Kiai Shiddiq: Khilafah Tegak Lebih Dulu Daripada Kemunculan Imam Mahdi

Mediaumat.id – Menjawab pertanyaan yang sering muncul di tengah-tengah masyarakat terkait lebih dulu khilafah tegak atau kemunculan Imam Mahdi, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi, M.Si. menegaskan begini.

“Antara Imam Mahdi dengan berdirinya khilafah, itu yang lebih dulu itu adalah khilafah berdiri, baru beberapa waktu kemudian Imam Mahdi itu muncul,” ujarnya dalam Kajian Dhuha Eps #8: Benarkah Khilafah akan Ditegakkan oleh Imam Mahdi? di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Senin (11/4/2022).

Menurutnya, pertanyaan demikian sangat penting dijawab. Mengingat, di dalamnya terdapat semacam keyakinan bahwa yang akan menegakkan khilafah kembali nantinya adalah memang Imam Mahdi, yang dikhawatirkan bisa berimplikasi umat Islam akan berdiam diri sembari menunggu saja.

Apalagi, jika menilik sebuah keterangan dari Nabi SAW, ternyata memang tidak benar pendapat yang menyebut khilafah akan ditegakkan kembali oleh Imam Mahdi. “Itu adalah tidak benar,” ulangnya sembari menukil sebuah hadits yang artinya:

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Muadz bin Hisyam, telah menceritakan kepada saya ayahku Qatadah, dari Shalih Abi al-Khalil, dari salah seorang temannya, dari Ummu Salamah istri Nabi SAW, dari Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda,

Akan ada perselisihkan pada saat matinya seorang khalifah. Maka keluarlah seorang laki-laki dari penduduk kota Madinah, berlari menuju Makkah. Orang-orang dari penduduk Makkah mendatanginya. Lalu mereka mengeluarkan laki-laki itu, sedang laki-laki itu membencinya (tidak senang). Kemudian mereka membaiat laki-laki itu di antara Rukun (Yamani) dan Maqam (Ibrahim)…” (HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud Juz IV/175 no. 4.288; Musnad Ahmad, VI/316 no. 26.731; At Thabrani, Al Mu’jam Al Ausath, no. 1153; Sahih Ibnu Hibban, XV/160 no. 6.757; Musnad Abu Ya’la, XII/369 no. 6.940; Al Hakim, Al Mustadrak, Juz IV no. 8.328).

Berdasarkan hadits tersebut, lanjut Kiai Shiddiq, jelaslah kemunculan seorang laki-laki yang kemudian dikenal dengan Imam Mahdi adalah pada saat matinya seorang khalifah. “Ini berarti bahwa Imam Mahdi bukanlah khalifah yang pertama dalam khilafah yang akan kembali tegak nanti, insyaAllah,” terangnya.

Pengertian seperti itu, tambah Kiai Shiddiq, juga ditegaskan oleh Sa’ad Abdullah ‘Asyur dan Nasim Syahdah Yasin, dua pengarang kitab Al-Khilafah al-Islamiyyah wa Imkaniyyat ‘Audatiha Qabla Zuhur al-Mahdi as yang mensyarah hadits tersebut dengan berkata:

‘Maka Nabi SAW mengabarkan bahwa kemunculan Imam Mahdi as akan terjadi setelah matinya khalifah kaum Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa khilafah akan ada dan tegak sebelum kemunculan Imam Mahdi (Al-Khilafah al-Islamiyyah wa Imkaniyyat ‘Audatiha Qabla Zuhur al-Mahdi as, hlm. 27).

Sehingga, meski tidak tahu siapa yang akan menjadi khalifah pertama di dalam kekhilafahan yang akan kembali tegak nantinya, namun Kiai Shiddiq menegaskan kembali, kemunculan Imam Mahdi terjadi setelah wafatnya seorang khalifah.

“Khalifah yang pertama (dalam khilafah yang akan kembali tegak), wallahualam kita tidak tahu siapa. Tetapi yang jelas, Imam Mahdi akan muncul tetapi setelah matinya seorang khalifah,” paparnya.

Sehingga pula, Kiai Shiddiq menyebut tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa yang menegakkan kembali sistem pemerintahan Islam, dalam hal ini khilafah, itu adalah Imam Mahdi, tetapi kaum Muslim.

Dhaif?

Namun demikian, Syekh Nashiruddin Al Albani menilai hadits dalam Sunan Abu Dawud tersebut lemah (dhaif) “Demikian pula Syekh Syu’aib al-Arnaut menilai hadits dalam Musnad Ahmad bin Hambal tersebut lemah,” ucap Kiai Shiddiq.

Sebabnya, ada satu periwayat hadits yang menurut beliau majhul (tak diketahui) yang tertera di dalam kalimat ‘seorang teman Shalih Abi al-Khalil’.

Tetapi, di dalam periwayatan-periwayatan lain, sambung Kiai Shiddiq, sebutlah riwayat Imam Thabrani di kitab beliau Al-Mu’jam al-Ausath, ternyata bisa diketahui bahwa perawi itu adalah perawi yang dikenal, Mujahid bin Jabar. “Maka pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menilai hadits tersebut sebagai hadits sahih,” lugasnya.

Bahkan kesahihan tersebut dinyatakan oleh Imam al-Haitsami dalam kitabnya Majma’uz Zawaid (Juz VII, hlm. 318) yang berkata: ‘Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al Mu’jam al-Ausath dan para periwayatnya adalah periwayat-periwayat hadits sahih.’

Fardhu Kifayah

Penting dipahami juga, kata Kiai Shiddiq, perjuangan menegakkan khilafah, hukum asal sebenarnya adalah memang fardhu kifayah, bukan fardhu ain. Namun tidak lantas kemudian menjadikan sebagian dari umat Muslim saja yang berkewajiban mengupayakannya.

Pasalnya, secara ilmu ushul fiqih, kata Kiai Shiddiq menerangkan, fardhu kifayah akan melebar dan makin meluas menjadi kewajiban bagi setiap Muslim (fardhu ain), selama kewajiban dimaksud belum juga tegak. Meskipun sudah ada sekelompok orang yang mengusahakannya.

Sebagaimana penegasan Imam Taqiyyuddin an-Nabhani di dalam kitab Al-Syakhsiyah al Islamiyyah, Juz II, dikatakan menegakkan khilafah itu memang fardhu kifayah. Tetapi selama khilafah belum tegak, maka kewajiban penegakannya akan meluas kepada setiap orang Islam.

“Ini yang perlu kita pahami. Sesuatu yang hukum asalnya fardhu kifayah dapat berubah menjadi fardhu ain, kalau fardhu kifayah itu ternyata tidak tegak juga oleh sekelompok orang yang melakukannya ternyata enggak tegak-tegak. Akhirnya mencakup setiap orang Islam,” ucap Kiai Shiddiq.

Lantas berkenaan dengan seseorang yang bersikap hanya menunggu khilafah tegak, alias tidak turut berjuang, Kiai Shiddiq menyinggung tentang hadits Rasulullah SAW yang artinya, ‘Barangsiapa yang mati, sedangkan di lehernya itu tidak ada baiat kepada seorang khalifah, matinya adalah mati jahiliah’ (HR Muslim).

Dengan kata lain, ketika seorang Muslim meninggal dunia sementara tidak ada seorang khalifah, dan dia juga tidak memperjuangkannya, maka kematiannya termasuk mati jahiliah. “Kalau sudah tahu khilafah wajib, tetapi tidak berjuang, dia bisa menjadi mati jahiliah, mati dalam keadaan berdosa,” tuturnya.

Sebaliknya, bagi para pengemban dakwah khilafah di tengah kondisi yang memang sangat tidak mudah, semisal, konspirasi global, islamofobia, berbagai tindakan represif, lantas diwafatkan di tengah kondisi umat yang juga belum ada baiat atas khalifah, Kiai Shiddiq berharap mudah-mudahan diampuni oleh Allah,” tandasnya menyinggung kitab Hadits Arbain hadits ke-39 tentang perbuatan yang tidak terkena dosa.

‘Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa, dan dipaksa’ (Hadits Hasan Riwayat Ibnu Majah no. 2045, Al-Baihaqi VII/356).[] Zainul Krian

Share artikel ini: