Mediaumat.id – Mengulas tentang definisi berpikir atau proses berpikir, Founder Institut Muamalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al Jawi menegaskan, aktivitas tersebut hanya bisa dilakukan apabila di dalam diri manusia terdapat empat komponen berpikir.
“Berpikir itu suatu aktivitas yang hanya dapat berlangsung jika ada empat komponen berpikir secara lengkap,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Jumat (27/5/2022).
“Adanya suatu realitas atau objek, terjadi penginderaan oleh indera yang sehat, terdapat otak yang sehat, dan terdapat informasi sebelumnya yang berkaitan dengan realitas atau objek tersebut,” urainya tentang empat komponen dimaksud.
Dengan kata lain, mengutip penjelasan Imam Taqiyuddin an-Nabhani di kitab At-Tafkir, tepatnya hlm. 50, ia menyampaikan, jika salah satu saja dari keempat komponen dimaksud tidak ada, maka sesungguhnya tidak mungkin terjadi suatu proses berpikir (al-‘amaliyat al-’aqliyah) pada diri manusia.
Definisi Berpikir
“Definisi berpikir temuan Imam Taqiyuddin an-Nabhani tersebut, mempunyai signifikansi (arti penting) yang sangat strategis, yang ditandai dengan dua hal utama,” ujarnya.
Pertama, aspek kebaruan (novelty) yang belum pernah ditemukan oleh para pemikir sebelumnya. Dan kedua, aspek implikasinya yang berguna dan luas spektrumnya dalam berbagai bidang keilmuan.
Meski seperti diketahui, kata Kiai Shiddiq, sejak dahulu sudah ada yang mencoba mendefinisikan makna berpikir. Tetapi belum mencapai definisi sahih dan memuaskan.
Artinya definisi berpikir atau proses berpikir tersebut sudah menjadi sebuah persoalan yang banyak diabaikan oleh para pemikir.
Padahal dari aktivitas berpikir itulah, bakal dan telah dihasilkan berbagai buah yang bermanfaat bagi manusia. Misalnya bermacam pengetahuan (ma’rifah) dalam sains maupun teknologi.
Malah dari penjelasan Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (I/120) disebutkan beberapa definisi berpikir dimaksud.
َ’Sesungguhnya akal (atau berpikir) adalah satu kekuatan bagi jiwa dan kekuatan untuk (mencapai berbagai) pemahaman (comprehension).
‘Akal adalah suatu substansi yang dengannya akan dapat dijangkau hal-hal yang gaib dengan perantara-perantara dan penginderaan-penginderaan terhadap hal-hal yang dapat dipersaksikan.’
Bahkan, lanjut Kiai Shiddiq, ada yang secara ringkas mendefinisikan, ‘Sesungguhnya akal (atau berpikir) adalah jiwa manusia itu sendiri.’
Imam Taqiyuddin an-Nabhani, sambungnya, pun mengeluarkan definisi berpikir, yakni, ‘Akal adalah suatu naluri yang diikuti oleh pengetahuan terhadap hal-hal yang bersifat dharuri (tanpa dipikirkan) pada saat sehatnya berbagai indera manusia.’
Kendati demikian, kata pakar fikih kontemporer tersebut, semua itu bagi Imam Taqiyyuddin belum menunjukkan definisi akal atau berpikir yang tepat.
Justru yang paling mendekati dengan fakta berpikir, masih dari keterangan Imam Taqiyuddin sebagaimana termaktub dalam kitab At-Tafkir (1973), adalah definisi menurut kaum komunis yaitu, ‘Sesungguhnya akal adalah refleksi realitas ke dalam otak.’
Namun, definisi tersebut mendapatkan kritikan dari beliau sendiri. “Dalam proses berpikir itu yang terjadi sebenarnya bukanlah refleksi, melainkan penginderaan (suatu objek), dan mustahil proses berpikir terjadi otomatis tanpa informasi sebelumnya,” ucapnya mengutip penjelasan Imam Taqiyyuddin.
Sepuluh Signifikansi
Lebih lanjut, Kiai Shiddiq yang mengaku telah melakukan studi terhadap berbagai kitab karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani berkenaan dengan definisi berpikir, menemukan setidaknya sepuluh signifikansi.
Pertama, bisa diketahui asal-usul dari berbagai macam pengetahuan manusia.
Jelasnya, terkait metode berpikir, yaitu metode rasional (al-thariqah ‘al aqliyah, rational method) dan metode ilmiah (al-thariqah al-’ilmiyah, scientific method), diharapkan menghasilkan berbagai pengetahuan manusia, baik ilmu-ilmu sosial-humaniora (social sciences-humanities) maupun ilmu-ilmu alam (natural sciences).
Kedua, bisa diketahui metode pembentukan persepsi (mafahim) pada manusia.
“Pembentukan persepsi ini sangat diperlukan dalam proses pendidikan agar peserta didik memahami materi ajar secara mendalam, bukan sekedar hafalan atau taqlid,” paparnya.
Ketiga, bisa diketahui metode pembentukan kepribadian manusia (takwin al-syakhshiyyah) yang dimulai dengan pembentukan pola pikir (‘aqliyah) sebagai basis pembentukan pola sikap atau pola perilaku (nafsiyah).
“Signifikansi ini terkait dengan ilmu psikologi yang banyak membahas konsep kepribadian manusia (personality),” imbuhnya.
Keempat, bisa diketahui rukun iman yang dalilnya aqli maupun naqli. “Prinsipnya, adalah mengikuti kaidah, ‘Apa saja yang tidak dapat dijangkau pancaindera, maka ia tidak dapat dijangkau oleh akal’,” kata Kiai Shiddiq.
Maknanya, apabila tidak dapat dijangkau oleh dalil aqli, wajib menggunakan dalil naqli.
“Karena itu, iman akan adanya Allah, iman bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan iman bahwa Al-Qur`an itu Kalamullah, dalilnya aqli. Sedangkan iman kepada Hari Kiamat, iman kepada Surga dan Neraka, dalilnya naqli,” jelasnya.
Kelima, bisa diketahui pembahasan ilmu kalam yang ternyata banyak dilakukan pada zaman dahulu. Bahkan menurutnya, telah melampaui kemampuan akal.
Misal, kata Imam Taqiyuddin an-Nabhani, Mu’tazilah berpendapat zat dan sifat Allah itu satu kesatuan. Sedangkan menurut Ahlussunnah (Asy’ariyah), zat dan sifat Allah adalah dua entitas yang berbeda.
“Padahal, objek pembahasannya, yaitu zat Allah dan sifat Allah, sebenarnya di luar kemampuan akal manusia, karena tak dapat diindera,” tukasnya seraya menyinggung kembali kaidah di poin keempat tadi.
Keenam, bisa diketahui batas kemampuan akal, yaitu hanya dapat berfungsi pada objek-objek empiris yang dapat diindera (al-waqi’ al-mahsus).
“Signifikansi ini terkait dengan studi ilmu filsafat dalam arti studi terhadap apa-apa yang tidak dapat diindera manusia, atau maa wara`al maadah (sesuatu di balik materi),” urainya.
Maka itu, masih dari keterangan di kitab At-Tafkir lagi, lanjut Kiai Shiddiq, Imam Taqiyuddin an-Nabhani mengkritik berbagai filsafat yang mengkaji apa yang ada di balik materi (objek tak terindera).
Sebutlah konsep filsafat emanasi yang menjelaskan proses penciptaan alam semesta atau tata surya, melalui akal pertama, akal kedua, akal ketiga, dst. “Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, filsafat emanasi hanyalah khayalan atau fantasi belaka,” kutipnya dari kitab tersebut.
Ketujuh, bisa diketahui bahwa dalam kajian ushul fikih, baik buruknya perbuatan seseorang dari segi pahala dan dosa, atau pujian dan celaan dari Allah SWT, tidaklah mungkin dijangkau oleh akal manusia.
Sehingga dari situ, untuk mengetahui suatu perbuatan itu dipuji atau dicela, merupakan suatu keharusan manusia merujuk kepada wahyu Allah SWT.
“Sebagai contoh, bahwa zina itu buruk karena dicela Allah, atau shalat itu baik karena dipuji Allah, tidaklah mungkin dijangkau oleh akal manusia,” tandasnya sembari menjelaskan bahwa pujian atau celaan Allah SWT adalah perkara gaib di luar jangkauan kemampuan akal manusia.
Maka sekali lagi ia tekankan, dalam masalah demikian, wajib seseorang merujuk kepada Al- Qur’an dan As-Sunnah.
Kedelapan, bisa diketahui bahwa metode rasional (al-thariqah al-’aqliyah) adalah metode paling mendasar untuk melahirkan berbagai pengetahuan.
“Setelah tahu definisi berpikir, maka akan diketahui pula bahwa metode rasional itu merupakan basis bagi adanya metode ilmiah,” ujarnya dengan menyebutkan setidaknya ada dua alasan.
Yakni karena memang cakupan objek metode rasional lebih luas daripada objek kajian metode ilmiah. Serta untuk melaksanakan metode ilmiah, semisal eksperiman di laboratorium, mutlak diperlukan metode rasional lebih dahulu, yaitu mendapat informasi sebelumnya mengenai berbagai hal di laboratorium. Seperti kegunaan bahan, alat, prosedur percobaan, dsb.
Kesembilan, bisa diketahui bahwa metode ilmiah adalah cabang dari metode aqliyah. “Metode ilmiah tidak dapat menafikan metode rasional, karena penafian ini berarti sesuatu yang cabang membatalkan sesuatu yang asasi (mendasar) yang justru melahirkannya,” terang Kiai Shiddiq.
Dengan kata lain misalnya, sebagai hasil metode rasional, seorang Muslim tidak boleh menolak konsep Nabi Adam sebagai manusia pertama yang langsung diciptakan oleh Allah SWT.
Alasannya, kata Kiai Shiddiq, sebagai hasil metode ilmiah, hal tersebut bertentangan dengan teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia hanya satu mata rantai dari evolusi organisme.
Atas itu, Kiai Shiddiq memantapkan dengan menukil QS. As-Sajdah ayat 7-8, yang artinya, ‘Dia (Allah) memulai penciptaan manusia (Adam AS) dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani).’
Kesepuluh, bisa diketahui kebatilan paham materialisme yang menjadi dasar bagi ideologi sosialisme. “Materialisme adalah paham bahwa segala sesuatu yang ada adalah materi, dan bergantung pada materi untuk eksistensinya,” ucapnya mencuplik perkataan Andi Muawiyah Ramly dalam bukunya, Peta Pemikiran Karl Marx, Yogyakarta: LKIS, 2004.
“Dari materialisme ini, dibangun dialektika materialisme dan historis materialisme,” timpalnya.
Padahal, menurut Kiai Shiddiq, materialisme adalah suatu kekeliruan, karena mengikuti definisi akal versi komunisme yang telah menafikan hal gaib (Hari Kiamat, Surga, Neraka, dsb) atau non materi, sehingga dianggap tidak ada, hanya karena tak dapat diindera.
Menurutnya lagi, kekeliruan materialisme berakar pada kesalahan perumusan definisi berpikir versi komunisme yang telah ia kemukakan tadi, yaitu, ‘Sesungguhnya akal (berpikir) adalah refleksi realitas ke dalam otak.’
Dengan demikian, definisi akal atau berpikir menurut komunisme, kata Kiai Shiddiq setidaknya ada dua alasan. Pertama, karena yang terjadi dalam proses berpikir adalah penginderaan, bukan refleksi.
“Kedua, proses berpikir itu mutlak memerlukan informasi sebelumnya, tidak mungkin proses berpikir berjalan otomatis tanpa informasi sebelumnya, sebagaimana dalam proses refleksi,” pungkasnya menukil penjelasan Imam Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam,_ hlm. 41.[] Zainul Krian