Koalisi Politik Hal yang Lazim dalam Demokrasi

Mediaumat.info – Merespons miripnya koalisi Prabowo-Gibran dengan koalisi Bongbong Marcos dan Sara Duterte dalam pilpres di Filipina yang menjadikan anak presiden sebelumnya sebagai wapres, Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana menyatakan koalisi politik itu suatu hal yang akhirnya lazim di dalam iklim demokrasi.

“Sebenarnya koalisi politik itu kan sesuatu hal yang akhirnya lazim di dalam iklim demokrasi,” ujarnya dalam Kabar Petang: Mirip Filipina, Prabowo-Gibran Bisa Pecah Kongsi? di kanal YouTube Khilafah News, Sabtu (2/3/2024).

Menurut Budi, hal itu terjadi lantaran untuk bisa berkuasa itu, dia (seseorang) mengharuskan mendapatkan dukungan dari mayoritas dengan mekanisme pemilu dan sulit untuk mendapatkan single majority, kekuasaan penuh di tangan dia.

Maka, dia harus menggabungkan kekuatan-kekuatan yang terserak, berkoalisi dengan kelompok ini, kelompok ini, partai ini, partai ini dan akhirnya kemudian mereka bisa menggabungkan kekuatan dan berkontestasi dan akhirnya bisa memenangkan pemilu.

“Cuman masalahnya kan koalisi ini tidak lagi sifatnya ideologis, koalisi ini sifatnya pragmatis,” tegasnya.

Sehingga, katanya, mudah satu partai loncat dari koalisi A ke koalisi B, mudah satu kelompok berpindah dari kelompok A ke kelompok B dan itu biasa terjadi dalam kehidupan perpolitikan (demokrasi) termasuk juga di Indonesia.

“Kita menyaksikan betul, banyaklah ya, tidak perlu disebut,” ucapnya.

Pragmatis

Menurut Budi, berpindah-pindahnya koalisi tersebut terjadi semata-mata karena kepentingan yang bersifat pragmatis.

“Awalnya dia di koalisi sini, pindah ke sana dan seterusnya. Lantas perpindahan koalisi itu atas dasar apa? Pasti ini adalah atas dasar kepentingan yang sifatnya pragmatis,” ungkapnya.

Menurut Budi, ketika dia tidak bisa mendapatkan peluang di koalisi A dan dia mendapatkan peluang di tempat lain, akhirnya dia bisa mudah berpindah-pindah. Sehingga betul bahwa, akhirnya tidak ada yang kemudian disebut sebagai koalisi yang sifatnya ideologis.

“Pasti semuanya adalah berorientasi kekuasaan yang sifatnya pragmatis dan sesaat,” simpulnya.

” Nah, kalau koalisi itu sifatnya pragmatis, lalu siapa yang dirugikan?” tanyanya lagi.

Menurutnya, harus kembali ke filosofitik bahwa politik itu bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk menyejahterakan masyarakat.

Ri’ayah Su’unil Ummah

Budi mengungkapkan, dalam bahasa Islam, siyasah (politik) itu ri’ayah su’unil ummah (mengurusi urusan masyarakat). Bagaimana bisa dia mengurusi urusan umat, kalau kemudian orientasi politiknya adalah sifatnya pragmatis dan kekuasaan semata?

“Maka kemudian yang dirugikan adalah masyarakat, tegasnya. Muncullah pola-pola politik yang sifatnya transaksional, pola-pola politik yang sifatnya membodohi rakyat,” ujarnya.

Rakyat, bebernya, hanya diiming-iming dengan bantuan-bantuan sosial yang sesaat, dengan serangan-serangan fajar pada saat pemilu.

Menurutnya, mekanisme politik itu, mekanisme yang panjang yang di situ ada proses penganggaran belanja negara, pembangunan dan seterusnya dan seterusnya, semuanya itu mengeruk dari harta rakyat dari pajak dan seterusnya dan seterusnya.

“Makanya implikasinya, akhirnya kemudian mekanisme politik yang semacam ini, akan semakin membuat kondisi masyarakat ini semakin rusak, rusak dari tataran hulu proses berpolitiknya dan rusak dalam tataran yang sifatnya hilir, dampaknya kepada masyarakat secara luas,” pungkasnya. [] Muhammad Nur

Share artikel ini: