Kiai Shiddiq: Haram Menimbun dan Pelakunya Berdosa

 Kiai Shiddiq: Haram Menimbun dan Pelakunya Berdosa

Mediaumat.id – Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq Al Jawi menegaskan bahwa orang yang melakukan penimbunan berdosa dan hukumnya haram.

“Orang yang melakukan penimbunan ini adalah orang yang berdosa kepada Allah Subhanahu wa Taala. Dalam Islam itu haram, jadi bukan makruh misalnya. Bukan boleh, tetapi hukumnya itu haram menurut agama Islam,” tegasnya dalam acara Kajian Fiqh: Timbun Minyak Goreng? Ini Hukum Islamnya, Jumat (25/03/2022) di kanal Khilafah Channel Reborn.

Shiddiq menekankan, perbuatan menimbun tersebut merugikan atau menimbulkan mudarat bagi orang lain, yakni sulit mendapatkan barang yang ditimbun.

Lalu ia menjelaskan, “Menimbun barang disebut ihtikar. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab beliau AnNizham alIqtishadi fi alIslam yang disebut dengan ihtikar atau menimbun itu adalah, Ihtikar adalah mengumpulkan barang dagangan dengan maksud menunggu harganya naik supaya barang dagangan itu dapat dijual dengan harga mahal dalam keadaan menyulitkan masyarakat untuk membelinya,” paparnya.

Dari definisi tersebut, ungkap Shiddiq, ada tiga unsur, yang kalau ketiganya itu terpenuhi maka itu termasuk kategori ihtikar. Pertama, ada kegiatan mengumpulkan barang dagangan; kedua, tujuan kegiatan itu adalah menunggu harganya naik, supaya dapat dijual dengan harga mahal; ketiga, menyulitkan masyarakat untuk membelinya.

Ia menukil hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam yang dijadikan dasar haramnya penimbunan, Tidaklah melakukan penimbunan, kecuali orang yang bersalah (berdosa).

“Ada hadits lain dari Imam Thabarani, Barangsiapa mencampuri urusan harga-harga kaum Muslim untuk menaikkan harganya atas mereka, maka sungguh Allah akan menempatkan dia di suatu tempat di neraka pada Hari Kiamat nanti,” kutipnya.

“Kalau hadits pertama melarang penimbunan khusus, tetapi kalau hadits kedua ini pengertiannya lebih umum. Jadi intinya, siapa saja yang melakukan intervensi atau rekayasa harga di tengah kaum Muslim yang tujuannya untuk memahalkan harga, maka pasti Allah akan memasukkan ke dalam neraka,” tandasnya.

Kartel

“Ada hal yang lain juga haram. Tidak terjadi penimbunan, tetapi harga mahal. Nah, ini yang disebut dengan kartel,” lanjut Shiddiq.

Ia menerangkan, kartel adalah kesepakatan di antara produsen-produsen yang mereka melakukan kesepakatan secara jahat untuk mengatur produksi dan mengatur harga di antara mereka, sehingga nanti masyarakat akan mendapatkan harga yang mahal.

“Walaupun mungkin barangnya tidak langka, mungkin juga barangnya banyak, tetapi harganya mahal. Yang seperti ini juga haram, walaupun ini tidak disebut ihtikar. Kalau ihtikar itu harganya mahal, barangnya langka, kartel ini barangnya tidak langka,” urainya.

Lebih lanjut, ia mencontohkan, saat membaca di media bahwa orang membeli minyak goreng, barangnya tersedia di pasar tetapi harganya mahal. Itu berarti tidak ada penimbunan. Harga minyak goreng itu mahal akibat adanya pengaturan pihak-pihak tertentu, yang kemungkinan dilakukan produsen.

“Nah, yang seperti ini walaupun tidak bisa disebut ihtikar, tetap haram. Ini yang disebut dengan kartel. Secara ekonomi tidak sehat dan secara agama diharamkan di dalam Islam,” lugasnya.

Sanksi

“Jenis sanksi pidana untuk ihtikar itu disebut dengan takzir. Takzir itu sanksi pidana untuk perbuatan-perbuatan atau kejahatan-kejahatan yang hukumannya itu tidak ada nash, Al-Qur’an dan al-hadits,” ujar Shiddiq.

Ia menjelaskan, takzir itu ada 15 opsi yang itu dipilih oleh qadi atau hakim syariah. Kalau nanti hukuman yang dipilih itu ada kadarnya, maka kadarnya bisa dipilih. “Misalnya, jenis takzir dicambuk. Dicambuk itu ada kadarnya, 1 kali cambukan, 2 kali cambukan, 3 kali cambukan, maksimal 10 cambukan. “Ini bisa ditentukan kadarnya oleh hakim,” urainya.

“Untuk pelanggaran yang terkait dengan muamalah, ada contoh yang bagus dari Khalifah Umar bin Khattab. Salah satu jenis takzir itu adalah itlaful mal, artinya memusnahkan barang yang mengandung kecurangan,” jelasnya.

Khalifah Umar pernah melakukan inspeksi di pasar dan menemukan penjual susu yang mencampur susu dengan air putih. “Ini kan termasuk pelanggaran hukum, yaitu pemalsuan atau penipuan. Akhirnya, Khalifah Umar bin Khattab membuang susu yang dicampur dengan air putih tersebut,” kisahnya.

“Bisa juga sanksi muamalah berupa penyitaan (mushadarah). Jadi barangnya diambil oleh negara untuk dikelola atau disalurkan,” imbuhnya lagi.

“Nah, menurut saya, kalau untuk minyak goreng itu ada sanksi untuk orang dan sanksi untuk barang. Orangnya bisa dipenjara, terserah nanti kepada hakim syariah atau qadi berapa bulan dipenjara. Untuk barangnya bisa disita. Penyitaan barang ini diambil alih secara paksa oleh negara. Setelah menjadi milik negara berdasar mushadarah, minyak goreng itu bisa disalurkan kepada masyarakat supaya terjadi stabilisasi,” tutupnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *