Mediaumat.id – Tentang sebutan istilah khilafah yang tidak ada di dalam Al-Qur’an, Cendekiawan Muslim KH Rokhmat S Labib menegaskan, dalam perkara hukum syara’ tidak boleh mencukupkan pada satu sumber hukum saja.
“Penting untuk ditegaskan bahwa ketika kita bicara tentang khilafah dan juga yang lain dalam perkara hukum syara’ tidak boleh mencukupkan diri pada Al-Qur’an,” tegasnya dalam Perspektif PKAD: Kriminalisasi Ajaran Islam Khilafah dalam Tinjauan Hukum dan Islam, Rabu (29/6/2022) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Al-Qur’an, sebagaimana dipahami adalah kalam Allah yang berfungsi sebagai sumber hukum utama. Namun meski bukan sebagai penyempurna, hadits, ijma’, dan qiyas wajib dihadirkan sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an.
Malah, As-Sunnah atau hadits menempati posisi penting dalam Islam yakni sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Pasalnya, memang dibutuhkan penjelas agar pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat dipahami dengan sebenar-benarnya.
Sebutlah Al-Qur’an sendiri, sambung Kiai Labib, telah dengan jelas mengatakan di dalam surah an-Nisa ayat 80 yang artinya, ‘Barangsiapa yang menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah’.
Dengan kata lain, adalah suatu kesalahan apabila suatu perintah agama tidak ada di dalam Al-Qur’an, lantas mutlak tidak dikerjakan. “Padahal kalau kita lihat betapa banyak perkara kehidupan ini yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an,” tandasnya.
Semisal, perintah khitan yang ternyata juga tidak dijelaskan secara terinci dalam Al-Qur’an. Namun, masalah itu dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW.
“Apa kemudian kita tidak mau berkhitan gara-gara tidak disebutkan secara sharih di dalam Al-Qur’an? Kan aneh,” tukasnya.
Sama halnya dengan ungkapan bahwa khilafah tidak ada di dalam rukun iman maupun Islam. “Itu juga ungkapan-ungkapan menurut saya itu menunjukkan keawamannya,” ucapnya.
“Dan mestinya itu jangankan ulama, (orang) sangat awam pun mestinya tidak akan mengatakan seperti itu,” imbaunya.
Sebabnya, ajaran Islam bukan di dalam rukun iman dan Islam saja. “Jujur (tak berbohong) itu diperintahkan, (tetapi) enggak ada dalam rukun iman itu atau rukun Islam,” cetusnya, memisalkan ajaran agama yang sederhana.
Ada di Hadits
Lantaran itu, menjawab apakah istilah khilafah ada di dalam hadits, Kiai Labib menjawab ada. “Dan itu dijelaskan secara sharih oleh Rasulullah SAW,” lugasnya.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, misalnya, Rasulullah SAW dengan jelas menyampaikan tentang masa yang akan dialami oleh kaum Muslim setelah menyebut ada masa nubuwwah atau kenabian beliau sendiri.
“Kemudian akan ada masa khilafah yang khilafah itu atas dasar kenabian,” nukilnya berkaitan hadits tentang lima fase kepemimpinan kaum Muslim dimaksud, yaitu fase kenabian, khilafah ‘ala minhajin nubuwwah atau khilafah sesuai metode Nabi SAW, mulkan ‘adhan, mulkan jabriyyan atau kediktatoran, dan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah kedua.
Demikian pun mereka yang telah mengatakan khilafah menurut hadits, hanya berlangsung 30 tahun yakni pada masa Khulafaur Rasyidin saja, setelah itu tidak ada lagi.
“Sebenarnya ketika dia mengatakan khilafah itu pada masa Khulafaur Rasyidin, secara implisit sebenarnya dia mengakui adanya khilafah itu,” ucapnya, seraya memandang seluruh kaum Muslim juga sudah memahami siapa itu khalifah dan apa itu khilafah.
Apalagi jika dikaitkan dengan sabda Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang berbunyi, ‘Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’ad di surga, Sa’id di surga, Abu Ubaidah bin Jarrah di surga’, semestinya kaum Muslim mencontoh mereka.
“Berarti kan kalau mau mencontoh ya, contohlah mereka, contohlah Rasulullah dan para sahabat itu yang Allah berikan nikmat kepada mereka,” tuturnya.
Artinya, kalau akhir-akhir ini banyak orang menyebut suatu pemerintahan sudah khilafah, harusnya me-review kepada orang yang memang disebut Nabi, sebagai Al-Khulafaur ar-Rasyidin al-Mahdi. “Para khalifah yang lurus yang mendapatkan petunjuk,” jelasnya.
Maka itu, imbaunya lagi, jangan lantas ketika menyebutkan kata khilafah, seketika menunjuk ISIS atau kelompok serupa lainnya, yang memang bukan khilafah dalam arti sebenarnya. “Lihatlah khilafah yang dipraktikkan oleh para sahabat,” ujarnya.
Satu hal lagi, sambung Kiai Labib, dikarenakan empat khalifah shahabat Rasulullah tersebut sudah dijamin masuk surga, maka menganggap khilafah, sistem pemerintahan yang berdasarkan Islam, sebagai bentuk keburukan, radikal atau ektremis misalnya, adalah suatu kekurangajaran.
“Kok berani-beraninya sekarang khilafah itu dianggap sebagai sebuah keburukan. kalau itu sebuah keburukan, berarti mereka itu adalah orang-orang buruk, padahal mereka itu orang-orang yang dipuji oleh Allah,” terangnya.
Oleh karena itu, Kiai Labib kembali mengingatkan bahwa khilafah adalah perkara yang sebetulnya tidak asing. “Buka dalam hadits ada; buka dalam syarah hadits ada; buka dalam kitab-kitab fikih, tentu bukan kitab-kitab fikih yang hanya membahas tentang ibadah, enggak ketemu, tetapi kalau sampai buka kitab-kitab fikih tentang siyasah, sudah pasti ketemu tentang khilafah,” urainya.
Sehingga sebagaimana pula ajaran Islam tentang shalat, zakat, haji, kata Kiai Labib, semua orang pasti tahu kekuasaan khalifah adalah salah satu ajaran Islam yang sangat penting karena memang menyangkut urusan dengan orang banyak.
“Betapa bahayanya kekuasaan itu jika tidak diatur dengan aturan yang benar,” ucapnya, menyinggung kisah Fir’aun, Perang Dunia Satu dan Perang Dunia Dua, sampai agresi militer Amerika Serikat atas negeri-negeri Muslim yang notabene karena keputusan dari kekuasaan, berbagai macam penindasan hingga pembunuhan terjadi kala itu.
“Masa orang biasa bisa membuat keputusan seperti itu?” timpalnya.
Terakhir ia berpesan, dengan pemahaman yang ia paparkan tadi, jangan lagi umat mempertanyakan khalifah itu presiden atau bukan. “Sekarang aja presiden tidak mau disebut khalifah. Karena tahu betul perbedaan mendasarnya,” pungkasnya.[] Zainul Krian