Mediaumat.id – Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menegaskan, haram hukumnya menjualbelikan emas secara kredit atau angsuran.
“Menjualbelikan emas secara kredit hukumnya haram,” tegasnya dalam Kajian Fikih: Hukum Jual Beli Emas Secara Kredit, Jumat (29/7/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Pasalnya, lanjut Kiai Shiddiq, emas termasuk salah satu barang ribawi yang jika dijualbelikan, disyaratkan harus dilakukan secara kontan (yadan bi yadin). Yaitu tidak boleh bertempo (an nasi`ah), atau secara kredit (at-taqsiith).
Penting diketahui, pendapat yang mengharamkan jual beli emas secara kredit tersebut adalah pendapat para ulama, semisal Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Prof. Dr. Ali as-Salus, Syekh Adnan Sa’duddin, Shabah Abu As Sayyid, maupun Syekh Hisyam Barghasy.
Pendapat ini pula yang dinilai rajih (lebih kuat) oleh Syekh ‘Atha bin Khalil Abu Rasytah, yang menegaskan, dalam salah satu fatwa beliau, yang maknanya,
‘Membeli emas dengan uang secara utang tidak boleh secara mutlak, baik uang itu uang emas, maupun uang kertas sama saja, apakah utang itu seluruhnya adalah utang dengan pembayaran tertunda, ataukah utang yang dibayar secara angsuran yaitu dibayar sebagian lebih dahulu di muka lalu sisanya dibayar secara angsuran…’.
“Intinya, tidak boleh, hukumnya haram jual beli emas secara kredit,” tegas Kiai Shiddiq kembali.
Lantas, dalil yang menjadi dasar keharamannya adalah hadits Nabi SAW. Di antaranya hadits riwayat Ubadah bin Shamit ra dari redaksi Imam Muslim, No. 1587, yang mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda,
‘Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum (al-burru bil burri), jewawut dengan jewawut (asy-sya’ir bi asy-sya’ir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin, sawa`an bi sawa`in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin).’
“Dengan demikian, kesimpulannya, menjualbelikan emas secara kredit atau angsuran, melanggar persyaratan tersebut, yaitu harus terjadi taqabudh, atau serah terima di majelis akad, atau harus terjadi secara kontan,” papar Kiai Shiddiq.
Di sisi lain, pendapat _rajih_ tersebut menjadi pendapat jumhur ulama, di antaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah yang sama-sama mengharamkan jual beli emas secara tidak tunai (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz VI, hlm. 60).
Beda Pendapat
Memang, kata Kiai Shiddiq, ada sebagian ulama seperti Imam Ibnu Taimiyah, dan muridnya, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, membolehkan jual beli emas secara tidak tunai. Dengan catatan, emas dimaksud berupa emas perhiasan, bukan uang emas (dinar).
Namun begitu, Kiai Shiddiq menyampaikan, meski emas berbentuk perhiasan sekalipun, pendapat tersebut tidak dapat diterima dengan setidaknya dua alasan.
Pertama, bertentangan dengan nash hadits yang bermakna umum (HR Muslim 1587, dari Ubadah bin Shamit, dll.), bahwa emas (al-dzahab) yang dimaksud hadits, adalah emas dalam segala bentuknya, baik berbentuk koin dinar (alat tukar) maupun perhiasan emas (komoditi).
“Semuanya dipersyaratkan wajib yadan biyadin, terjadi taqabudh, yakni secara tunai dengan serah terima di majelis akad,” ulasnya, seraya menerangkan pentingnya tarjih, yakni penilaian terhadap dalil-dalil syar’i untuk menentukan mana yang lebih kuat, meski secara zahir tampak saling bertentangan.
Dan perlu diketahui, sambungnya, penilaian tersebut, telah dilakukan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari, Imam Nawawi dalam Syarah an-Nawawi ‘Ala Muslim, dan juga Imam Syaukani dalam Nailul Authar.
Kedua, pendapat tersebut juga bertentangan dengan nash hadits riwayat Imam Muslim dari Ali bin Rabbah al-Lakhmi ra, yang justru menjelaskan bahwa pada jual beli perhiasan emas, tetap berlaku persyaratan umum dalam jual beli emas, yaitu beratnya wajib sama.
Hadits yang dimaksud sebagai berikut: Dari Ali bin Rabbah al-Lakhmi, dia berkata, “Aku mendengar Fadhalah bin Ubaid al-Anshari, dia berkata, ‘Telah didatangkan kepada Rasulullah SAW sedang beliau di Khaibar, sebuah kalung yang mempunyai rantai kalung dan emas, yang merupakan ghanimah (harta rampasan perang), yang dijualbelikan.’ Maka setelah Rasulullah SAW memerintahkan mencabut emas dari rantai kalungnya, kemudian Rasulullah SAW bersabda, ‘Emas ditukar dengan emas, harus sama beratnya’” (HR Muslim).
Hadits tersebut, menurut Kiai Shiddiq, menunjukkan dalam jual beli perhiasan emas, tetap berlaku persyaratan umum dalam jual beli emas, yaitu wajib sama beratnya. Sebabnya, Nabi SAW telah memerintahkan untuk memisahkan emas dari rantai kalungnya (al-kharaz).
“Ini berarti Nabi SAW melarang jual beli perhiasan emas tersebut, dengan dinar emas sebagai uangnya secara langsung, karena tidak sama beratnya,” timpalnya.
Dengan kata lain, emas sebagai alat tukar (uang) dan emas sebagai komoditi (perhiasan), sekali lagi sama hukumnya, bukan berbeda hukum. “Walau emas itu bentuknya perhiasan, sebenarnya hukumnya sama dengan emas yang berbentuk koin atau dinar emas itu (jual belinya) harus terjadi secara kontan,” tandasnya.
Beda Jenis
‘Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan,’ demikian kelanjutan sabda Rasulullah SAW, riwayat Ubadah bin Shamit ra dari redaksi Imam Muslim, No. 1587 tersebut, yang sebelumnya membahas larangan menjualbelikan emas secara kredit.
Terkait hadits itu, kata Kiai Shiddiq, Imam Syaukani telah menerangkan di dalam kitab Nailul Authar, hlm. 1061, yang maknanya,
‘Jelas ini bahwa tidak boleh menjual suatu jenis barang ribawi dengan jenis barang ribawi lainnya, kecuali secara kontan (al-qabdh) atau ada serah terima di majelis akad. Dan tidak boleh pula menjualnya secara bertempo (kredit), meskipun keduanya berbeda jenis dan takaran/beratnya, misalnya menjual gandum dan jewawut dengan emas dan perak.’
Sejalan dengan Imam Syaukani, imbuh Kiai Shiddiq, Syekh ‘Atha bin Khalil Abu Rasytah pun menjelaskan,
‘Nash tersebut jelas bahwa ketika yang dipertukarkan dari benda-benda ribawi itu berbeda jenisnya, maka jual beli itu laksanakan sesuka kamu, yaitu tidak disyaratkan sama takarannya sama beratnya, tetapi disyaratkan kontan (taqabudh).’
“Maka tidak boleh hukumnya menjual emas dengan perak, kecuali secara kontan,” pungkasnya, memisalkan sekaligus mengutip penjelasan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Al- Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 262.[] Zainul Krian