Klaim Proyek Eco City Rempang Serap 35 Ribu Tenaga Kerja, Pemerhati Politik: Bohong!

Mediaumat.id – Pernyataan pemerintah tentang bakal tercipta lapangan kerja baru sebanyak 35 ribu orang dari Proyek Eco City Rempang, dinilai Pemerhati Politik Faisal Syarifudin Sallatalohy sebagai bentuk pembohongan publik.

“Pernyataan ini jelas tipu-tipu alias pembohongan publik,” ujarnya dalam sebuah tulisan di akun Facebook pribadinya Faisal Lohy, Rabu (20/9/2023).

Seperti dikabarkan sebelumnya, pemerintah berkali-kali mengklaim bahwa investasi Xinyi Group di Pulau Rempang sebesar USD11, 6 miliar atau setara Rp175 triliun, nantinya menyerap 35 ribu tenaga kerja lokal.

Ditambah, sebagaimana disampaikan Menteri Investasi RI Bahlil Lahadalia, melalui keterangan resminya, Senin (18/9), dana besar berikut klaim mencakup 35 ribu tenaga kerja yang bakal terserap adalah bagian investasi tahap pertama dari keseluruhan tahap senilai lebih dari Rp300 triliun.

Namun untuk diketahui, sebagaimana pula Ekonom Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan yang merujuk pada Banchmark Internasional, jumlah rata-rata lapangan kerja dari setiap investasi USD1 juta adalah 19 orang.

Sementara, tiap investasi sektor solar panel USD1 juta, menciptakan 16,37 lapangan kerja. “Secara sektoral, Benchmark Internasional merinci, setiap investasi USD1 juta (setara Rp15 miliar) di sektor energi, mampu menciptakan rata-rata 17-20 lapangan kerja baru,” tukas Faisal.

Artinya, apabila nilai investasi dari Xinyi Group, perusahaan solar panel asal Cina, sebesar USD11,6 miliar setara Rp172 triliun, harusnya mampu menciptakan sekitar 200 ribu lapangan kerja baru.

Sehingga, dari sini terungkap suatu informasi yang sesat dari pemerintah, dalam hal ini Menves Bahlil. “Lihatlah selisihnya sangat besar, 165.000 lapangan kerja,” beber Faisal, setelah dikurangkan dengan data 35 ribu punya Bahlil.

Slot Untuk Pekerja Cina

“Relasi penciptaaan lapangan kerja memang sengaja direndahkan, dimanipulasi pemerintah (untuk) menyediakan slot bagi para pekerja asing asal Cina,” sebut Faisal, setelah kemungkinan pertama bahwa nilai investasi tak sebesar yang disampaikan.

Maksudnya, jumlah lapangan kerja yang disediakan untuk pekerja lokal sengaja direndahkan pemerintah untuk menyerap lapangan kerja dari Cina.

Ia memandang, hal ini menjadi konsekuensi yang dipaksakan Cina sebagai salah satu syarat dasar kesediaannya menjalin komitmen investasi.

Apalagi selama ini, kedua negara ini memiliki kerja sama khusus dalam paket kerja investasi yang sangat menguntungkan Cina, baik meliputi uang, barang maupun tenaga kerja.

Disebutnya pula, Cina tidak akan mau berinvestasi jika pembelian barang dan tenaga kerja bukan dari mereka.

Karenanya, dengan melihat regulasi baru, PP No. 34/2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, terutama Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan, pekerjaan yang belum dapat diisi oleh pekerja lokal dapat diisi oleh tenaga kerja asing, Faisal menyebut pemerintah bertindak layaknya jongos.

Karenanya pula, dengan regulasi dan desakan paket investasi seperti ini, telah menjadikan Indonesia sebagai tuan dan budak (master and slave) di waktu yang sama. Konsekuensinya, negara didikte dan rakyat harus pasrah dibanjiri TKA Cina.

“Itulah gambaran Indonesia lima tahun terakhir, sebagaimana kasus banjirnya TKA Cina di berbagai sektor, terutama di industri tambang dan smelter semisal di Konawe dan Morowali,” ungkapnya lagi.

Sehingga, apabila Xinyi Group benar-benar menguasai lahan di Pulau Rempang, akan menjadi salah satu kasus penguasaan lahan produksi terbesar Cina dalam sejarah investasi Indonesia.

“Dari 17.000 hektare lahan yang dipatok, dilepaskan 7.500 hektar kepada Xinyi Group,” bebernya.

Jumlah itu, katanya, bahkan lebih luas dibanding total luas lahan industri feronikel dan smelter Cina di Konawe yang hanya 5.500 hektare.

Artinya, sangat cukup menampung eksodus puluhan bahkan ratusan ribu pekerja Cina dalam rangka pengembangan industri kaca dan pasir silika untuk keperluan solar panel (PLTS).

Terakhir, dari data 35 ribu lapangan kerja yang dilontarkan Bahlil, menunjukkan pula pemerintah telah tersandera atas kepentingan Cina. “Pemerintah tersandera,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: