Khilafah, Sistem Pemerintahan yang Diwajibkan Syariat
Mediaumat.id – Menjelaskan perbedaan sistem pemerintahan monarki, demokrasi maupun khilafah, Pengamat Politik Islam dan Militer Dr. Ryan, M.Ag. menegaskan, satu-satunya konsep, sistem pemerintahan yang sah dan diwajibkan secara syar’i adalah khilafah.
“Khilafah itu adalah satu-satunya konsep, sistem pemerintahan atau sistem politik yang sah dan diwajibkan secara syar’i,” ujarnya dalam Kajian Afkar Islam bertajuk: Perbandingan Sistem Politik: Monarki, Demokrasi & Khilafah, Senin (29/11/2021) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Ia mengatakan, terdapat perbedaan mendasar di antara bentuk sistem pemerintahan tersebut. Baik terkait kekuasaan, kebijakan serta pengaturan urusan-urusan masyarakat.
Sebelumnya, ia mengawali dengan menerangkan, monarki adalah sistem pemerintahan kerajaan dan merupakan model pemerintahan tertua di dunia. “Awal kurun abad ke-19 terdapat lebih dari 900 tahta kerajaan di dunia. Tetapi kemudian menurun menjadi 240 dalam abad yang ke-20, dan pada dekade yang ke-8 abad ke-20, hanya sekitar ada 40 tahta kerajaan yang masih ada,” jelasnya.
Dari jumlah itu pun, lanjutnya, hanya 4 negara yang mempunyai penguasa monarki mutlak. Dan selebihnya sistem monarki konstitusional. “Intinya monarki itu adalah dicirikan dengan pemerintahan yang sifatnya itu turun-temurun,” tambahnya.
Sedangkan demokrasi, sambung Ryan, bentuk pemerintahan dengan menempatkan seluruh warga negaranya memiliki hak yang sama dalam mengambil keputusan untuk dapat mengubah kehidupan mereka. “Kedaulatan atau kehendak untuk membuat satu hukum itu adalah dimiliki oleh rakyat atau kemudian manusia,” jelasnya.
Meski sistem demokrasi pada tingkat praktiknya berwujud republik yang berarti kembali ke rakyat, namun pada praktiknya, beber Ryan, sesungguhnya yang berkuasa hanyalah segelintir orang. “Sebagian menyebutnya dengan oligarki, sebagian kemudian menyebutnya dengan para pemilik modal,” ungkapnya.
Bahkan di dalam satu kitab, kata Ryan, justru menerangkan dengan jelas bahwa demokrasi itu adalah sistem kufur dan haram untuk diambil, diterapkan atau pun disebarkan.
Berikutnya, sebelum menjelaskan tentang sistem khilafah, Ryan menambahkan sistem teokrasi yang menjunjung serta berpedoman pada prinsip ilahi.
Saat ini, ujarnya, representasi negara yang paling dekat dengan sistem teokrasi adalah Vatikan. Yang kepala negaranya adalah Paus, dipilih oleh Dewan Kardinal atau semacam majelis senator gereja. “(Sedangkan) Kardinal ditunjuk oleh Paus, yang juga memilih Paus tadi itu,” imbuh Ryan.
Sementara, khilafah, ia mendefinisikan sebagai sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh umat Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum Islam serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Penting diketahui, khilafah berasal dari kata khalafa yang berarti menggantikan. Bisa juga disebut sebagai imam atau pun amirul mukminin. “Maknanya sama antara khalifah, imam dan amirul mukminin itu adalah menjadi kepala negara dalam satu negara yang disebut pemerintahannya itu adalah khilafah,” terangnya.
Sebagai contoh, Khalifah Abu Bakar as Siddiq dikenal dengan sebutan Khalifatu Rasulillah atau pengganti Nabi Muhammad SAW dalam hal kepemimpinan umum. Begitu juga Khalifah Umar bin Khattab disebut Amirul Mukminin atau Khalifah Ali bin Abi Thalib yang disebut sebagai Imam Ali.
Berbeda
Dari sisi kekuasaan, sistem khilafah berbeda dengan monarki yang telah ditentukan dari keluarga tertentu atau diwariskan. “(Sistem) khilafah itu ada di tangan umat. Jadi, kekuasaan itu adalah ash-sultan lil ummah. Dia tidak diwariskan. Artinya, setiap umat yang memiliki hak itu kemudian dia bisa kemudian menjadi atau pun memilih seorang khalifah,” ujarnya.
Sementara, berkenaan dengan privilege atau hak istimewa, di dalam sistem khilafah tidak mengenal hal itu. “Dia (khalifah) sama kedudukannya dengan rakyat biasa,” tegasnya.
Dalam sistem khilafah, penerapan hukum atau kedaulatannya pun berpulang kepada Allah SWT dalam bentuk syariat Islam, dengan memberikan kekuasaan kepada penguasa untuk menerapkan hukum syariah tersebut.
Tidak seperti sistem teokrasi, seorang khalifah di dalam sistem khilafah bukanlah wakil dari Tuhan, tetapi wakil umat. Dengan dukungan umat, seorang khalifah menjalankan hukum yang sumbernya hanya dari Allah SWT.
Sehingga, sifat penguasa dalam sistem khilafah tidaklah ‘maksum’ (selalu benar) seperti halnya anggapan di dalam sistem teokrasi. “Di situ (khilafah) ada mekanisme yang disebut dengan bagaimana melakukan kontrol atau melakukan muhasabah melakukan koreksi amar makruf nahi mungkar,” lanjutnya menjelaskan.
Dan ternyata, aktivitas muhasabah boleh dilakukan individu, kelompok atau partai politik, kelembagaan semisal majelis umat, atau bahkan Mahkamah Mazhalim yang nantinya melakukan koreksi atas persengketaan antara seorang penguasa dengan rakyatnya.
Hukumnya Wajib
Ryan menjelaskan, di dalam kitab Nidzamul Hukmi fil Islam karya Syeikh Abdul Qadir Zallum telah diterangkan, bahwa mengangkat seorang khalifah hukumnya wajib atas kaum Muslim di seluruh dunia. “Sebagaimana kewajiban mana pun yang difardhukan Allah atas kaum Muslim adalah perkara yang pasti dengan tidak ada pilihan di dalamnya dan tidak ada toleransi di dalamnya,” jelasnya.
“Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besarnya maksiat, yang akan diazab Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya,” sambung Ryan.
Maka dalam konteks itulah, sebagaimana ditegaskan di dalam kitab Ibnu Hazm, semua ahlussunnah telah sepakat berkenaan dengan wajibnya imamah dimaksud. Bahkan golongan murji’ah, syi’ah dan semua khawarij pun demikian.
Para imam yang empat, Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad juga sepakat bahwa imamah atau khilafah itu fardhu. “Kaum Muslim harus mempunyai seorang imam atau khalifah yang akan menegakkan syiar agama serta menolong orang yang dizalimi,” tegasnya menyampaikan kesepakatan dimaksud.
Sehingga, masih dalam kesepakatan imam yang empat, kaum Muslim dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh punya dua imam. Baik keduanya sepakat atau pun tidak.[] Zainul Krian