Mediaumat.id – Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq Al Jawi menegaskan, dari definisi khilafah yang komprehensif ternyata terdapat pula konsekuensi-konsekuensi logisnya.
“Terdapat sejumlah pemahaman yang menjadi konsekuensi-konsekuensi logis dari definisi khilafah,” ujarnya dalam Kajian Fikih: Definisi Khilafah dalam Fikih Islam, Jumat (17/6/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Sebelum itu, yang dimaksud komprehensif di sini, menurut Kiai Shiddiq, ialah keterangan yang mampu menghimpun unsur-unsur ke dalam definisi (jami’an), serta mencegah unsur-unsur asing yang kalau masuk ke definisi, malah menjadikan ketidakjelasan (mani’an).
“Khilafah adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum Muslim seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia,” kutipnya dari kitab Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II hlm. 13, karya Imam Taqiyyuddin an-Nabhani.
Konsekuensi
Adapun konsekuensi pertama, lanjut Kiai Shiddiq, definisi tersebut setidaknya memiliki tiga substansi. Di antaranya, sebagai sistem pemerintahan bagi kaum Muslim seluruhnya di dunia, sebagaimana firman Allah SWT yang maknanya,
‘Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai’ (QS Ali Imran: 103).
“Artinya, ayat ini bisa terwujud hanya dengan adanya institusi khilafah ini, umat Islam akan bisa mengamalkan ayat ini,” terang Kiai Shiddiq.
Berikutnya, khilafah berfungsi menegakkan hukum-hukum syariah Islam secara kaffah sebagai politik dalam negerinya.
“Tidak hanya hubungan dengan Allah yang sifatnya vertikal, tetapi juga interaksi-interaksi sosial, dalam berbagai bidang yang ini sifatnya horizontal. Apakah pendidikan, perekonomian, kebudayaan, dsb. Semuanya tidak ada kecuali diatur dengan syariah Islam,” timpalnya.
Selain itu, khilafah sebagai pengemban dakwah Islam ke seluruh dunia berikut metode jihad fisabilillah yang telah dicontohkan Nabi SAW dan Khulafaur Rasyidin.
Lebih jauh, Kiai Shiddiq juga menambahkan bahwa Islam sebagai agama penyebar rahmatan lil alamin yang universal telah disebutkan di dalam Al-Qur’an surah al-Anbiya: 107, al-A’raf: 158, dan Saba’: 28.
Sistem Pemerintahan Khusus
Sedangkan konsekuensi kedua, sambung Kiai Shiddiq, umat bisa memahami bahwa khilafah bukanlah sistem pemerintahan Islam secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam yang khusus dengan berciri khas menerapkan syariah Islam.
Sehingga tidak benar apabila ada ungkapan yang mengartikan khilafah dengan sembarang sistem pemerintahan yang meliputi sistem republik atau kerajaan, misalnya.
“Maka tidak benar ungkapan, ‘Negara kita ini sudah khilafah’,” tandasnya.
“Tidak benar juga ungkapan, ‘Kalau kita ingin melihat khilafah di masa kini, ya Amerika Serikat itulah khilafah di masa kini’,” imbuhnya.
Konsekuensi ketiga, sebagai sistem pemerintahan Islam, menegaskan bahwa khilafah bukan sebuah kelompok atau suatu jamaah.
Untuk itu apabila terdapat pengakuan demikian, ia menyebut, itu perbuatan hoaks.
Begitu pula dengan kepala negara khilafah, yakni khalifah pun bukanlah pemimpin sebuah kelompok. “Seseorang yang mengaku sebagai khalifah, padahal dia hanya pemimpin kelompok, sungguh telah melakukan kebohongan yang nyata,” singgung Kiai Shiddiq terhadap Organisasi Khilafatul Muslimin yang baru-baru ini viral dan ternyata tak sesuai definisi khilafah yang komprehensif yang ia maksud.
Keempat, dari definisi khilafah yang ia beberkan sebelumnya, khilafah hanya satu untuk kaum Muslim seluruhnya di dunia. “Bukan lebih dari satu,” timpalnya.
Meski berbilangnya khilafah terdapat khilafiyah, ia menegaskan, jumhur atau mayoritas ulama justru mengatakan khilafah hanya boleh ada satu untuk seluruh dunia.
Sebutlah Syekh Abdurahman al-Jaziri yang berkata, ‘Telah sepakat para imam (yang empat), bahwa imamah (khilafah) adalah fardhu; dan tak boleh tidak, kaum Muslim harus mempunyai seorang imam yang menegakkan syi’ar-syi’ar agama dan melindungi orang-orang yang dizalimi dari orang-orang zalim; dan bahwa tak boleh kaum Muslim pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan’ (Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz V, hlm. 416).
Konsekuensi kelima, khilafah adalah institusi pemersatu umat, bukan pemecah belah.
Untuk itu, Kiai Shiddiq kembali menukil firman Allah SWT, Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 103 yang memerintahkan kaum Muslim agar berpegang teguh pada tali agama Islam dan melarang bercerai berai.
Tegasnya, ia menyitir sabda Rasulullah SAW, yang artinya, ‘Jika dibaiat dia orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya’ (HR Muslim).
Pengertiannya, sambung Kiai Shiddiq, apabila nanti kembali tegak, khilafah akan benar-benar menjadi institusi pemersatu umat Islam.
Sebaliknya, ia menyebut, haram apabila yang terjadi adalah institusi-institusi yang menjadi pemecah belah umat Islam, seperti saat ini.
“Ada larangan mempunyai dua khalifah, eh malah lebih dari dua pemimpin. Dan bukan khalifah pula,” tukasnya, prihatin terhadap umat Islam yang kini terpecah hingga 50 lebih negara dengan tidak menerapkan syariah Islam, kecuali sedikit atau parsial.
Terapkan Islam Kaffah
Konsekuensi keenam, khilafah adalah sistem yang menerapkan hukum Islam secara kaffah, sebagai politik dalam negeri (siyasah dakhliyyah).
Maksudnya, khilafah memang tidak menerapkan hukum non-Islam dan tidak pula menerapkan hukum Islam secara parsial (nonkaffah).
Oleh karena itu, jika ada klaim bahwa suatu negara sudah khilafah, padahal sistem pemerintahannya tetap demokrasi, bukan pemerintahan Islam, pun sistem ekonominya tetap liberal, bukan sistem ekonomi Islam, maka menurut Kiai Shiddiq, jelas itu bukan khilafah.
“Apalagi jika negara itu menerapkan hukum-hukum warisan penjajah kafir, seperti KUHP (Wetboek van Strafrecht),” ucapnya.
Lantas konsekuensi terakhir, ketujuh, dari definisi yang komprehensif, khilafah mempunyai politik luar negeri (siyasah kharijiyah) untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan jihad fisabilillah, yakni jihad hujumi atau jihad thalab (jihad ofensif/menyerang).
“Bukan hanya jihad difa’i (jihad defensif/bertahan). Ini karena mencontoh Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin,” bebernya.
Tentu saja, kata Kiai Shiddiq, mengikuti aturan-aturan dalam syariah dan etika-etika akhlak yang ada. “Dakwah dahulu untuk tawaran masuk Islam. Kemudian ada upaya kalau tidak mau masuk Islam ada tawaran membayar jizyah. Baru kalau tidak mau, kemudian diperangi untuk menghilangkan hambatan-hambatan fisik yang menghalangi sampainya dakwah kepada mereka,” ulasnya.
“Maka kalau sebuah negara malah memusuhi dan membenci jihad secara umum, misal menghapus jihad dari kurikulum pendidikan, atau membatasi jihad hanya jihad difa’i atau defensif saja, maka negara itu jelas bukan khilafah,” pungkasnya.[] Zainul Krian