Khilafah: Sistem Pemerintahan Islam, Berbeda Dengan Seluruh Bentuk Sistem Pemerintahan di Seluruh Dunia

Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah) itu berbeda dengan semua bentuk sistem pemerintahan yang ada dan dikenal di seluruh dunia. Perbedaan itu ada pada semua segi: asas yang mendasarinya, pemikiran, pemahaman, maqāyīs (standar), serta hukum-hukum yang digunakan untuk mengatur berbagai urusan, juga konstitusi dan undang-undang yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan, serta bentuk negara yang mencerminkan Daulah Islam. Inilah yang membedakan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) dari semua bentuk sistem pemerintahan yang ada di dunia ini.

Sistem pemerintahan Islam bukan sistem kerajaan. Bahkan, Islam tidak mengakui sistem kerajaan, apalagi menyerupai sistem kerajaan, tentu tidak. Hal itu karena dalam sistem kerajaan, seorang anak (putra mahkota) otomatis menjadi raja karena pewarisan, di mana umat (rakyat) tidak memiliki andil dalam pengangkatannya. Sementara itu dalam sistem Khilafah tidak ada pewarisan, namun yang ada adalah baiat dari umat yang menjadi metode untuk mengangkat khalifah.

Sistem pemerintahan Islam juga bukanlah sistem imperium (kekaisaran). Sebab, sistem imperium itu sangat jauh bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam. Mengingat, berbagai wilayah yang diperintah oleh Islam—meskipun penduduknya berbeda-beda suku dan warna kulitnya, serta berpusat pada satu kekuasaan (sentralisasi)—namun tidak diperintah dengan sistem imperium, melainkan dengan sistem yang bertolak belakang dengan sistem imperium. Sebab, sistem imperium tidak memerintah dengan perlakuan yang sama di antara suku-suku di wilayah-wilayah dalam sistem imperium. Namun sistem imperium memberikan keistimewaan kepada pemerintahan pusat dalam hal kekuasaan, kekuangan, dan perekonomian.

Sementara itu, metode Islam dalam memerintah adalah memperlakukan sama di antara seluruh rakyatnya di seluruh wilayah negara. Islam menolak berbagai ‘ashbiyah al-jinsiyyah (sentiment primordialisme). Justru Islam memberikan berbagai hak pelayanan dan kewajiban-kewajiban kepada non-Muslim yang memiliki kewarganegaraan sesuai dengan hukum syariah. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslim secara adil. Bahkan lebih dari itu, Islam tidak menetapkan bagi seorang pun di antara rakyat di hadapan pengadilan—apapun mazhabnya—sejumlah hak istimewa yang tidak diberikan kepada orang lain, meskipun ia seorang Muslim. Sehingga dengan kesetaraan ini, maka sistem pemerintahan Islam, jelas jauh berbeda dari sistem imperium.

Sistem Pemerintahan Islam bukan sistem federasi, di mana dalam sistem federasi, wilayah-wilayah negara terpisah satu sama lain dengan hak otonomi, dan mereka dipersatukan dalam masalah pemerintahan yang bersifat umum. Sementara sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Dalam sistem pemerintahan Islam, Marrakesh di barat dan Khurasan di timur, diperlakukan sebagaimana distrik al-Fayyum jika ibukota negaranya di Kairo. Keuangan seluruh wilayah adalah sama, begitu juga dengan anggarannya, di mana semuanya dibelanjakan untuk kemaslahatan seluruh rakyat tanpa memandang wilayahnya. Seandainya suatu wilayah pendapatannya tidak mencukupi kebutuhannya, maka wilayah itu dibiayai sesuai dengan kebutuhannya, bukan berdasarkan pendapatannya. Seandainya pendapatan suatu wilayah tidak mencukupi kebutuhannya, maka itu tidak masalah, sebab akan dibiayai melalui anggaran umum sesuai dengan kebutuhannya, baik pendapatannya mencukupi kebutuhannya ataupun tidak.

Sistem pemerintahan Islam bukan sistem republik. Mengingat, sistem republik pertama kali tumbuh sebagai reaksi praktis terhadap penindasan oleh sistem kerajaan (monarki). Di mana dalam sistem monarki, raja memiliki kedaulatan dan kekuasaan untuk memerintah dan bertindak atas negeri dan penduduk sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Dalam sistem monarki, rajalah yang menetapkan undang-undang menurut keinginannya. Dan sebagai reaksinya, datanglah sistem republik, yang kemudian kedaulatan dan kekuasaan dipindahkan kepada rakyat, yang disebut dengan sistem demokrasi, di mana dalam sistem demokrasi, rakyat yang membuat undang-undang, menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela. Dengan demikian, pemerintahan berada di tangan presiden dan para menterinya dalam sistem republik presidentil, dan di tangan kabinet dalam sistem republik parlementer. Dalam hal ini kami contohkan—pemerintahan di tangan kabinet—ada di dalam sistem monarki yang kekuasaan pemerintahannya dicabut dari tangan raja, di mana raja hanya menjadi simbol, bahwa ia seorang raja, tetapi ia tidak berkuasa atas pemerintahan.

Sedangkan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), kewenangan untuk melakukan legislasi (menetapkan hukum) tidak di tangan rakyat, tetapi ada pada Allah subhānahu wa ta’āla. Sehingga dalam hal ini, tidak seorang pun selain Allah subhānahu wa ta’āla yang dibenarkan menentukan halal dan haram. Bahkan dalam sistem pemerintahan Islam, tindakan menjadikan kewenangan untuk membuat hukum itu berada di tangan manusia, merupakan kejahatan besar,. [Dari Kitab Ajhizatu Daulati al-Khilafah fi al-Hukmi wa al-Idārah (Struktur Pemerintahan dan Administrasi Negara Khilafah), diterbitkan Hizbut Tahrir]

Sumber: alraiah.net, 5/6/2019.

Share artikel ini: