Konflik di Palestina Hanya Soal Kemanusiaan Tak Boleh Bawa-Bawa Agama?
Mediaumat.id – Pemikiran beberapa pihak tentang konflik di Palestina yang melibatkan entitas penjajah Yahudi hanya menyangkut ke persoalan kemanusiaan sehingga tak boleh bawa-bawa agama, tertolak keras oleh ajaran Islam itu sendiri.
“Pikiran itu, itu ditolak keras oleh Islam,” ujar Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) dalam Focus to The Point: Masalah Palestina, Jangan Bawa-Bawa Agama? di kanal YouTube UIY Official, Selasa (24/10/2023).
Pasalnya, menurut UIY, Palestina sendiri lekat sekali dengan akidah Islam. Sebutlah Baitul Maqdis, Isra’ Mi’raj, termasuk peristiwa sepanjang perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha itu.
Terlebih ketika melihat penderitaan warga Palestina yang sudah 75 tahun dijajah oleh Zionis Yahudi, maka perhatian dimaksud adalah perhatian yang dianjurkan oleh Islam.
Di samping itu, dalam kitab Riyadhus Shalihin yang berarti taman orang-orang shalih, karya Imam Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi (Imam Nawawi), termaktub sabda Rasulullah SAW yang maknanya, ‘Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah memenuhi kebutuhannya’.
Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, yakni ‘Sesungguhnya Allah akan selalu menolong seorang hamba selama dia gemar menolong saudaranya’.
Dengan kata lain, sekali lagi UIY menyampaikan, bahwa umat Islam harus memperhatikan keadaan, hingga membantu orang lain termasuk kepada warga Palestina, Rohingya, Uighur, dan di wilayah-wilayah lain, karena agama memang memerintahkan demikian.
Dengan kata lain pula, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kemanusiaan kecuali harus menyertakan agama sebagai patokan. Lebih-lebih, dari suatu kebaikan yang dilakukan, ada harapan seorang hamba memperoleh pahala dari Allah SWT.
Kerugian Besar
Maka kerugian besar bagi orang membawa ide kemanusiaan tanpa Islam. “Kerugian besar orang yang yang melakukan kebaikan itu sekadar kemanusiaan,” lontarnya.
Perbuatan demikian, kata UIY, telah memisahkan amal dengan kesadaran hubungan manusia dengan Allah SWT. Padahal, seorang Muslim di tiap-tiap perbuatannya harus senantiasa terikat dengan kesadaran hubungannya dengan Allah SWT.
Artinya, kesadaran seorang hamba akan hubungannya dengan Allah (idrak sillah billah) perlu terus dijaga kekuatannya. Sebab, dengan adanya kesadaran inilah, seorang hamba akan senantiasa merasa dekat dengan Allah dalam seluruh sisi kehidupannya.
Menurut UIY, Islam tidak menentang kemanusiaan. Namun, belum tentu ketika bicara soal kemanusiaan sudah pasti sesuai dengan Islam. “Belum tentu,” tukasnya.
Sebaliknya, ketika Islam mengikat kemanusiaan, misalnya di dalam peperangan, maka membunuh yang notabene tak disukai semua orang, bisa menjadi tidak boleh atau justru diwajibkan.
Seperti halnya di dalam QS al-Baqarah: 216 yang isinya tentang kewajiban umat beriman berperang, yang tentu saja alternatif membunuh atau dibunuh di dalamnya, yang secara kemanusiaan tidak disukai, harus tunduk pada ajaran Islam.
“Sekali lagi bahwa kemanusiaan harus ditundukkan pada ajaran Islam,” jelasnya, seraya menambahkan hal serupa seperti hukuman mati yang pada dasarnya mampu mencegah banyak orang lain berbuat kejahatan.
Tak ayal, negara-negara yang tak menerapkan hukuman mati, atau menerapkan tetapi kurang optimal, misalnya, bisa dipastikan tindak kejahatan pembunuhan terus berlangsung. “Ini kan menunjukkan bahwa kemanusiaan saja tidak menyelesaikan masalah,” sambungnya.
Karenanya, umat sebenarnya tetap membutuhkan patokan-patokan yang jelas terkait ide kemanusiaan tersebut.
Patokan dimaksud, kata UIY, adalah risalah Islam yang bersumber dari Dzat yang Mahatahu apa yang paling baik dan buruk bagi makhlukNya, manusia.
“Allah yang menciptakan manusia, karena Allah-lah yang paling tahu sifat dasar manusia, kebaikannya, keburukannya dan bagaimana mengatur supaya tercipta kehidupan yang harmonis di antara manusia itu sendiri,” pungkasnya.[] Zainul Krian