Mediaumat.info – Membahas korelasi peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah dengan kondisi kaum Muslim di berbagai negeri saat ini, Cendekiawan Muslim KH Rohmat S Labib memaparkan, umat harus mengingat juga perkara penting yaitu upaya menegakkan kembali negara khilafah.
“Ketika kita bicara hijrah, sebenarnya harus ingat perkara penting dalam hijrah Rasulullah adalah berdirinya negara,” ujarnya dalam Islamic Hard Talk: Hijrah, Dari Penindasan Sekuler Liberal Oligarkik Menuju Keberkahan Islam Kaffah! di kanal YouTube One Ummah TV, Ahad (7/7/2024).
Dengan kata lain, merupakan kewajiban atas umat Islam untuk berjuang menegakkan kembali hukum-hukum Allah dalam naungan khilafah rasyidah ala minhaj an-nubuwwah.
Pasalnya, menurut Kiai Labib, dengan khilafah kaum Muslim bakal mendapatkan kembali kemuliaan di dalam persatuan dan kesatuan hakiki untuk bisa leluasa menerapkan syariat Islam di seluruh aspek kehidupan.
Tonggak Peradaban Islam
Seperti dipaparkan sebelumnya, tonggak peradaban Islam adalah peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah. Peristiwa ini menggambarkan kondisi umat Islam yang sangat berbeda ketika masih berada di Makkah dengan Madinah.
Tengoklah sikap Rasulullah SAW melihat berbagai penindasan kaum kafir Quraisy atas para sahabat agar mau meninggalkan Islam. Yang karena petunjuk Allah SWT tentunya, beliau SAW terkesan hanya bisa mendoakan tanpa sedikitpun melakukan perlawanan secara fisik.
Di antaranya, penyiksaan yang menimpa keluarga Sahabat Ammar bin Yasir. “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, karena tujuan kalian adalah surga,” demikian kata Rasulullah menghibur, seperti diriwayatkan Al-Hakim.
Maknanya, bukan karena tidak mampu memberikan pertolongan dan hanya bisa memberikan motivasi, namun beliau SAW tahu bahwa posisinya ketika itu juga sebagai rakyat biasa yang tak punya kekuasaan untuk menolong.
Sementara kondisi umat Islam pasca peristiwa hijrah di Madinah, jauh berbeda dengan sebelum hijrah. “Kondisi umat Islam jauh berbeda ketika Rasulullah SAW berada di Madinah setelah hijrah,” sambung Kiai Labib.
Misal, setelah mendengar dan memastikan kabar bahwa ada seorang Muslimah dilecehkan oleh kaum Yahudi Bani Qunaiqah, di suatu pasar di Madinah, Rasulullah pun datang untuk menengahi dan mengingatkan bahwa perbuatan mereka telah melanggar Piagam Madinah yang dibuat dan disetujui untuk menyelesaikan konflik sosial antar kabilah demi terwujudnya kehidupan yang damai.
Namun, kaum Yahudi ini justru menantang Rasulullah dan sesumbar bahwa mereka tidak akan bernasib seperti kaum Quraisy yang dapat dikalahkan umat Islam.
Karena alasan itulah, beliau SAW pun memobilisasi umat dan mengepung Yahudi Bani Qainuqa. Pengepungan dilakukan selama 15 hari, hingga mereka menyerah tanpa syarat.
Untuk ditambahkan, pertempuran tidak terjadi karena sekutu Bani Qainuqa, Abdullah bin Ubai bin Salul, bernegosiasi dengan Nabi SAW. Abdullah bin Ubai merupakan kepala suku Khazraj, suku asal dari sebagian pengikut Nabi Muhammad SAW. Abdullah bin Ubai pun mengaku bersedia mengerahkan 700 pasukan Bani Qainuqa untuk membantu pasukan Muslim.
Setelah bernegosiasi, Nabi SAW pun akhirnya hanya mengusir Kaum Yahudi Bani Qainuqa dari Madinah dan mengambil harta mereka sebagai rampasan perang.
Dari perbedaan dua sikap Rasulullah SAW baik ketika masih berada di Makkah maupun pasca hijrah di Madinah, menunjukkan betapa umat Islam memang membutuhkan kekuasaan institusi negara untuk bisa mengatur dan menjadikan kaum Muslim menjadi umat yang besar, kuat dan mulia.
Dengan demikian, peristiwa hijrah Rasulullah SAW bukanlah dalam rangka melarikan diri sebab takut pada penindasan maupun siksaan kaum kafir Quraisy. Tetapi adalah perintah Allah SWT dalam rangka mendirikan negara.
“Rasulullah tahu beliau akan mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. Tetapi hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah adalah dalam rangka mendirikan negara,” sebut Kiai Labib.
Terbukti, sepanjang kurang lebih 13 abad, kekuasaan warisan Rasulullah tersebut tak sekadar menguasai, tetapi mampu menjadikan seluruh umat Islam bersatu, dan tak bisa dipecundangi oleh musuh-musuh mereka.
Hingga kemudian runtuhnya Kekhilafahan Utsmaniah pada 1924 M, umat Islam tak lagi memiliki negara sebagaimana khilafah yang sarat perlindungan. Yang berarti, kehidupan umat Islam saat ini layaknya kondisi pra hijrah di Makkah. Sudahlah dipecundangi oleh musuh-musuh Islam, kata Kiai Labib, kaum Muslim pun kerap dikalahkan dengan berbagai penjajahan seperti yang terjadi di Palestina.
“Apa yang terjadi sekarang di Palestina adalah bukti ketika umat Islam tidak punya negara,” pungkasnya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat