Mediaumat.id – Pernyataan Komnas HAM dan Tim PPHAM (Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM) yang menyebut ada sekitar 30.000 orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Peristiwa G30S/PKI menjadi korban dan hilang, dinilai Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) sebagai masalah yang krusial.
“Jika Komnas HAM dan Tim PPHAM menyebut mereka korban, lalu siapa yang menjadikan mereka korban dari tindakan salah? Lalu siapa yang melakukan kesalahan itu? Ini kan menjadi sangat krusial!” ungkapnya dalam Bincang Perubahan: Bahaya Besar Keppres 12/2022 bagi TNI, Negara & Umat, melalui kanal YouTube Bincang Perubahan, Kamis (13/7/2023).
Termasuk bagaimana dengan para ulama dan pihak lain yang terbunuh, disiksa, diculik, istrinya diperkosa serta tindakan kekerasan oleh PKI. “Ini dianggap apa? Nah ini yang musti kita waspadai,” tandasnya.
Jokowi, lanjutnya, mengakui 12 pelanggaran HAM berat, yaitu; peristiwa 1965-1966, penembakan misterius pada 1982-1985, peristiwa Talangsari di Lampung pada 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1989.
Kemudian, peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999, pembunuhan dukun santet pada 1998-1999, Simpang KKA di Aceh pada 1999, peristiwa Wasior di Papua pada 2001-2002, peristiwa Wamena Papua pada 2003, dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003.
“Bahwa 12 pelanggaran HAM itu 11 di antaranya kita mengerti duduk persoalannya. Tapi kemudian ada masuk nomor 1 yang ditunggangkan kepada rekomendasi Tim PPHAM berat kepada presiden,” ujarnya.
Rekomendasi
UIY lalu menyebut 11 rekomendasi TPPHAM kepada presiden. Pertama, menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
“Kalau ini disesali, berarti negara mengaku bahwa ada kesalahan di sana. Kalau itu semua dilakukan oleh TNI berarti TNI melakukan kesalahan. Kalau mereka korban berarti ada yang melakukan kejahatan. Kalau mereka korban dari TNI berarti TNI melakukan kejahatan. Kan begitu logikanya!” analisisnya.
Kedua, melakukan tindakan penyusunan ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa.
“Sekarang saja tokoh seperti Hasyim Asy’ari sudah dihilangkan, tapi Tan Malaka ada, DN Aidit ada. Ini yang sering kita sebut sebagai penguburan dan pengaburan sejarah. Kalau ini betul-betul dilakukan maka penguburan dan pengaburan sejarah makin menjadi-jadi,” kritiknya.
Ketiga, memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat lainnya yang tidak masuk dalam cakupan mandat Tim PPHAM.
Keempat, melakukan pendataan kembali korban. Kelima, memulihkan hak korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban, dan hak-hak sebagai warga negara.
“Hak konstitusional berarti, yang semula tidak boleh nyoblos jadi boleh, yang tidak boleh bikin partai, jadi bikin partai yang semula dibubarkan, jadi dibolehkan. Di situlah kita mesti waspada terhadap kemungkinan ini,” ingatnya.
Keenam, memperkuat penunaian kewajiban negara terhadap pemulihan korban secara spesifik pada satu sisi dan penguatan kohesi bangsa secara lebih luas pada sisi lainnya. Perlu dilakukan pembangunan upaya-upaya alternatif harmonisasi bangsa yang bersifat kultural.
“Kalau agama dianggap sebagai faktor disharmonisasi, maka agama juga mesti ditata. Yang terlalu kenceng musti ditiadakan. Maka disebut deradikalisasi,” tukasnya.
Ketujuh, melakukan resosialisasi korban dengan masyarakat secara lebih luas.
Kedelapan, membuat kebijakan negara untuk menjamin ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM yang berat melalui: (a) kampanye kesadaran publik, (b) pendampingan masyarakat dengan terus mendorong upaya untuk sadar HAM, sekaligus untuk memperlihatkan kehadiran negara dalam upaya pendampingan korban HAM, (c) peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya bersama untuk mengarusutamakan prinsip HAM dalam kehidupan sehari-hari, (d) membuat kebijakan reformasi struktural dan kultural di TNI/Polri.
Kesembilan, membangun memorabilia yang berbasis pada dokumen sejarah yang memadai serta bersifat peringatan agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan.
UIY lalu berkesimpulan, bahwa dokumen sejarah yang sudah ada jika tidak sesuai dengan sejarah resmi negara akan digusur. “Termasuk kita sudah dengar kabar kalau Lubang Buaya akan digusur karena tidak sesuai dengan versi mereka,” imbuhnya.
Kesepuluh, melakukan upaya pelembagaan dan instrumentasi HAM. Upaya ini meliputi ratifikasi beberapa instrumen hak asasi manusia internasional, amandemen peraturan perundang-undangan, dan pengesahan undang-undang baru. Kesebelas, membangun mekanisme untuk menjalankan dan mengawasi berjalannya rekomendasi yang disampaikan oleh Tim PPHAM.
Terakhir UIY menyampaikan langkah yang sudah ditempuh presiden.
“Jadi 27 Juni 2023 Jokowi menemui keluarga korban HAM Aceh. Itu peristiwanya. Tapi di sana hadir mereka yang dianggap menjadi korban pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966. Dari Moskow, dari Cekoslowakia itu hadir. Ini banyak yang tidak memperhatikan bahwa pelan-pelan proses ini jalan. Setelah Aceh, HAM berat apa? Kita sudah bisa menduga akan sampai juga ke nomor 1 (pelanggaran HAM 1965-1966),” pungkasnya.[] Irianti Aminatun