Mediaumat.id – Deklarasi atau komunike akhir yang dicapai seiring dengan ditutupnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Selasa (16/11) yang salah satu poin berisi kecaman atas perang di Ukraina dan menuntut agar Rusia segera menarik pasukannya tanpa syarat, dinilai hanya akan menjadi pernyataan bombastis tak ‘bergigi’ yang tidak mengikat negara anggota termasuk Negara Beruang Merah tersebut.
“Kalaupun di Forum G20 itu ada komunike bersama, kesepakatan bersama, itu hanya akan menjadi pernyataan bombastis yang tidak bergigi dan tidak mengikat negara anggotanya,” ujar Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana kepada Mediaumat.id, Kamis (17/11/2022).
Sebutlah pencapaian kesepakatan di Forum G20 sebelum-sebelumnya yang juga menjanjikan pengurangan emisi gas buang dan kandungan berbahaya lainnya bagi lingkungan, namun tidak pernah terealisir.
Dengan kata lain, dari negara-negara anggota G20 yang, menurut Agung, merupakan penyumbang sekitar 80 persen dari total emisi karbon dunia, tidak ada langkah konkret untuk mengatasi hal itu.
“Enggak ada langkah konkret untuk mengurangi emisi. Padahal sudah ada komunikenya. Tidak ada langkahnya,” ulas Agung.
Justru sebaliknya, negara-negara yang terhimpun di G20 khususnya negara maju, menjadi terdepan dalam upaya ekspansi industrinya sacara langsung dan tidak, berdampak buruk terhadap lingkungan.
Terlepas itu, berkenaan dengan salah satu poin komunike KTT G20 di Bali tahun ini, pihak Rusia sendiri ternyata menentang keras kata-kata dalam komunike dimaksud. Hal itu terlihat ketika Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengkritik negara-negara Barat atas apa yang ia gambarkan sebagai ‘politisasi’ deklarasi G20.
Bahkan Lavrov disebutkan telah meninggalkan Bali Selasa malam (15/11), satu hari sebelum KTT G20 selesai, menurut Kantor Berita Rusia Tass.
Sementara 5 negara termasuk Rusia menolak poin deklarasi dimaksud. Selain itu, dua negara abstain, yakni Cina dan India.
Padahal mengutip dari berbagai sumber, anggaran untuk proyek infrastruktur KTT G20 kali ini menghabiskan anggaran hingga triliunan rupiah. Khusus Bali saja, di 2022, Kementerian PUPR mengeluarkan anggaran Rp505 miliar untuk membenahi kegiatan kawasan hutan Mangrove Tahura, Ngurah Rai; perservasi jalan di Nusa Dua-Jimbaran-Uluwatu, hingga penataan lanskap bundaran dekat Bundaran Bandara Ngurah Rai Venue, serta pedestrian di sekitarnya.
Adapun, anggaran terbesar ialah untuk revitalisasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang mencapai Rp1,08 triliun.
Kokohkan Kapitalisme
Oleh karena itu ia memandang G20 tak lebih dari forum negosiasi oleh negara-negara maju dengan misi utama mengokohkan sistem kapitalisme-neoliberal di dunia saat ini atas negara anggota berkembang termasuk Indonesia.
“Targetnya itu sebenarnya enggak lebih dari negoisasi dari negara-negara besar yang tadinya G8 itu untuk memaksakan keinginan-keinginannya untuk mengokohkan lahan bisnis yang lebih besar lagi di negara-negara berkembang,” beber Agung.
Lebih jauh lagi, mereka berharap mendapatkan dukungan untuk perluasan bisnis dan dukungan atas kerusakan yang ditimbulkan untuk ditanggung oleh seluruh negara anggota. Baik kerusakan lingkungan maupun tatanan ekonomi akibat krisis.
Padahal sekali lagi, kerusakan dimaksud terjadi akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis negara-negara besar anggota G20. “Akar masalahnya kebangkrutan lingkungan dan ekonomi dunia itu adalah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis,” tandasnya.
Tak ayal, ia pun lagi-lagi menyebut G20 itu sebagai forum ‘pemanis’ atas dampak buruk kapitalisme saja. “Boleh saya katakan Forum G20 itu hanya forum hare-hare, forum rame-rame, forum pemanis, termasuk pelibatan negara berkembang itu hanya pemanis wajah buruk kapitalisme,” urainya.
Pasalnya sepanjang perjalanan aktivitas G20, kata Agung, tak ada langkah konkret yang memberikan dampak positif terhadap negara-negara berkembang, baik dalam sektor keuangan maupun non-keuangan, terlebih kerusakan lingkungan.
Berikutnya, berkenaan dengan bahasan tema dari komunike yang telah disepakati di G20 tahun ini, memang kata Agung, kondisi dunia berada di tengah ancaman resesi. Celakanya krisis pangan dan energi yang terjadi justru menyebabkan negara-negara mementingkan ego masing-masing.
“Yang penting negaranya dulu beres. Enggak ingin yang lain,” jelasnya, sembari mengatakan bahwa saat ini banyak orang yang juga menahan diri untuk tidak membantu yang lainnya.
Tengoklah Amerika Serikat (AS) yang memiliki kepentingan dalam hal sistem ekonomi dan politiknya di dunia.
Sementara, negara-negara berkembang yang terlibat, status keanggotaan mereka sama sekali tidak membawa dampak apa pun terhadap perbaikan ekonomi dan lingkungan di negaranya.
“Istilahnya mengeluarkan modal besar untuk melayani itu semua tetapi tidak mendapatkan hasil apa pun juga selain hanya sekadar ya, main-main, obrol-obrolan yang tidak ada tindak lanjut yang serius,” ulasnya.
Sangat bertolak belakang dengan slogan awal G20 yang bakal mewujudkan pertumbuhan ekonomi global yang kuat, seimbang, berkelanjutan dan inklusif.
Faktanya, justru menunjukkan kondisi perekonomian dunia yang makin mengalami ketimpangan yang parah serta eksklusivitas ekonomi yang nyata. “Itu masing-masing negara egois sendiri-sendiri enggak saling bantu,” selanya.
Artinya, kehadiran G20 memang untuk menutupi aroma busuk dari borok-borok ekonomi akibat penerapan sistem kapitalisme.
Artinya pula, sambung Agung, umat saat ini, khususnya di negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia, tidak bisa tidak, amat membutuhkan sistem yang betul-betul menjadikan negaranya tangguh untuk selanjutnya memampukan yang lemah agar bisa menjadi kuat.
“Sistem itu enggak mungkin ada dalam Forum G20 yang mengedepankan kapitalisme, kita membutuhkan sistem yang betul-betul saling menguatkan satu dengan yang lain, dan itu saya pikir sudah ada dalam sejarah yaitu sistem Islam,” pungkasnya.[] Zainul Krian