Kisah Rasulullah SAW dengan Jin (3)
Oleh: Rokhmat S. Labib
Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” (TQS al-Ahqaf [46]: 32).
Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang seruan yang disampaikan oleh kaumnya sesama jin yang telah beriman kepada sesama jin. Mereka menyerukan agar jin lainnya yang belum beriman untuk memenuhi seruan Rasulullah SAW. Jika mereka memenuhinya, niscaya diampuni dosa-dosa mereka dan diselamatkan dari siksa yang pedih.
Ayat ini kemudian menyampaikan ancaman kepada siapa saja yang menolak dan tidak mau mengikuti seruan Rasulullah SAW.
Balasan yang Menolak Seruan
Allah SWT berfirman: Wa man lâyajib dâ’iyaL-lâh falaysa bi mu’jiz[in] fî al-ardh (dan orang yang tidak menerima [seruan] orang yang menyeru kepada Allah, maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi).
Ayat ini masih mengisahkan tentang perkataan rombongan jin tersebut kepada kaumnya. Mereka menyampaikan ancaman jika ada yang menolak seruan Rasulullah SAW. Dikatakan kepada mereka: Wa man lâyajib dâ’iyaL-lâh (barangsiapa yang tidak menerima seruan orang yang menyeru kepada Allah). Yang dimaksud dengan dâ’iyaL-lâh (orang yang menyeru kepada Allah SWT) adalah Rasulullah SAW.
Ibnu Jarir berkata, “Barangsiapa yang tidak menerima Rasulullah SAW dan penyerunya kepada perkara yang didakwahkan berupa tauhid dan amal ketaatan.”
Ketika penolakan itu dilakukan, maka pelakunya pun diancam: Maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi. Artinya, dia tidak bisa melepaskan diri dari Allah SWT dan tidak bisa mendahului-Nya.
Ibnu Jarir berkata, “Maka dia tidak bisa melepaskan dari Tuhannya dengan berlari dari-Nya apabila Dia ingin menghukum-Nya karena mendustakan penyeru kepada-Nya dan tidak mau memercayainya meskipun dia mau pergi meninggalkan bumi dengan berlari. Sebab, dia masih berada dalam kekuasaan dan genggaman-Nya.”
Tak jauh berbeda, al-Syaukani juga berkata, “Tidak luput dari Allah SWT dan tidak dapat mendahului-Nya. Tidak mampu berlari dari-Nya meskipun dia lari sekencang-kencangnya. Sebab, dia masih berada di bumi dan tidak ada jalan baginya untuk keluar darinya.Ini merupakan ancaman yang sangat keras.”
Menurut al-Zamakhsyari dan al-Razi, ini sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya: Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (daripada)Nya dengan lari (QS Jin [72]: 12).
Tak hanya di bumi. Semua orang yang mendapatkan azab-Nya, juga tak bisa menyelamatkan diri di langit. Allah SWT berfirman: Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di bumi dan tidak (pula) di langit (TQS al-Ankabut [29]: 22).
Kemudian disebutkan: Walaysa lahu min dûnihi awliyâ`a (dan tidak ada baginya pelindung selain Allah). Artinya, tidak memiliki penolong yang melindunginya dari azab Allah SWT.
Ibnu Katsir juga berkata, “Yakni tiada seorang pun yang dapat menyelamatkan mereka dari azab.” Ibnu Jarir juga berkata, “Orang yang tidak menerima penyeru Allah SWT juga tidak memiliki para penolong selain Allah SWT yang bisa menolong mereka ketika Tuhannya menghukumnya disebabkan karena kekufuran dan pendustaan mereka terhadap penyeru-Nya.”
Tentang tiadanya penolong bagi orang yang berpaling dari-Nya dan mendapatkan siksa-Nya juga disebutkan dalam beberapa ayat lainnya, seperti firman-Nya: Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi (TQS al-Taubah [9]: 74). Juga firman-Nya: Dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah (TQS al-Ankabut [29]: 22).
Setelah Allah SWT menjelaskan tentang mustahilnya menyelamatkan dirinya sendiri, kemudian menjelaskan tentang mustahilnya dirinya diselamatkan oleh orang lain. Allah SWT berfirman: Ulâika fî dhalâl mubîn (mereka itu dalam kesesatan yang nyata). Kata ulâika menunjuk kepada orang-orang yang tidak menerima seruan Rasulullah SAW dan mengimani apa yang beliau bawa. Mereka diberitakan berada dalam dhalâl mubîn (kesesatan yang nyata).
Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Mereka yang tidak menerima seruan penyeru Allah SWT dan tidak membenarkannya beserta semua yang diserukannya, baik mentauhidkan Allah SWT dan mengerjakan ketaatan kepada-Nya, berada dalam penyimpangan dari jalan yang benar dan mengambil jalan yang tidak lurus.”
Firman-Nya: mubîn (terang) menurut al-Syaukani berarti: zhâhir wâdhih (sangat terang dan jelas). Yakni, dhâhir[in] kawnuhu dhalâl[an] (terang kesesatannya), dari segi tidak tersembunyi bagi siapa pun ketika mereka berpaling dari menerima urusan tersebut.
Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, maksudnya adalah jelas bagi orang yang merenungkannya bahwa itu sesat dan menyimpang dari jalan yang lurus.
Abdurrahman al-Sa’di berkata, “Kesesatan apakah yang melebih orang yang telah diseru oleh para rasul dan telah sampai kepada mereka ayat-ayat yang jelas dan hujjah-hujjah mutawatir, lalu dia berpaling dan bersikap sombong?”
Tentang kesesatan orang-orang yang menolak petunjuk Allah SWT, disebutkan dalam banyak ayat lain, seperti dalam firman-Nya: Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS al-Qashash [28]: 55).
Dijelaskan Ibnu Katsir, ini mengandung ancaman dan peringatan; jin menyeru kepada kaumnya untuk menyembah Allah dengan cara targib dan tarhib (anjuran dan peringatan), karena itulah seruannya itu berhasil terhadap sebagian besar dan mereka, dan mereka datang kepada Rasulullah SAW delegasi demi delegasi.
Menerangkan ayat ini, Wahbah al-Zuhaili berkata, “Barangsiapa yang tidak menerima seruan Rasulullah SAW yang mengajak kepada tauhid dan menaati Allah SWT, dia tidak akan bisa melepaskan dan membebaskan dari Allah SWT serta tidak akan lolos dari-Nya. Sebab, ia berada di bumi-Nya. Juga, ia tidak memiliki seorang pun penolong selain Allah SWT yang bisa menolong dan menyelamatkan mereka diri dari azab-Nya. Orang-orang yang tidak mengikuti seruan kepada Allah SWT benar-benar berada dalam kesalahan yang jelas dan nyata.”
Ibnu Abbas berkata, “Ada tujuh puluh dari kalangan mereka (jin) yang menerima, lalu mereka kembali kepada Nabi SAW, dan mereka menemukan beliau di Bath-ha`. Beliau pun membacakan Alquran kepada mereka; juga menyampaikan perintah dan larangan.”.
Demikianlah. Sebagaimana manusia, jin juga diperintahkan juga mengikuti risalah Rasulullah SAW. Jika mereka mengikutinya, akan diampuni dosa-dosanya dan diselamatkan dari siksa-Nya. Sebaliknya, jika mereka menolak untuk mengikutinya, maka tidak bisa melepaskan dari azab-Nya. Tidak ada yang bisa menolongnya serta berada dalam kesesatan yang nyata. Wallahu a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
- Jin, sebagaimana manusia, juga diperintahkan menerima dan mengikuti risalah Rasulullah SAW.
- Jika mereka menolak, maka mereka tidak dapat menghindarkan diri dari azab Allah SWT, tidak ada seorang pun yang dapat menjadi penolongnya, dan berada dalam kesesatan yang nyata.
Sumber: Tabloid Media Umat Edisi 234