Kiai Shiddiq: UAS Sampaikan Ajaran Islam, Bukan Ekstremis
Mediaumat.id – Pakar Fikih Kontemporer KH Shiddiq Al Jawi menegaskan, yang disampaikan Ustaz Abdul Somad (UAS) adalah bagian dari ajaran Islam, bukan ajaran ekstremis sebagaimana dituduhkan pemerintah Singapura.
“Sebenarnya yang disampaikan itu adalah ajaran Islam. Jadi tidak ada ajaran yang aneh-aneh atau yang bisa disebut ekstrem atau teroris,” ujarnya dalam Kajian Ngave Spesial Majelis Gaul: Refleksi Deportasi Ustaz Abdul Somad, Jumat (20/5/2022) di kanal YouTube Majelis Gaul.
Seperti diberitakan, pemerintah Singapura telah mencekal UAS pada Senin (16/5), dengan alasan yang bersangkutan adalah seorang ektremis dan teroris.
“Alasannya apa? Yaitu ada tiga pandangan UAS dalam ceramah-ceramahnya yang menurut pemerintah Singapura, menjadi alasan mengapa UAS dicap dengan predikat ektremis atau teroris,” terangnya.
Pertama, UAS menyebut orang non-Muslim adalah kafir. Kedua, UAS menyebut pelaku bom bunuh diri sebagai martir (syahid). Ketiga, dalam patung terdapat jin (iblis).
Berkenaan dengan sebutan kafir bagi kaum non-Muslim, lanjut Kiai Shiddiq, di dalam perspektif fikih artinya sangat jelas.
‘Yaitu orang yang tak beragama Islam, atau dengan kata lain orang yang tak beriman dengan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, baik dia kafir asli, seperti orang Yahudi atau Nasrani, maupun kafir murtad, yaitu asalnya Muslim tapi mengingkari salah satu ajaran pokok yang dipastikan sebagai bagian dari ajaran Islam, seperti wajibnya shalat’ (Sa’di Abu Jaib, Mausu’ah al-Ijma’, hlm. 963).
Maknanya, siapa pun yang mengkaji terminologi kafir dalam berbagai kitab-kitab terpercaya (mu’tabar), akan mendapat kesimpulan sama, yang intinya pengertian kafir adalah siapa saja yang tidak memeluk agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
“Sebagaimana pula dalam kitab Mu’jam Lughah al-Fuqaha, karya Prof. Rawwas Qal’ah Jie, intinya sama, yang namanya kafir adalah orang yang tidak beriman kepada agama Islam,” tambahnya.
“Begitu juga di kitab lain, seperti di dalam kitab Al-Mu’jam al-Wasith, Juz II hlm. 891; kemudian di kitab Ta’rifat Fiqhiyyah yang ditulis oleh Mufti Sayyid ‘Amim al-Ihsan al-Barkati. Intinya sama, yang disebut dengan kafir, orang-orang yang tidak beragama Islam,” imbuhnya.
Sehingga, lanjut Kiai Shiddiq, perkataan UAS mengenai sebutan kafir sudah benar. Sebab makna kafir memang orang-orang yang tidak beragama Islam.
Berikutnya, terkait pelaku bom bunuh diri. “Dalam klarifikasi UAS di kanal YouTube Refly Harun, ceramah beliau tentang bom bunuh diri itu adalah sekadar menyampaikan pendapat orang lain, bukan pendapat beliau sendiri, dan konteksnya adalah perang di Palestina antara umat Islam melawan Yahudi Israel,” bebernya.
Namun, terlepas klarifikasi UAS, Kiai Shiddiq menyampaikan pendapat para ulama fikih kontemporer. Dan ternyata ada yang membolehkan dan mengharamkan.
“Yang membolehkan, tentu akan menilai pelakunya adalah mati syahid. Sedang ulama yang mengharamkan, akan menganggap pelakunya tidak mati syahid atau mati sia-sia,” jelasnya.
Meskipun termasuk masalah khilafiyah, menurut Kiai Shiddiq, dua-duanya adalah ajaran Islam atau ajaran/pendapat yang islami.
Serupa dengan khilafiyah doa qunut misalnya, ia menegaskan bahwa, baik yang shalat Shubuhnya memakai qunut atau tidak, dua-duanya termasuk pendapat yang islami.
Begitu pula jumlah raka’at Tarawih. “Ada yang dua puluh plus tiga Witir, ada yang delapan plus tiga Witir. Mana ajaran yang islami? Dua-duanya islami,” sambungnya seraya menegaskan kembali permasalahan khilafiyah tentang bom bunuh diri yang dua-duanya adalah pendapat islami.
Maka atas dasar itu, UAS lagi-lagi tidak bersalah tatkala menyebutkan pendapat ulama yang membolehkan bom bunuh diri. Sebab secara keilmuan, pendapat tersebut memang pantas disampaikan. “Walau mungkin, UAS sendiri tidak sependapat dengan pendapat yang membolehkan itu,” ucapnya.
Bahkan, tambah Kiai Shiddiq, pendapat yang membolehkan justru pada faktanya adalah para jumhur ulama fikih kontemporer yang ternyata bukan ulama sembarangan. Sebutlah di antaranya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. “Siapa yang tak kenal beliau?” timpalnya.
Terakhir, sebagaimana klarifikasi UAS di Refly Harun, yang menjelaskan pendapatnya bahwa dalam patung memang bersemayam jin. “Dasarnya adalah dua hadits Nabi SAW,” tandas Kiai Shiddiq.
‘Para malaikat tidaklah akan masuk ke sebuah rumah yang ada anjingnya atau ada patungnya’ (HR Bukhari, No. 3225).
Serta hadits yang terdapat dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayaa, Juz VI, hlm. 607, karya Imam Ibnu Katsir, mengutip dari Imam al-Waqidi, bahwa terdapat jin perempuan dalam patung Al- Uzza.
Maka karena masih bersandar pada dalil-dalil hadits tersebut, kata Kiai Shiddiq, UAS kembali tidak bersalah ketika menyebutkan dalam patung ada jin. “Apa yang disampaikannya, masih islami,” timpalnya.
Hanya, Kiai Shiddiq merasa lebih condong pada pendapat adanya jin, khusus pada patung Uzza. Sedangkan patung pada umumnya, ia tidak bisa memastikan dengan tegas. “Adapun mengenai berdiamnya jin pada patung (secara umum), kita tidak dapat memastikan secara tegas, karena ini masalah gaib bagi kita,” pungkasnya.[] Zainul Krian