Kiai Labib: Surat al-Hujurat Ayat 13 Bukan Dalil Nasionalisme

Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim KH Rokhmat S Labib menyampaikan, kandungan QSal-Hujurat ayat ke-13 sebenarnya telah membantah paham nasionalisme yang berkembang di tengah umat Islam.

“Dari sini saja (QS al-Hujurat: 13) sebenarnya sudah jatuh itu yang disebut dengan nasionalisme,” ujarnya dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an: QS al-Hujurat Ayat 13 Bukan Dalil Nasionalisme dan Pluralisme, Rabu (13/7/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

‘Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.’ Demikian bunyi ayat tersebut.

Tetapi sayangnya, ayat itu sering digunakan sebagai dalil pembenaran dua paham yang sekarang berkembang di tengah kaum Muslim, yakni nasionalisme dan pluralisme.

Lantas supaya lebih paham tentang makna kandungan suatu ayat, sekalipun terdapat prinsip yang amat penting bahwa ibrah atau pelajaran dari satu dalil termasuk ayat Al-Qur’an, kata Kiai Labib, hendaknya diambil dari lafaznya yang umum bukan dari khususnya sebab.

Maka itu ia menyampaikan keterkaitan turunnya ayat tersebut dengan yang terjadi pada sahabat Nabi SAW, Bilal bin Rabah sebelum ayat itu diturunkan.

Dengan kata lain sebagaimana diketahui, asbab an-nuzul atau ilmu Al-Qur’an yang membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat Al-Qur’an diturunkan, akan memudahkan para mufassir untuk menemukan tafsir dan pemahaman suatu ayat dari balik kisah diturunkannya ayat dimaksud.

Pascaperistiwa Fathu Makkah atau Penaklukan Kota Makkah pada tahun 630 M tepatnya pada tanggal 20 Ramadan 8 H, ucap Kiai Labib mengisahkan, Rasulullah SAW kemudian mengambil alih penguasaan Ka’bah yang sebelumnya dikuasai orang-orang musyrik.

“Dan saat itulah kemudian saat azan, Rasulullah memerintahkan Bilal bin Rabah untuk azan,” ulasnya.

Tatkala Bilal mengumandangkan azan di atas Ka’bah, sambungnya, orang-orang musyrik semacam protes. “Kok ada pemandangan yang belum pernah saya lihat sebelumnya,” ucapnya menirukan ungkapan sebagian para musyrikin kala itu.

“Ada orang berkulit hitam yang azan dan segala macam,” imbuhnya.

Bahkan seperti yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dari Abi Mulaikah, beliau berkata, ‘Bagaimana mungkin budak hitam ini yang justru mengumandangkan azan di atas Ka’bah!’ Sebagian yang lain berkata (dengan nada mengejek), ‘Apakah Allah akan murka kalau bukan dia yang mengumandangkan azan?’

Kemudian, lanjut Kiai Labib, turunlah ayat tersebut yang isinya mengecam sikap dan pernyataan mereka.

Munasabah

Lebih jauh untuk lebih memudahkan menafsirkan suatu ayat, terangnya, harus memahami pula istilah munasabah, yakni keterkaitan atau hubungan antara ayat sebelumnya dengan sesudahmya.

‘Jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain (QS al-Hujurat: 12).

Padahal sebagaimana di ayat ke-13, Allah SWT telah mengingatkan bahwa sesungguhnya Dialah yang menciptakan manusia. “Dalam ayat ini diingatkan bahwa, ‘Sesungguhnya Kami menciptakan kalian’,” tegasnya.

Maknanya ketika Allah SWT menciptakan manusia, posisi yang diciptakan tersebut tidak lain adalah sebagai makhluk. “Bagaimana dia merasa hebat, wong dia ciptaan-Nya,” ujarnya.

Lantas disebutkan pula, ‘dari seorang laki-laki dan seorang perempuan’ yang kata Kiai Labib, seperti penjelasan oleh para ulama, yaitu dari Nabi Adam as dan Siti Hawa ra.

“Kamu semua itu dari bapak dan ibu yang satu. Lalu bagaimana kamu merasa lebih tinggi satu sama lain karena keturunan?” tuturnya, menekankan kembali bahwa sebenarnya manusia sama asal keturunannya.

Di sisi lain, seperti halnya penjelasan Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsir Mafatih al-Ghaib, sambung Kiai Labib, ketika sesuatu dikatakan lebih baik dan lebih baik lagi dari yang lain, biasanya dipandang dari dua aspek dahulu. Yakni, sebelum kejadian dan sesuatu yang didapat setelahnya.

Berkenaan dengan sebelum terjadinya sesuatu, menurutnya pun ada dua, yaitu asal usul dan pembuatnya seperti yang telah ia jelaskan tadi. Yakni dari keturunan yang sama berikut Pencipta yang sama pula, Allah SWT.

“Dari aspek ini sebenarnya itu juga makin mengokohkan bahwa manusia itu sama. Jadi jangan merasa dirinya lebih tinggi,” tekannya lagi terkait nasionalisme yang seringkali menganggap bangsa (syu’ub) dan sukunya (qabail) lebih hebat atau lebih segalanya dari yang lain.

Sedangkan aspek sesudahnya atau sesuatu yang didapatkan setelah terjadinya sesuatu, yaitu ketakwaan seperti yang termaktub di akhir ayat tersebut.

Sehingga di dalam ayat ke-13 tersebut, kata Kiai Labib lebih lanjut, sebenarnya di dalam memuliakan hamba-Nya, Allah SWT hanya melihat ketakwaan, bukan asal usul baik keturunan/nasab, syu’ub ataupun qabail.

“Maka itu sebagai hamba-Nya pun harus memuliakan orang yang dimuliakan Allah. Siapa itu? Orang yang bertakwa. Siapa pun, dari mana pun bangsanya, dari mana pun kabilahnya, dari manapun sukunya,” tuturnya.

Pluralisme

Lantas terkait pluralisme atau paham yang mengakui adanya keberagaman suku, bangsa, dan seterusnya, Kiai Labib mengatakan, ada satu yang salah. Yakni berkaitan dengan ketakwaan.

“Sebenarnya ada satu yang salah. Yakni ketika ketakwaan disamakan orang bertakwa dengan orang yang tidak bertakwa,” terangnya.

“Tidak sama penghuni neraka dengan penghuni surga,” gambarnya, mengutip QS al-Hasyr ayat 20.

Dipertegas dengan QS al-Bayyinah ayat 6-7, yang artinya: ‘Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk’. Dan ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk’.

“Jadi bagaimana mungkin bisa disamakan. Ayat ini sebenarnya juga masuk (membantah pluralisme yang menjunjung tinggi kesetaraan),” tandasnya.

“Apalagi kalau yang disebut sebagai pluralisme itu adalah setara dalam bidang agama,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: