Mediaumat.id – Pernyataan Ulil Abshar Abdalla tentang dikotomi khilafah menjadi sekadar kajian keislaman dan bukan praktik kenegaraan, dinilai Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi telah membodohi umat.
“Demikianlah Ulil berkhotbah menggurui dan membodohi umat Islam,” paparnya dalam sebuah tulisan yang diterima Mediaumat.id, Kamis (27/7/2023).
Sebelumnya, adalah tradisi Buka Luwur yang merupakan upacara keagamaan untuk merayakan haul dan ziarah Sunan Kudus pada Sabtu (22/7) lalu. Salah satu rangkaian acara di dalamnya terdapat apa yang disebut halaqah internasional dengan menghadirkan sejumlah tokoh di antaranya Ulil Abshar Abdalla.
Seperti diketahui, ia termasuk tokoh pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) pada 2001. Kiprah tersebut membuat Ulil menjadi tokoh kontroversial di kalangan umat Islam. Gagasannya meliberalisasi Islam kerap memicu kontroversi dan kritik dari ulama-ulama tanah air.
Dalam acara itu pula, Ulil menyampaikan, walau Khilafah Utsmaniah sudah runtuh, tetapi hanya khilafah secara siyasiyah yakni khilafah dalam bentuk negara yang sudah tiada.
Namun, secara tsaqafiyyah, yang menurut Ulil adalah khilafah secara keilmuan, sebenarnya terus hidup hingga sekarang khususnya di pesantren, dalam bentuk bermacam tarekat, semisal Naqsabandiyah.
Dengan kata lain, perjuangan menegakkan kembali khilafah terkesan menjadi tidak wajib. Sebab menurut Ulil, sudah ada pesantren sebagai pelanjut khilafah, namun secara tsaqafiyyah atau keilmuan.
Kritik untuk Ulil
Karenanya, menanggapi hal ini, Kiai Shiddiq pun melontarkan setidaknya empat poin kritikan. “Ada empat kritik saya untuk Ulil,” lontarnya.
Pertama, dikotomi seputar khilafah itu kontradiktif dengan keterangan-keterangan di dalam fikih yang justru para jumhur ulama mewajibkan khilafah.
“Para imam yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, semoga Allah memberi rahmat kepada mereka, telah sepakat bahwa imamah (khilafah) adalah fardhu (wajib),” cetus Kiai Shiddiq, mengutip keterangan Syekh Abdurrahman Al-Juzairi di dalam kitab beliau, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz IV, hlm. 516.
Sedangkan secara fardhu atau wajib, dalam hal kewajiban ini, berarti Ulil mengajak orang untuk melakukan dosa. “Bukankah suatu kewajiban kalau ditinggalkan, akan berakibat dosa?” jelasnya.
Kedua, basis dikotomi itu sesungguhnya adalah tidak jelas atau kata Kiai Shiddiq, minimal tidak dijelaskan oleh Ulil.
Maksudnya, terdapat dua basis dalam dikotomi itu. “Di satu sisi mengakui khilafah, tapi di sisi lain tetap mempertahankan NKRI,” paparnya terkait basis pertama, yakni jalan tengah.
Kiai Shiddiq melihat, Ulil berusaha menyusun ide agar khilafah dan NKRI bisa terakomodasi semuanya. Padahal konsep dari sistem negara republik adalah sekuler.
“Sistem republik sebagai konsep pemerintahan yang lebih praktikal, adalah hasil revolusi Prancis tahun 1789, bukan berasal dari khazanah fikih Islam,” terangnya.
Basis berikutnya, dikotomi ala Ulil menurut Kiai Shiddiq, didasarkan pada sikap menyakralkan NKRI sebagai sistem final yang bersifat suci dan tidak bisa diubah secara absolut.
Sementara, secara historis, bentuk negara ini bersifat dinamis. “Pernah awalnya merupakan negara kesatuan, lalu berubah menjadi negara federal, lalu kembali menjadi negara kesatuan lagi,” ulasnya.
Terlebih, di dalam UUD 1945 sendiri ‘menyediakan’ kemungkinan perubahan bentuk negara dalam Pasal 37 tentang perubahan. Artinya, meski di ayat ke-5 seolah-olah sudah memfinalkan bentuk NKRI, tetapi pada dasarnya ayat ini pun juga bisa diubah dengan ayat sebelumnya di pasal yang sama.
Ketiga, ungkapan Ulil mengenai khilafah tsaqafiyyah yang kini dilestarikan di pesantren dalam bentuk keilmuan, salah satunya tarekat, kata Kiai Shiddiq tidaklah proporsional.
Sebab, menurutnya, sebagaimana ide ‘pesantren sebagai sub kultur” oleh Gus Dur, pesantren itu mempunyai kultur ‘tradisional’ yang sifatnya minor, sebagai bagian integral dari kultur ‘modern’ yang mayor (dominan) di ranah publik.
Sementara, singgungnya mengutip Ibnul Qayyim (Zadul Ma’ad, 5/421), sesuatu yang jarang atau minor itu tidak mempunyai kekuatan hukum.
Keempat, terkait tarekat Naqsabandiyah yang menurut Ulil didirikan pada masa Khilafah Utsmaniah yang saat ini banyak diamalkan di pesantren-pesantren, adalah keliru.
“Tarekat Naqsabandiyah lahir sebelum eksisnya Khilafah Utsmaniah,” ungkapnya, seraya menyampaikan kemunculan tarekat ini pada abad ke-14 di Turkistan. Pencetusnya, bernama Muhammad bin Muhammad Baha’udin al-Bukhari, yang kemudian mendapatkan gelar Syah Naqsyaband.
“Dia dilahirkan tahun 618 H dan meninggal tahun 719 H, atau hidup antara 1317-1389 M,” imbuhnya, menukil kitab Al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzahib (1/260).
Sedangkan, seperti diketahui bersama, Khilafah Utsmani baru eksis sebagai kekhilafahan yang meneruskan estafet kepemimpinan dari Kekhilafahan Abbasiah ketika Sultan Salim I di Turki berkuasa pada 1512-1550 M. “Ini salah secara historis, dan Ulil tidak teliti,” pungkasnya.[] Zainul Krian