Mediaumat.id – Membandingkan vonis pidana atas para terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir J oleh komplotan Ferdy Sambo yang mayoritas hukuman penjara, Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi memaparkan bentuk-bentuk sanksi pidananya dari sudut pandang Islam.
“Sanksi-sanksi pidana Islam untuk pelaku pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amdu) salah satu dari tiga jenis sanksi pidana untuk pembunuhan sengaja, bergantung pada pilihan yang diambil oleh keluarga korban (waliyyul maqtul),” paparnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (18/2/2023).
Pilihan dimaksud ada tiga. Pertama, hukuman mati (qishas). Kedua, membayar diat (tebusan). Ketiga, memaafkan (al-afwu).
Seperti diketahui sebelumnya, sejak gelaran sidang pertama pada Senin, 17 Oktober 2022 sampai rencana sidang lanjutan vonis terakhir Jumat, 24 Februari 2023, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bentuk sanksi yang dijatuhkan terhadap para terdakwa dalam kasus pembunuhan tersebut, hingga 15 Februari didominasi vonis penjara. Kecuali Ferdy Sambo, sang mantan jenderal polisi bintang dua yang divonis hukuman mati.
Itu pun seperti diberitakan, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri itu melalui pengacaranya, mengajukan banding usai pembacaan vonis hukuman mati dilakukan majelis hakim.
Yang artinya, sebagaimana disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho di kesempatan yang sama, hukuman Ferdy Sambo sangat mungkin berkurang. “Masih sangat mungkin berubah. Bisa FS (Ferdy Sambo) dipidana seumur hidup, 15 tahun, 20 tahun juga bisa. Masih dimungkinkan, ini kan belum inkrah,” kata Hibnu dalam keterangan tertulis, Sabtu (18/2).
Karenanya, lepas dari itu, Kiai Shiddiq menjawab pertanyaan bagaimana bentuk sanksi pidana untuk para terdakwa yang terlibat kasus Ferdy Sambo, andai yang diterapkan adalah syariat Islam.
“Sanksi pidana Islam yang diterapkan untuk kasus Ferdy Sambo, qadhi (hakim syariah) wajib memberikan pilihan-pilihan yang ada kepada keluarga korban (Nofriansyah Yoshua Hutabarat), yaitu Samuel Hutabarat (ayah korban), Rostin Simanjuntak (ibu korban), dan kerabat atau famili yang lain,” paparnya.
Adalah keluarga korban memiliki tiga pilihan terhadap pelaku pembunuhan. Pertama, menuntut qishas yakni hukuman mati. “Jika keluarga korban menuntut hukuman mati, maka (para) pelaku pembunuhan sengaja akan dijatuhkan hukuman mati oleh qadhi,” terangnya.
Kedua, meminta diat atau tebusan/uang darah yang bisa dilakukan jika ada dari salah satu anggota keluarga korban yang memaafkan si pembunuh.
Untuk diketahui, dalam kasus pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amdu), seperti yang terbukti dilakukan oleh komplotan Ferdy Sambo, menurut hukum Islam, diat yang diberlakukan terkategori kelas berat.
“Diat dalam kasus al-qatlu al-‘amdu, termasuk diat mughallazhah, yaitu diat kelas berat, berupa memberikan 100 ekor unta. 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting (hamil) kepada keluarga korban,” tandasnya, sebagaimana hal ini dipaparkan dalam sebuah hadits Nabi SAW, yang artinya:
“Dari Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah SAW berkhotbah pada saat Fathu Makkah, beliau bersabda, ‘Perhatikanlah! Diat untuk pembunuhan tidak disengaja yang tampak disengaja, seperti dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah 100 unta. 40 ekor di antaranya sedang hamil'” (HR Abu Dawud, no. 1662).
Namun, bagi yang mempunyai dinar atau dirham, seperti dijelaskan di dalam hadits riwayat Imam an-Nasai, diat tersebut bisa dibayar dengan uang senilai seribu dinar atau 12 ribu dirham.
Yang dimaksud dinar di sini, kata Kiai Shiddiq, adalah dinar syar’i, yakni 1 dinar syar’i setara emas muni (24 karat) seberat 4,25 gram. “Seribu dinar adalah empat ribu dua ratus dua puluh lima (4.225) gram emas murni,” jelasnya.
Pun demikian yang dimaksud satu dirham adalah satu dirham syar’i setara perak murni seberat 2,975 gram. “Jadi dua belas ribu dirham adalah tiga puluh lima ribu tujuh ratus (35.700) gram perak murni,” jelas Kiai Shiddiq, mengutip keterangan dari Imam Abdurrahman al-Maliki, di kitab Nizham al-‘Uqubat, hlm. 113.
Ini berarti, Ferdy Sambo harus membayar sejumlah 4.250 gram emas kepada keluarga korban, atau memberikan uang yang senilai Rp4.294.000.000, jika dihitung dengan harga 1 dinar Antam yang dijual di salah satu penjual dinar di salah satu market place, misalnya, sekitar Rp4.294.000.
Pilihan ketiga, keluarga korban justru memaafkan dengan tidak menuntut hukuman mati, dan tidak pula meminta diat (tebusan, uang darah) dari pihak pembunuh.
Artinya, semua pilihan-pilihan itu harusnya dikembalikan kepada keluarga korban. “Terserah mereka mau memilih yang mana dari tiga pilihan yang diberikan oleh syariat Islam,” tukasnya.
“Jika keluarga Yoshua mengambil pilihan pertama, yaitu mau menuntut hukuman mati, silakan,” tambahnya.
Atau jika mereka mengambil pilihan kedua, kata Kiai Shiddiq, yaitu meminta uang tebusan, juga silakan. Bahkan jika mereka mengambil pilihan ketiga, yaitu memaafkan sama sekali perbuatan kejam Ferdy Sambo, juga dipersilakan.
Hukum Terbaik
Dengan demikian, ia menyampaikan bahwa inilah syariat Islam, hukum terbaik yang telah diturunkan Allah SWT kepada manusia dengan memberikan pilihan-pilihan sangat lapang bagi keluarga korban pembunuhan. Mulai dari menuntut hukuman mati, dengan catatan misalnya, keluarga korban merasa sangat tersakiti dan terzalimi dengan meninggalnya anak kesayangan mereka.
“Islam juga memberi pilihan berupa tidak menuntut hukuman mati, tetapi sekadar minta uang tebusan, jika keluarga korban sudah bisa ikhlas memaafkan pembunuh, tetapi masih ada segi-segi kebutuhan materi yang mereka rasakan,” sambungnya.
Pun Islam memberikan pilihan berupa memaafkan sama sekali si pembunuh, jika sudah ikhlas memaafkan dan merasa sudah tercukupi kebutuhan materinya.
“Itulah hukum Islam,” tegasnya lagi, seraya membandingkan dengan KUHP yang malah tidak memberikan pilihan-pilihan sangat luas seperti ketentuan di dalam Islam.
Artinya, KUHP yang ada sekarang secara sempit semuanya diputus oleh hakim semata-mata tanpa memberikan kesempatan sama sekali kepada keluarga korban untuk memilih sanksi pidana yang kiranya pantas dan setimpal dengan perbuatan pelaku pembunuhan yang sangat keji.
“Maha Benar Allah yang telah berfirman, ‘Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” pungkasnya, mengutip QS al-Maidah: 50.[] Zainul Krian