Oleh: Achmad Fathoni (Direktur el Harokah Research Center)
Sebagai istilah yang digunakan oleh para mutakallimin dan fuqaha, khilafah itu semakna dengan imamah sementara khalifah itu semakna dengan imam dalam konteks yang mereka bicarakan. Satu hal yang menambah keyakinan kami akan hal tersebut adalah kenyataan bahwa dua istilah ini seringkali dipakai oleh para ulama secara bergantian seolah keduanya bisa saling menggantikan begitu saja. Sebagai contoh kami kutipkan beberapa teks berikut:
Dalam kitab al-fiqhul akbar disebutkan bahwa Asy-Syafi’i menyatakan: “Dan ketahuilah bahwa imam yang haq setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar ra, dalilnya adalah ijma’ shohabat terhadap imamah beliau dan kepatuhan mereka kepada beliau, serta kesepakatan mereka mengenai khilafah dalam percakapan mereka, sehingga secara ijma’ mereka memanggil (Abu Bakar) “wahai Khalifah Rasulullah”. (Asy Syafi’i, al-Fiqh al-Akbar (tt:tp) h. 38). Perhatikan bagaimana imam atau pemangku imamah yang pertama, Abu Bakar ra, di sini disebut dengan gelar khalifah dan imamahnya disebut khilafah.
Al-Mawardi menyatakan: “Adapun pengangkatannya melalui pemilihan ahlul halli wal ‘aqd maka dalam hal ini para ulama berselisih mengenai jumlah minimal orang yang akad imamah mereka bisa dianggap sah kedalam beberapa pendapat yang berbeda. Sebagian dari mereka mengatakan: akad tidak sah kecuali dilaksanakan oleh mayoritas ahlul halli dari seluruh negeri agar kerelaan terhadap akad tersebut terwujud secara umum dan penerimaan terhadap imamahnya dapat disepakati. Pendapat ini tertolak oleh sejarah pembaiatan Abu Bakar ra atas khilafah yang terwujud dengan pemilihan sekelompok orang yang menghadirinya saja tanpa menunggu orang-orang yang tidak menghadirinya”.[Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2006) h. 7] Perhatikan bagaimana Al-Mawardi sering mengganti imamah dengan khilafah. Penggunaan istilah yang tidak konsisten ini terjadi di banyak tempat dalam al-Ahkamus Sulthaniyah.
Al-Juwaini berkata: “Seandainya pemberi wasiat berkata: “imam setelahku adalah fulan, kemudian imamah setelahnya adalah untuk fulan, kemudian imamah setelahnya adalah untuk fulan” maka dengan demikian khilafah diurutkan untuk orang-orang tertentu tersebut yang telah dilimpahi imamah pasca kematiannya”.[Imam al-Harmain Abul Ma’ali Al-Juwaini, Ghiyats al-Ummam (Iskandariyah: Dar ad-Da’wah, 1400 H) h. 109] Terlepas dari pro/kontra metode pewarisan imamah, yang jelas, al-Juwaini dalam kutipan di atas telah menggunakan imamah dan khilafah secara bergantian dengan maksud yang sama.
Al-Qalqasyandi berkata: “Pembahasan tentang cara yang digunakan untuk menyempurnakan akad khilafah. Dalam hal ini terdapat tiga cara. …Cara yang pertama adalah bai’at, ini dilakukan dengan berkumpulnya ahlul halli wal ‘aqdi yang ia dipilih kemudian mereka mengakadkan imamah kepada orang yang memenuhi persyaratannya”.[Al Qalqasyandi, Ma’atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah (Beirut: ‘Alam al-Kutub, tt) Juz I, h. 39]
Ar-Razi mengatakan, “Bahwa imam yang haq (sah) setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar,… Dalil yang mendukung kebenaran pendapat kami ada beberapa segi. Pertama: telah terbukti secara mutawatir bahwa Ali ra tidak memerangi Abu Bakar demi menuntut khilafah. Seandainya benar imamah Abu Bakar itu tidak sah niscaya Ali akan memeranginya sebagaimana beliau memerangi Mu’awiyah ketika Mu’awiyah mengincar khilafah.”[Fakhrud Din Ar-Razi, al-Masa’il al-Khamsun fi Ushul ad-Din (Beirut: Dar al-Jail, 1990) h. 71]
Kenyataannya kita dapat menemukan para ulama yang menggunakan istilah imamah dan khilafah secara bergantian atau saling menggantikan. Ini tidak mungkin dilakukan kecuali jika mereka menganggap bahwa istilah khilafah memuat konsep yang sama dengan konsep imamah.[]