Kiai Shiddiq: Muslimah Haram Nikah dengan Pria Kafir

Mediaumat.id – Dalam konteks pernikahan beda agama antara Muslimah dengan pria non-Muslim yang akhir-akhir ini menjadi isu mencuat, Founder Institut Muamalah Indonesia sekaligus Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menegaskan, secara fikih Islam haram hukumnya.

“Wanita Muslimah haram hukumnya menikah dengan laki-laki kafir (non-Muslim), baik laki-laki kafir ahli Kitab maupun laki-laki kafir musyrik,” ujarnya dalam Fokus: Nikah Beda Agama dan Fenomena Kemusyrikan, Ahad (27/3/2022) di kanal YouTube UIY Official.

Kiai Shiddiq juga menyatakan, penegasan itu relevan dengan fakta yang ada sekarang yakni pernikahan beda agama yang menjadi viral setelah video pernikahan beda agama Muslimah staf khusus presiden dengan pria Katolik tayang di kanal YouTube Ayu Kartika Dewi beberapa waktu lalu.

Meskipun belakangan diketahui video tersebut sudah tidak ada lagi.

Sebelumnya pula, pernikahan seorang perempuan beragama Islam dengan pria Kristen di Semarang mendadak juga viral di media sosial.

Bahkan lanjutnya, berkenaan dengan fenomena nikah beda agama tersebut, semua ulama sepakat menghukumi haram. Dalilnya QS al-Baqarah: 221 dan QS Al-Mumtahanah: 10.

Ayat lanjutan dari kalimat awal pada QS al-Baqarah: 221, menegaskan larangan para wali dari anak perempuan yang dijelaskan Kiai Shiddiq sebagai mukhatab (kata ganti untuk orang kedua) atau yang menjadi sasaran pembicaraan ayat dimaksud, menikahkan perempuan beriman dengan laki-laki kafir hingga beriman.

“Artinya masuk Islam,” ucapnya memaknai ayat tersebut.

Lantas terkait QS al-Mumtahanah: 10, Kiai Shiddiq menerangkan tentang muhajirin Muslimah di Madinah yang bersuami dengan laki-laki kafir di Makkah. “Padahal dalam Perjanjian Hudaibiyah itu kalau ada orang dari Makkah ke Madinah itu harus dikembalikan,” ungkap Kiai Shiddiq menjelaskan asbabunnuzulnya.

Jelasnya, Muslimah yang bersuami laki-laki kafir di Makkah, harus tetap di Madinah. “Itu ayat yang mengharamkan laki-laki kafir atau non-Muslim, baik dia itu Yahudi atau Nasrani atau musyrik bukan Yahudi, bukan Nasrani, haram hukumnya menikahi perempuan Muslimah,” lugasnya.

“Ini adalah nash yang tidak mengandung makna kecuali satu makna saja, tak ada makna lainnya, yaitu seorang Muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir, dan bahwa laki-laki kafir tidak halal bagi perempuan-perempuan Muslimah,” bebernya mengutip kitab Al-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hlm. 106 karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani.

 

Berikutnya, jelas, Kiai Shiddiq, keharaman menikah beda agama juga ditentukan bagi laki-laki Muslim dengan perempuan non-Muslim bukan ahli kitab, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani, sebagaimana ayat: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu” (QS al-Baqarah: 221).

Meski begitu, lanjut Kiai Shiddiq, terdapat beberapa ketentuan syara’ yang membolehkan pernikahan beda agama. Yakni laki-laki Muslim menikah dengan wanita kafir ahli kitab, dalam hal ini yang beragama Yahudi dan Nasrani.

Dalilnya, kata Kiai Shiddiq, ada di QS al-Maidah: 5 yang artinya, “(Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.”

“Maksudnya adalah perempuan yang beragama Yahudi atau beragama Nasrani,” timpalnya mengutip tafsir Imam at-Thabari tentang definisi perempuan ahli kitab.

Ia menambahkan, walaupun semua ulama sepakat membolehkan, tetapi khusus Imam Syafi’i terdapat unsur kehati-hatian. “Menurut beliau wanita ahli kitab itu adalah wanita, orang-orang dari keturunan Bani Israil yang dulu ketika mendapat Injil atau Taurat itu masih asli,” ulasnya.

Sehingga apabila menganut Mazhab Syafi’i, orang Kristen dari suku Jawa termasuk yang tidak boleh.

Meski begitu, pendapat yang lebih kuat adalah jumhur ulama dengan tidak melihat keharusan wanita ahli kitab berasal dari keturunan Bani Israil.

Malah secara pribadi, Kiai Shiddiq mengutip satu kaidah fikih yang dirumuskan Imam Taqiyuddin an-Nabhani, “Setiap kasus dari kasus-kasus perkara yang hukum asalnya itu mubah atau boleh, tetapi untuk kasus tertentu itu dapat menimbulkan bahaya maka untuk kasus itu hukumnya haram. Tetapi pada dasarnya hukumnya itu tetap mubah bagi mereka yang tidak mengalami mudarat” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 3/456).

Maknanya, terdapat syarat supaya dibolehkan dengan tidak menimbulkan bahaya mudarat yang secara umum kasus tertentu hukumnya haram. Tetapi hukum yang secara umum tetap boleh.

Terakhir, Kiai Shiddiq mengutip kembali penjelasan Imam Taqiyuddin an-Nabhani sebagaimana dikatakan di Al-Nizham al-Ijtima’i fi Al-Islam, hlm. 106, tentang makna laki-laki kafir yang diharamkan menikahi Muslimah.

“Allah mengungkapkan dengan kata al-kuffar (laki-laki kafir), tidak mengungkapkan dengan kata al-musyrikin (laki-laki musyrik), agar dapat berlaku secara umum bagi setiap laki-laki kafir, baik dia laki-laki musyrik maupun laki-laki ahli kitab,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: