Mediaumat.id – Membincang peran dari Muhammad SAW, utusan Allah SWT, Cendekiawan Muslim KH Rokhmat S Labib menerangkan, beliau SAW tidak hanya menyampaikan risalah sebagaimana tugas seorang rasul, tetapi lebih kepada penerapan ajaran yang beliau ajarkan sebagai pemimpin sebuah negara.
“Beliau itu berarti pemimpin negara, itu bukan sekadar menyampaikan tetapi menerapkan risalah atau ajaran yang beliau ajarkan,” ujarnya dalam Silaturahmi Tokoh: Tutorial Menjadi Pemimpin yang Benar, Sabtu (29/10/2022) di kanal YouTube Bincang Perubahan.
Artinya, Nabi Muhammad SAW bukan hanya sebagai rasul yang menyampaikan risalah Islam dalam pengertian mengajarkan dan semacamnya, tetapi beliau SAW juga menjadi pemimpin suatu negara yang menerapkan suatu sistem perundang-undangan.
Sebelumnya untuk dipahami, lanjut Kiai Labib, setidaknya terdapat tiga lafaz dalam bahasa Arab terkait kepemimpinan yang maknanya sama.
Pertama, qiyadah yang berasal dari akar kata qada yang bermakna menuntun, memimpin serta membawa. Kemudian diikutkan kepada bentuk kata masdar shina’i hingga artinya berubah yang awalnya pemimpin menjadi kepemimpinan.
Kedua, imarah, artinya kepemimpinan juga. Ketiga, ada juga ada kata imamah. “Kepemimpinan juga,” terangnya.
Dengan kata lain, kepemimpinan bisa disebut demikian ketika ada pihak yang memimpin serta mengharuskan adanya ketaatan bagi yang dipimpin. “Seperti dalam imam shalat, maka disebut sebagai imam ketika apa? Ketika makmum mengikutinya,” misalnya.
Namun demikian, kata Kiai Labib lebih lanjut, tak semua nabi dan rasul diutus sekaligus sebagai pemimpin/kepala negara yang menerapkan hukum-hukum-Nya.
“Nah Rasulullah SAW itu dua-duanya. Menjadi seorang nabi dan rasul sekaligus beliau adalah seorang pemimpin atau atau kepala negara,” ungkapnya.
Sejak Kapan?
Menjawab itu, Kiai Labib menyampaikan, begitu wahyu pertama turun, maka saat itulah beliau menjadi nabi. “Kemudian kapan beliau menjadi kepala negara? Yakni pada saat beliau di (peristiwa) Baiat Al-Aqabah yang Kedua pada 622 M atau tahun ke-13 kenabian,” sambungnya,
Menurutnya, Baiat Aqabah Kedua merupakan serah terima kepemimpinan dari para kabilah-kabilah di Madinah, Yatsrib ketika itu, kepada Nabi untuk menjadi pemimpin di sana.
“Buktinya apa? Dalam lafaz (di) Baiat itu disebutkan baya ‘ana ala Rasulullahi ala sama’i wa tha’ah,” tandasnya, seraya mengartikan, ‘Kami dibaiat Rasulullah SAW untuk mendengar dan taat’.
“Kalau ada yang didengar dan ditaati, berarti ada seorang pemimpin dan kepala negara,” sambungnya memaknai.
Semakin terbukti, lanjutnya, tatkala hijrah ke Madinah, Beliau SAW disambut bukan hanya sebagai nabi tetapi juga seorang kepala negara.
Untuk diketahui, kata Kiai Labib, tugas seorang kepala negara telah banyak dilakukan oleh Baginda Rasulullah SAW. Di antaranya memerintah, membuat keputusan-keputusan, maupun mengadili perkara-perkara perselisihan di tengah rakyatnya.
“Beliau juga yang menentukan kapan perang dan kapan damai,” tambahnya, sebagaimana disebutkan dalam sejarah ada yang mengatakan 24 hingga 28 kali peperangan selama hidup beliau, berikut Perjanjian Hudaibiyah dengan Kaum Quraisy.
Tak hanya itu, beliau SAW juga mengangkat duta-duta yang dikirim menemui para raja kala itu. “Sekali lagi itu semua tidak mungkin dilakukan kecuali (oleh) seorang kepala negara,” tegasnya.
Semakin jelas pula, ketika wafat, kepemimpinan beliau SAW digantikan oleh Abu Bakar bukan sebagai nabi tetapi seorang pemimpin/kepala negara. “Dan Umar (bin Khattab) lebih jelas lagi,” imbuhnya, dengan menambahkan nama-nama para sahabat yang menjadi khalifah berikutnya.
Dengan demikian, Kiai Labib memaparkan, bahwa Islam yang memang diturunkan oleh Allah SWT bukanlah sekadar konsep seperti halnya hadits. Tetapi sudah sampai pada tahap praktik.
Sebutlah ketika Rasulullah masih menjadi rakyat biasa hingga sebagai pemimpin/kepala negara di Madinah. Ataupun segala bentuk perjuangan beliau meraih tampuk kepemimpinan hingga mendapatkan keberhasilan adalah teladan bagi kaum Muslim setelahnya.
“Itu lengkap,” cetus Kiai Labib, berkenaan keteladanan dari sosok mulia yang berperan sebagai utusan-Nya sekaligus seorang kepala negara tersebut.
Terakhir, Kiai Labib pun menyimpulkan, pasca Rasulullah wafat beliau tak sekadar meninggalkan Al-Qur’an berikut sunah. Tetapi sudah mewariskan sebuah negara.
“Nabi itu pada saat beliau wafat itu, sudah wilayahnya jelas, rakyatnya ada, hukumnya ada, pemerintahannya ada,” terangnya, terkait syarat sebuah wilayah bisa disebut sebagai negara.
Maksudnya, umat Islam tidak perlu mendirikan negara baru lagi kala itu, karena sudah diwariskan oleh Rasulullah SAW. “Sayidina Abu Bakar itu cuman mewarisi apa yang diberikan hingga Rasulullah wafat, demikian juga khalifah-khalifah berikutnya,” pungkasnya.[] Zainul Krian