Kombinasi Korporatokrasi dan Populisme Otoritarian dalam Kasus PIK 2

Mediaumat.info – Pengamat Politik Dr. Riyan menilai ada kombinasi antara negara korporatokrasi dengan kepemimpinan populisme otoritarian dalam kisruh Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.

“Tetapi poinnya adalah kombinasi antara negara korporatokrasi dan tipe kepemimpinan yang populisme otoritarian ini ya memang akan menjadi lahan subur dari berbagai kasus-kasus seperti ini (kisruh Proyek Strategis Nasional atau PSN, dalam kasus ini PIK 2),” ujarnya dalam Rubrik Diologika: Ada Apa Dengan Oligarki (Aguan) Menjaga Wajah Jokowi? di kanal YouTube Peradaban Islam ID, Ahad (15/12/2024).

Riyan melihat, ketika kasus Aguan dalam hal ini menyatakan untuk menjaga wajah presiden Jokowi, memang tidak akan bisa dilepaskan dengan perkembangan terakhir dari proyek PIK 2 yang dipersoalkan banyak pihak.

“Ketika dia memang menyatakan dalam satu pernyataannya itu ya dia mesti menjaga wajah dari presiden, itu maksudnya dari investasi itu tidak kosong amatlah itu kan presiden waktu itu tidak lepas dari pengaruh cawe-cawe yang terjadi di persoalan pembangunan ini,” ujarnya.

Artinya, lanjut Riyan, apa yang disampaikan Aguan ini sebenarnya memang bentuk telanjang dari persekongkolan yang terjadi dari apa yang disebut sebagai para investor tadi para cukong tadi itu dengan politisi.

“Di mana pada satu sisi mereka kemudian diminta untuk melakukan semacam menjaga agar presiden tetap dihargai gitu oleh para investor, karena toh banyak investor dalam negeri. Karna pengakuan Aguan ini kan sekitar paling tidak 20 triliun dia menggelontorkan uang di sana,” bebernya.

Dengan risiko tinggi untuk jangka panjang yang kemungkinan berlanjut tapi, lanjutnya, jangka panjangnya akan memberikan hasil yang menguntungkan.

“Nah di situlah kemudian bertemu dengan pernyataan Aguan yang lain ketika dia malah membantah bahwa PIK 2 itu semacam kalau di majalah Tempo itu disebut sebagai tukar guling, disana rugi dalam konteks investasi risikonya besar sementara di sini PIK 2 itu kemudian kemungkinan besarnya akan muncul keuntungan yang jauh lebih besar gitu,” tuturnya.

Jadi dari sini, tuturnya, membuka secara telanjang tentang potret negara korporatokrasi dengan pemimpin yang populisme otokratik yang tentu bukan sesuatu hal baik-baik saja.

“Artinya, ketika kemudian yang terjadi upaya untuk melakukan mengkritisi seperti kasus PIK yang sudah berjalan kemarin di antara kasus yang Bang Said Didu dan kemudian ada semacam kriminalisasi ya,” bebernya.

Seharusnya, tutur Riyan, aspirasi-aspirasi yang dalam konteks pembangunan partisipasi masyarakat itu mestinya didahulukan sebelum mengambil keputusan.

“Sehingga nanti benar-benar pembangunan itu ya pro kepada rakyat, bukan pro kepada elite dalam hal ini elite-elite konglomerat ataupun cukong gitu,” pungkasnya.[] Setiyawan Dwi

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: