Mediaumat.info – Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menegaskan, secara umum kaidah fikih tidak dapat digunakan untuk menggugurkan suatu kewajiban yang sudah pasti hukumnya.
“Kaidah fikih itu secara umum tidak dapat digunakan untuk menggugurkan suatu kewajiban yang sudah pasti,” ujarnya dalam Kajian Soal Jawab Fikih: Penyalahgunaan Kaidah Fikih Untuk Melegitimasi Security Tidak Shalat Jum’at, Kamis (12/9/2024) di kanal YouTube Ngaji Subuh.
Pernyataan ini ia tegaskan untuk menjawab pertanyaan terkait hukum seorang satpam yang meninggalkan shalat Jum’at dengan dalih sedang dalam kondisi darurat karena menjaga keamanan.
Sementara kondisi darurat tersebut disandarkan pada kaidah fikih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashalih yang berarti menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan.
Namun demikian, Kiai Shiddiq menyatakan batil dan tidak dapat diterima karena kondisi daruratnya sendiri itu sebenarnya tidak ada.
Alasannya, definisi darurat yang sahih sebagaimana penegasan dari para ulama mazhab empat maupun kontemporer adalah kondisi terancamnya jiwa atau yang mendekati itu. Semisal kehilangan anggota tubuh seperti mata menjadi buta, kaki lumpuh, dsb.
Sementara, ketika meninggalkan shalat Jum’at dengan menggunakan kaidah fikih tersebut, di saat yang sama kondisi jiwa si satpam tidaklah terancam sebagaimana definisi darurat yang sahih.
Kalaupun kemudian muncul kekhawatiran munculnya kerusakan dimaksud, kemungkinan besar adalah kehilangan harta. Namun kekhawatiran ini tidaklah sama dengan kekhawatiran hilangnya nyawa.
“Kekhawatiran hilangnya harta, tidak termasuk kondisi darurat, menurut definisi yang sahih atau rajih (kuat) dari istilah darurat,” jelasnya singkat.
Aturan Main
Untuk dipahami juga, penggunaan kaidah fikih ada aturan mainnya. “Kita harus tahu positioning (kedudukan) dari kaidah fikih itu dalam tartib dalil-dalil syar’i (urutan kekuatan dalil-dalil syar’i/sumber-sumber hukum),” jelasnya.
Sebagaimana penjelasan Imam Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab Al-Syakısiyyah al-Islamiyyah, (III/452), kaidah fikih atau istilah Arabnya qawa’id kulliyyah (qawa’id fiqhiyyah) itu diamalkan sebagaimana pengamalan qiyas.
“Dalam kondisi demikian, yang diamalkan adalah nash, sedangkan kaidah fikihnya dibatalkan, sebagaimana ketentuan yang berlaku dalam pengamalan qiyas,” demikian penjelasan lebih lanjut dari kitab, juz dan halaman yang sama.
Dengan kata lain, kaidah fikih itu secara umum tidak dapat digunakan untuk menggugurkan suatu kewajiban yang sudah pasti, seperti kewajiban shalat Jum’at, yang kewajibannya ditetapkan berdasarkan nash Al-Qur’an (sumber hukum pertama dalam Islam) dan As-Sunnah (sumber hukum kedua dalam Islam).
Sedangkan kaidah fikih, levelnya hanyalah setara dengan qiyas (sumber hukum keempat dalam Islam).
Kewajiban shalat Jum’at sendiri didasarkan pada QS al-Jumu’ah: 9, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Wajibnya shalat Jum’at juga didasarkan dalil As-Sunnah, yang artinya: “Shalat Jum’at adalah wajib hukumnya bagi setiap-tiap Muslim dengan berjamaah kecuali empat golongan, yaitu; hamba sahaya (budak), wanita, anak kecil, dan orang sakit” (HR Abu Dawud no. 1067, dinilai sebagai hadits sahih oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani dalam Sahih Abu Dawud).
Dengan demikian, kaidah fikih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashalih tidak boleh digunakan untuk melegitimasi seorang satpam tidak shalat Jum’at, karena wajibnya shalat Jum’at itu telah ditetapkan berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang jelas lebih kuat dan kokoh dibandingkan dengan kaidah fikih yang hanya sederajat dengan qiyas.
“Lalu bagaimana mungkin, kewajiban shalat Jum’at yang terbukti tsabit (tetap) berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah itu dibatalkan atau dikalahkan dengan kaidah fikih?” pungkasnya. [] Zainul Krian