Oleh: Nindira Aryudhani | Koordinator LENTERA
Dirut Bulog naik pitam. Bagaimana tidak, pihaknya menyayangkan kebijakan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukito, yang melakukan impor beras sebanyak 2 juta ton. Budi Waseso (Buwas) selaku Dirut Bulog, bahkan menyatakan bahwa gudangnya tengah penuh dengan stok beras yang mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga Juni 2019. Tak tanggung-tanggung, Bulog juga telah menyewa gudang di beberapa daerah dengan biaya Rp 45 miliar demi menampung surplus beras nasional.
Pasalnya, Enggar malah sinis menanggapi hal ini dengan menyatakan bahwa penuhnya stok beras di gudang Bulog, bukanlah urusannya. Tak ayal, Buwas pun bingung. Sebab kegiatan yang Bulog lakukan juga merupakan tugas dari pemerintah. Menurut Buwas, seharusnya antara Bulog dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) mesti berkoordinasi untuk menyamakan pendapat dan bisa bersinergi mendorong langkah pemerintah menjaga pasokan beras.
Sementara itu, menurut Menteri Pertanian Amran Sulaiman pada dasarnya saat ini pasokan beras dari dalam negeri lebih dari cukup. Sebab, ada 47.000 ton pasokan beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Angka ini 2 kali lipat dari batas aman sebesar 25.000 ton. Oleh karena itu, tidak ada alasan masyarakat mengkhawatirkan pasokan beras di dalam negeri.
Lebih lanjut, Amran memastikan saat ini beras yang diimpor oleh Perum Bulog masih berada di gudang. Beras tersebut disiapkan sebagai cadangan sehingga belum keluar ke pasaran. Amran juga menyatakan telah menggunakan konsep baru dalam memanen padi. Yakni dengan mekanisme combine harvest antara pertanian tradisional dan modern. Kelebihan mekanisme ini, jika sebelumnya panen butuh waktu 25 hari untuk lahan seluas 25 hektar per orang, maka sekarang hanya perlu waktu 3 jam.
Melihat usaha Buwas dan Amran ini, nampaknya institusi yang mereka pimpin masih sama-sama memiliki visi untuk meminimalisasi impor. Setidaknya mengurangi, karena stok dalam negeri sedang berlebih.
Kasus impor beras Enggar ini kemudian melebar. Tatkala Rizal Ramli (RR), ekonom gaek Indonesia, turut ambil suara mengkritik kebijakan kementeriannya. RR menduga bahwa kebijakan Enggar ada kaitannya dengan relasi dagang bos Enggar di Nasdem, Surya Paloh. Berbuntut panjang, Partai Nasdem yang tidak terima ketua umumnya disebut turut bermain dalam kebijakan impor. Pihaknya pun memutuskan melaporkan RR ke Polda Metro Jaya.
Menghadapi kasus ini, RR didukung oleh 720 pengacara dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Saat ini, RR juga tengah mempertimbangkan melaporkan balik Partai Nasdem atas tuduhan pencemaran nama baik. Menurut RR, laporan Nasdem atas dirinya ke Polda Metro Jaya merupakan penghinaan terhadap kredibilitasnya sebagai ekonom yang diakui di dalam dan luar negara.
Kritik RR sebenarnya sangat beralasan. Di era neokapitalisme seperti saat ini, tentu tak mungkin ada kebijakan-kebijakan kreatif bermotif laba, kecuali memang ada afiliasi pemodal besar di belakangnya. Hal ini tengah ditelusuri oleh Kementan, yakni dengan dugaan adanya mafia pangan. Dalam data Kementan, harga beberapa produk pertanian masih tergolong tinggi. Apalagi beras adalah bahan pangan pokok. Setiap orang pasti membutuhkan dan membelinya. Jadi permainan harga dan kartelisasi beras jelas potensial menghasilkan laba berganda.
Menurut Amran, beberapa harga komoditas memiliki disparitas atau perbedaan harga yang cukup jauh. Adapun kondisi itu menyebabkan petani dan masyarakat merugi. Amran menjelaskan, mafia tersebut biasanya berada di rantai pasokan yang panjang. Mafia ini adalah middle man, maka supply chain-nya harus dipotong. Karena di titik itulah persoalannya. Hingga saat ini, Kementan masih terus melakukan perlawanan terhadap mafia. Kini lebih dari 497 kasus mafia pangan tengah diproses secara hukum.
Mencermati realita ini, haruskah kita masih berpihak pada kapitalisme-demokrasi? Sistem ini telah meniscayakan ekonomi rimba. Pemodal kuatlah yang menguasai pasar. Yang lemah, silakan minggir dengan sekedar berkutat di dunia UMKM. Belum lagi adanya politik oligarki yang menggiurkan. Yaitu sistem politik di mana pengusaha menjadi penguasa. Tak heran jika kemudian kaum pemodal ramai-ramai ambil posisi di pucuk-pucuk pimpinan jabatan negara. Yang dengannya, mereka dapat membuat kebijakan yang bernilai ekonomi setinggi-tingginya sekaligus dapat meraup nominal labanya.[]