Kiai Shiddiq: Substansi Protes ‘Antihijab’ Iran Tidak Tepat

 Kiai Shiddiq: Substansi Protes ‘Antihijab’ Iran Tidak Tepat

Mediaumat.id – Gelombang aksi protes ‘antihijab’ di Iran yang terjadi di akhir September lalu, dinilai tidak pada substansinya.

“Ini kan berarti sudah misleading, sudah keliru mengambil substansi persoalannya itu keliru atau sengaja keliru,” ujar Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi dalam Kajian Fikih: Sanksi Pidana Islam bagi Muslimah yang Menampakkan Aurat di Tempat Umum, Jumat (21/10/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

Artinya, isu yang berkembang itu tidak boleh dibiarkan liar. Dan harusnya, kata Kiai Shiddiq, mereka bukan memprotes kewajiban memakai hijabnya.

“Bukan ini persoalannya. Persoalannya itu perilaku berlebihan dari aparat keamanan. Itu yang mestinya diprotes. Kenapa kok menjadi gelombang protes ‘antihijab’?” sesalnya menambahkan.

Adalah Mahsa Amini, perempuan berusia 22 tahun yang tewas setelah ditangkap oleh polisi moral di Kota Teheran pada 13 September 2022 lalu, karena dugaan penggunaan hijab yang salah sebelumnya.

Saat ditangkap, Amini dilaporkan koma setelah jatuh pingsan di tahanan dan meninggal tiga hari kemudian di rumah sakit.

Namun, polisi moral membantah bahwa anggota mereka memukul kepala Amini dengan tongkat atau membenturkan kepalanya ke mobil polisi.

Akibat kematian Amini, perempuan-perempuan di Iran dan di negara lain membuat gerakan protes dengan membakar cadar dan hijab. Sementara beberapa lainnya memotong rambut mereka di depan umum sebagai tantangan langsung kepada para pemimpin ulama.

Lebih dari itu, di tengah aksi tersebut ada seruan-seruan kebebasan berekspresi yang menurut Kiai Shiddiq dilakukan pihak yang ‘menunggangi’ isu hijab tersebut. “Liberalisasme ini kemudian menunggangi isu itu untuk mempropagandakan peradaban Barat,” bebernya.

Padahal secara Muslimah, kata Kiai Shiddiq meluruskan, menutup aurat ketika sedang keluar rumah adalah wajib. “Perempuan kalau keluar rumah dalam Islam itu ada kewajiban mengenakan dua busana,” tegasnya, seraya menjelaskan masing-masing yaitu khimar atau kerudung dan jilbab atau busana sejenis gamis longgar.

“Ini kalau tidak dipakai dalam kehidupan umum berarti meninggalkan kewajiban,” sambungnya.

Takzir

Konsekuensinya, terang Kiai Shiddiq, bagi Muslim laki-laki maupun perempuan yang membuka aurat di tempat umum adalah sanksi pidana syariah berupa takzir yaitu hukuman syariah yang dijatuhkan untuk pelanggaran yang tidak ada nash khusus mengenai jenis sanksinya dan tidak ada kafarat/tebusan di dalamnya.

“Beda dengan pembunuhan yang itu ada dengan jelas disebutkan jenis sanksi dan kafarat,” tukasnya, membandingkan takzir dengan jenis sanksi hudud.

Pun berbeda pula dengan jinayah atau sanksi pidana untuk tindak pidana pembunuhan tertentu dan penganiayaan fisik di luar pembunuhan.

“Demikian juga dengan mukhalafat, sanksi pidana untuk pelanggaran peraturan administrasi negara, misal tidak mempunyai KTP, melanggar rambu lalu lintas, melanggar peraturan kepegawaian dalam pekerjaan, dsb.,” tambahnya, terkait macam sanksi pidana lainnya di dalam Islam.

Sekadar diketahui mengenai bentuk takzir, sambung Kiai Shiddiq, sanksinya pun bermacam-macam hingga sekitar 14 jenis. “Intinya macam-macam ada sekitar empat belas jenis sanksi takzir yang bisa dipilih oleh hakim syariah,” bebernya.

Mengutip keterangan Syekh Abdurrahman al-Maliki di dalam kitab Nizham al-Uqubat, hlm. 157-175, sanksi takzir bisa berupa hukuman mati (al-qatl), penyaliban (ash-shalb), penjara (al-habs), pengucilan (al-hajr) atau larangan hakim kepada publik untuk bicara dengan terpidana, pengasingan (an-nafyu), hukuman cambuk (al-jild), denda finansial (al-gharamah), pemusnahan barang kejahatan (itlaful mal), publikasi pelaku kejahatan (at-tasyhir) di media massa, dsb.

Tetapi khusus perbuatan membuka aurat di tempat umum, kata Kiai Shiddiq, Syekh Abdurrahman al-Maliki menjelaskan jenis sanksi takzirnya adalah hukuman cambuk atau penjara.

‘Barang siapa (perempuan) yang membuka auratnya selain wajah dan dua telapak tangannya, maka dia dihukum dengan hukuman cambuk. Jika dia tidak menghentikan perbuatannya (setelah dihukum cambuk), dia diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan,” demikian keterangan Syekh Abdurrahman di kitab yang sama hlm. 184.

Maknanya, apabila terdakwa sekadar lupa karena memang termasuk wanita ‘baik-baik’ mungkin hukumannya sekali cambuk. Tetapi kalau memang terkategori perempuan ‘tidak baik-baik’, ucap Kiai Shiddiq, bisa sampai dipenjara maksimal enam bulan.

Qadhi

Kemudian berkenaan siapa yang berhak menerapkan sanksi pidana tersebut, Kiai Shiddiq menyampaikan hanya qadhi (hakim syariah) yang memperoleh mandat atau mewakili sang imam (khalifah) di dalam negara khilafah.

“Dengan kata lain hanya imam (khalifah) saja yang berhak menerapkan sanksi pidana Islam, bukan yang lain,” tekannya, dengan menyinggung sistem pemerintahan kerajaan atau pun republik berikut embel-embel Islamnya sekalipun tidak berhak untuk itu.

Maka dari itu, secara syar’i tidak boleh, siapa pun dia baik individu, kelompok, maupun negara selain khilafah, menjalankan pidana (hukuman) yang disyariatkan, seperti hukuman potong tangan, qishash, hukuman cambuk bagi pezina, dsb., termasuk juga berbagai macam hukuman takzîr.

“Apa dasarnya?” sela Kiai Shiddiq, diterangkan oleh Syekh Imam Nawawi di dalam kitab Al- Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Juz XXII, hlm. 76, sanksi pidana Islam dahulu hanya dilaksanakan oleh Rasulullah SAW sebagai imam atau kepala negara dalam Daulah Islamiah di Madinah waktu itu, yang kemudian setelah Rasul wafat, pelaksanaan pidana Islam ini dilaksanakan oleh para khalifah yang mewakilkan kepada para qadhi atau hakim syariah.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *