Program Kartu Prakerja karena program yang menghabiskan anggaran sebesar Rp20 triliun tersebut telah bergeser dari tujuan awal dan menjadi ladang proyek.

“Kartu Prakerja sudah bergeser dari tujuan awalnya karena sudah menjadi ladang proyek,” kata Mufida dalam keterangannya, Jumat (01/5).

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyatakan Program Kartu Prakerja perlu dihentikan agar program ini bisa berjalan lebih jelas, adil dan transparan.

Kritik juga dilontarkan oleh Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP Arteria Dahlan meminta KPK mengusut anggaran pelatihan program prakerja senilai Rp5,6 Triliun. Menurut nya , program Kartu Prakerja merupakan gagasan bagus, namun pelaksanaannya ganjil dan ada ketidak transparan yang terjadi. “Bagaimana delapan vendor digital tanpa tender yang diberikan kuota raksasa, Pak Ketua, oleh pemerintah, bagaimana bisa terjadi, bagaimana strategi pengawasannya, tidak cukup dengan mundur, Pak. Ini korupsi,” kata Arteria dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama KPK yang disiarkan langsung secara online. CNN Indonesia

Melihat dari berbagai lini terhadap kontroversi ketidak jelasan program Kartu Prakerja dan dana yang dinilai tidak terang-terangan ini tidak dipungkiri adanya oknum yang memanfaatkan krisis pandemi Virus Corona untuk kepentingan sepihak. Sehingga pelatihan di program Kartu Prakerja rawan penyelewengan atau moral hazard. Perlu adanya peninjauan kembali atas pelatihan daring yang melibatkan delapan penyedia layanan [provider]. Selain telah mendapatkan banyak gugatan dari publik, pelatihan tersebut juga rawan penyelewengan, [atau] moral hazard.

Penguasa terlihat sangat abai dan ribut dengan kepentingannya sendiri untuk mendapatkan manfaat atas segala konsep dan program yang diberlakukannya, sehingga terlalu banyak sengkarut yang dilakukan di balik program Kartu Prakerja. Sehingga harapan Kartu Prakerja hanyalan ilusi semu bagi rakyat mengingat bahwa hal yang diperlukan di tengah kondisi banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Sedangkan disaat seperti ini rakyat sangat mengharap bantuan sosial langsung agar masyarakat bisa bertahan di masa krisis Covid-19.

Jutaan pekerja kehilangan pekerjaaan atau dipotong gajinya karena terdampak Covid-19. Sungguh tak terlihat internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam pengelolaan Program Kartu Prakerja, sebagaimana label ‘Pancasialis’ yang mereka usung seolah terbukti bahwa hanya semu semata. Dimanakah sosok yang senantiasa menganggap diri Pancasialis akan tetapi malah jauh dari nilai-nilai moral Pancasila.

Begitupun adanya sengkarut program Kartu Prakerja ini dinilai tidak jauh sebatas proyek pencitraan saja. Mengingat 3 kartu yang di bangga-banggakan hingga kini manfaat dan eksistensinya belum pernah dirasakan masyarakat. Dan mirisnya, program ini banyak pakar hukum tata negara, menyatakan dasar hukumnya dinilai serampangan. Sehingga dilihat seperti tipu-tipu belaka alibi agar penolakan BBM bisa di terima rakyat, dan berbagai kepentingan di dalamnya dengan asas manfaat sistem Kapitalis yang senantiasa mencari sisi manfaat.

Sosok Pemimpin Sejati

Adanya penguasa yang mengais-ngais sisi manfaat dari kondisi rakyat yang pelik, mengingat akan sangat jauh berbedanya sosok kepemimpinan pada Khulafaur Rasyidin, sebagaimana Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Sebagai pejabat negara, Khalifah Umar berprinsip sangat hati-hati (wara’) dalam menggunakan fasilitas negara. Sebagimana Khalifah Umar pernah menasihati dengan tegas kepada putri nya yang mengenakan kalung emas diperolehnya dari penjaga Baitul Maal. Ketika mendapatinya, maka sang Khalifah mengatakan tegas “Takutlah kau wahai anakku tercinta bahwa engkau kelak akan datang ke hadapan Pengadilan Allah dengan barang yang kau curangi ini dan akan kuselidiki dengan saksama,” tutur sang khalifah.

Dia juga mengingatkan tentang Alquran surah Ali Imran ayat 161. Artinya, “Tidaklah ada seorang nabi pun berlaku curang. Dan barangsiapa berlaku curang (ghulul), maka akan datanglah dia dengan barang yang dicuranginya itu pada Hari Kiamat. Kemudian , setiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak akan dianiaya.” Maka dikembalikanlah kalung emas tersebut ke Baitul Maal.

Terdapat pula suatu ketika, tiba-tiba ketika larut malam di saat Khalifah sedang menyelesaikan tugas, putranya mengetuk pintu ruangan dan meminta izin masuk. Untuk membicarakan urusan keluarga. Seketika Umar bin Abdul Aziz meniup lampu penerang di atas mejanya, sehingga seisi ruangan gelap gulita.

“Mengapa Ayah melakukan ini?” tanya putranya itu keheranan.

“Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai pejabat negara. Minta untuk menghidupkan lampu itu dibeli dengan uang negara, sedangkan engkau datang ke sini akan membahas urusan keluarga kita,” jelasnya.

Begitu teramat berhati-hatinya Khalifah Umar ketika memakai fasilitas negara, tak sedikitpun ia ambil sisi manfaat dan kesempatan yg ia miliki sebagai kepala negara. Begitulah ketika akidah tertancapkan sehingga pola nafsiyah dan khuluqiyah senantiasa terpaut akan hukum syara’ dengan tersuasanakan dengan aturan-aturan islam yang mengikat di dalamnya.

Gaji Kepala Negara Pada Sistem Islam

Sosok kepala negara, selain mendapatkan jabatan dan kehormatan tertinggi, juga gaji dan beberapa tunjangannya yang sangat menggiurkan tetapi ketika keimanan dan tujuan kehidupan senantiasa disandarkan dengan aturan-aturan syara’, maka akan menutup kemungkinan adanya penyelewengan dan kepemimpinan yang mencari asas manfaat dan pencitraan semata. Karna ia menyadari bahwa amanah kepemimpimam yang diembannya kelak akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan-Nya.

Sebagaimana Khalifah Abu Bakar tidak mengambil semua gaji yang telah ditentukan untuknya. Ia hanya mengambil sedikit dari gajinya, sekadar cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya yang sangat sederhana.

Adapun Umar selama menjadi kepala negara, sedikit sekali ‘Umar mengambil uang dari Baitul Mal. Ia menyatakan kegembiraannya seraya berkata, “Aku menempatkan diriku sebagaimana aku punya tanggungjawab terhadap anak yatim, jika kebutuhanku telah tercukupi, maka aku tidak akan mengambil fasilitas dari Baitul Mal, namun jika aku kekurangan, maka aku akan mengambil dan memanfaatkannya dengan cara yang baik.”

Begitupun dengan kepemimpinan Ali, Menurut sebagian riwayat, ’Ali tidak mau digaji bahkan secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal, bahkan menurut yang lainnya ia memberikan 5.000 dirham setiap tahunnya. Kehidupan ’Ali sangat sederhana dan ia ketat dalam menjalankan keuangan negara. Suatu hari, Aqil kakaknya datang untuk meminta bantuan uang, tetapi Ali menolak karena hal itu sama dengan mencuri uang milik rakyat.

Demikianlah sangat jauh adanya ketidak jujuran penguasa terhadap rakyatnya, karna seorang penguasa yang amanah dan bisa menjalankan periayahan dengan baik tidak terlepas dari akidah yang diembannya. Begitupun dengan sistem aturan yang diadopsi hendaklah sistem yang senantiasa mengikat suasana ketaatan terhadap aturan Allah di dalamnya. Sehingga tercipta baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.

Wallahu a’lam bissowab.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *