Komisaris Pelni Plesetkan Khilafah, Prof. Suteki: Menyinggung Perasaan Umat Islam
Mediaumat.id – Pernyataan Komisaris BUMN PT Pelni Dede Budhyarto yang mempelesetkan kata khilafah menjadi khilafuck dinilai oleh Pakar Hukum Prof. Suteki menyinggung perasaan umat Islam.
“Meskipun komentar Dede Budhyarto itu tidak langsung menunjuk pada kelompok tertentu, apakah itu sebutlah eks HTI atau mungkin juga eks Khilafatul Muslimin atau eks FP1 tapi kata-kata pengasong khila**** itu sungguh sangat menyinggung perasaan umat Islam,” ungkapnya di acara Perpesktif PKAD: Ada Apa Komisaris PT Pelni Penista Khilafah dan Seorang Wanita Bawa Pistol, Kamis (27/10/2022) melalui kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Di samping itu, Suteki menilai pelesetan khilafah termasuk delik penistaan agama. “Ini sebagaimana diatur dalam pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dan karena dimuat di media elektronik yaitu Twitter maka juga dapat dijerat dengan Undang-Undang ITE yaitu ujaran kebencian berdasarkan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Ini diatur di dalam pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45a Undang-Undang ITE,” urainya.
Ancamannya, sambung Prof. Suteki, kalau yang 156a KUHP itu paling lama 5 tahun sedangkan untuk Undang-Undang ITE bisa mencapai 2 tahun.
Prof. Suteki menilai, kasus Dede ini masuk delik umum sehingga tidak usah menunggu laporan atau pengaduan, polisi bisa langsung bertindak untuk mencegah huru-hara atau keonaran yang meresahkan masyarakat.
“Jadi mestinya polisi sudah langsung bisa bertindak tanpa harus menunggu laporan ataupun pengaduan dari masyarakat,” tukasnya.
Meski demikian, Prof. Suteki pesimis kasus ini akan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. “Faktanya ada banyak sekali laporan dari umat Islam terkait dugaan penistaan agama yang seolah-olah dipetieskan. Ada Ade Armando, ada Abu Janda berulangkali namanya diadukan kepada pihak berwajib tapi terkesan tidak ditindaklanjuti,” sesalnya.
Terlebih, ucapnya, Dede Budhyarto adalah tim sukses Jokowi 2014-2019. “Nah kalau sudah masuk di sana kita bisa memprediksikan bahwa kasus ini pun akan mentah. Saya yakin ini akan mentah enggak akan berlanjut sampai di pengadilan, enggak akan!” yakinnya.
Core
Prof. Suteki mengatakan dua periode pemerintaha Pak Jokowi ada core yang diunggulkan yaitu war on radicalism, sehingga pejabat publik yang ada, apakah menteri, rektor, komisaris, bahkan ormas yang dekat dengan pemerintah selalu menggembar-nggemborkan anti-radikalisme.
“Padahal dari sisi undang-undang belum ada undang-undang anti-radikalisme. Yang ditemukan peraturan yang sifatnya teknis yang itu bisa menyasar ASN, ormas, ajaran Islam yang dinilai ekstrem, radikal,” jelasnya.
Karena belum ada undang-undangnya ini membuat lubang-lubang dalam penegakan hukum, yang tumpul ke atas tajam ke bawah. “Maka tidak berlebihan kalau Pak Mahfud MD itu menyebut kita sekarang sedang berada di industri hukum, mana kawan mana lawan itu bisa dimainkan,” imbuhnya.
Bahkan, sambungnya, orang yang tidak bersalah bisa disalahkan orang yang salah bisa dibenarkan.
Perubahan
Melihat kondisi hukum yang karut-marut ini, Prof. Suteki berpendapat butuh perubahan. Bukan hanya perubahan orang tetapi juga perubahan sistem dengan sistem terbaik.
“Sistem terbaik sumbernya harus terbaik yaitu bersumber dari Allah SWT. Al-Qur’an menyatakan la raiba fihi (tidak ada keraguan di dalamnya),” yakinnya.
Manusia itu kadang-kadang ingin mencari human law (hukum manusia) yang menurut dia itu sesuai dengan konsensus mereka. “Maaf ya meski saya agamanya enggak baik tapi saya meyakini bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan di dalamnya. Juga pembeda. Hukum-hukumnya sudah diturunkan Allah, sudah ada, tinggal mengambil, mengistimbat,” ungkapnya bangga.
Bagaimana memperlakukan seorang penista agama, Allah dan Rasul-Nya sudah mengatur. “Kalau kita menerapkan hukum Allah, orang tidak akan sembarangan melakukan penistaan terhadap ajaran Islam. Bisa dihukum mati,” imbuhnya.
Rekomendasi
Terkait kasus Dede ini, Prof. Suteki memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, yang bersangkutan setidaknya diberhentikan dari komisaris independen dan kalau bisa tetap diproses pidana. “Karena baik dari sisi KUHP yang tadi saya sebutkan 156a maupun Undang-Undang ITE unsur-unsur deliknya sudah terpenuhi,” argumennya.
Kedua, aparat penegak hukum khususnya kepolisian gerak cepat supaya masalah ini tidak melebar dan supaya tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan memecah belah umat.
Ketiga, umat sendiri harus tetap konsisten. “Prinsipnya umpama kasus ini tidak ditangani secara pidana, kita tetap menyuarakan bahwa tindakan itu adalah tindakan ilegal, harus dikutuk dan ditentang,” harapnya.
Umat Islam, tegas Prof. Suteki, harus tetap konsisten bahwa khilafah adalah sebagian dari ajaran Islam yang boleh didakwahkan. Tidak ada keraguan kebolehan mendakwahkan dan menyebarluaskan. Soal nanti dipakai atau tidak, khilafah tetap ajaran Islam.
“Saya kira posisi kita harus sebagai pejuang bukan sebagai pecundang,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun