Kiai Labib: Sebesar Apa pun, Patung Tidak Bakal Beri Manfaat
Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim KH Rokhmat S Labib menegaskan, sebesar apa pun patung, tidak bakalan bisa memberikan manfaat.
“Yang namanya patung itu sebesar apa pun tak bisa memberikan manfaat,” ujarnya dalam Kajian Tafsir Al-Wa’ie: Terlarangnya Mengultuskan Tokoh Dalam Bentuk Patung! di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Rabu (23/8/2023).
Pasalnya, patung adalah benda mati yang tentu saja, lanjut Kiai Labib, tidak bisa bergerak. “Dia benda mati. Jangankan menghidupkan, hidup saja tidak, dia,” tandasnya.
Hal ini ia utarakan untuk merespons rencana pemerintah yang bakal membangun patung Sukarno berukuran ‘raksasa’ mulai tahun depan dan ditempatkan di Kabupaten Bandung Barat yang nantinya diharapkan menjadi kota mandiri.
Tak ayal, seperti ramai diperbincangkan publik, sejumlah warganet, termasuk Denny Zulkaidi, pakar tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengkritik rencana itu karena dianggap tidak ada urgensinya dan hanya buang-buang uang.
Menurut dia untuk menjadi kota mandiri, misalnya, maka hal pertama yang harus diperhatikan adalah keberadaan lapangan pekerjaan agar menghidupkan kawasan tersebut. Setelah itu, baru membangun perumahan.
“Kalau patung makan biaya, apa manfaatnya? Untuk selfie aja? Saya tidak menganggap patung akan jadi daya tarik utama,” jelas Denny Zulkaidi ketika diwawancara salah satu media massa, Jumat (18/8).
Menjadi Sesembahan?
Di sisi lain Kiai Labib juga khawatir, dari pembangunan patung Sukarno berukuran ‘raksasa’ tersebut, kisah tentang penyembahan berhala yang bermula dari sekadar sebagai pengobat rindu sebagaimana yang terjadi di zaman Nabi Nuh as terulang kembali.
Adalah termaktub di dalam QS Nuh: 23, Allah SWT mengisahkan lima manusia shalih keturunan ke sekian dari Nabi Adam as, yang karena alasan agar lebih rindu beribadah kepada Allah SWT, maka dibuatlah patung di kemudian waktu.
Dari keterangan di ayat tersebut, ash-shalihin, (orang-orang shalih) ini diketahui bernama Waad, Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.
Namun sebelumnya, kata Kiai Labib mengutip penjelasan Imam ath-Thabari di dalam kitab tafsirnya, Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an yang merupakan tafsir Al-Qur’an pertama di antara sekian banyak kitab-kitab tafsir pada era klasik Islam, kelima orang shalih tersebut memiliki banyak pengikut.
Dengan kata lain, ketika para pengikut dimaksud melihat patung itu, seketika ingat untuk beribadah kepada Allah SWT. “Patung dibuat untuk mengingatkan mereka agar lebih semangat lebih rindu untuk beribadah, awalnya,” tambahnya.
Singkat kisah, sebagaimana pula di dalam riwayat Ibnu Abbas menjelaskan, “Setelah kematian orang-orang shalih itu, iblis mengilhami umat mereka untuk mendirikan patung-patung di tempat-tempat mereka biasa berkumpul. Mereka melakukannya, tetapi patung-patung ini tidak disembah sampai generasi mendatang menyimpang dari jalan hidup yang benar. Kemudian mereka menyembahnya sebagai berhala mereka.”
“Akhirnya generasi-generasi berikutnya tahunya patung itu adalah Tuhan mereka yang harus mereka sembah,” sambung Kiai Labib, seraya menyampaikan bahwa hal inilah yang menjadi dasar diutusnya Nabi Nuh as oleh Allah SWT untuk meluruskan akidah mereka kala itu.
Gharizah Tadayyun
Ditarik ke zaman modern seperti saat ini, ungkap Kiai Labib, masih terjadi hal semacam itu. “Kalau kita lihat apakah di zaman modern ini ada seperti itu? Masih ada,” tegasnya.
Meski tidak langsung mengatakan menyembah, tetapi setidaknya terjadi pengagungan (ta’zhim) dan penyucian, seperti halnya yang terjadi di negara-negara komunis, semisal Korea Utara (Korut) dan Uni Soviet sebelum runtuh.
Hal inilah yang Kiai Labib sebut sebagai gharizah tadayyun atau naluri manusia yang senantiasa mengagungkan, menyucikan sesuatu, meski sekalipun tidak mempercayai adanya Tuhan dan menganggap agama sebagai candu.
“Akhirnya kemudian yang diglorifikasi, yang disucikan itu adalah pemimpin-pemimpin mereka,” kata Kiai Labib, sembari memisalkan pematungan Lenin dan Stalin.
Bahkan sebagaimana diketahui, warga Korut punya tradisi khusus merayakan Imlek. Selain menunjukkan rasa hormat mereka kepada keluarga Kim Jong-un, pemimpin negara itu. Mereka menaruh bunga dan memberikan penghormatan pada patung ataupun potret pemimpin Korut sebelumnya, Kim Il-sung dan Kim Jong-il.
Oleh karena itu, sekali lagi ia mengkhawatirkan sikap mengultuskan dan mengagungkan sesuatu juga terjadi terhadap pembangunan patung Sukarno ini. “Karena memang ada rasa itu, ta’zhim, mengagungkan sesuatu,” pungkasnya.[] Zainul Krian