Oleh: Taufik setia Permana (Geopolitical Institute)
Umat Islam dulu memperoleh kejayaan selama berabad-abad, taraf berpikir mereka begitu tinggi. Ketinggian taraf berpikir kaum Muslim dulu bisa kita lihat dari infrastruktur yang mereka hasilkan, seperti gedung, observatorium, termasuk sains dan teknologi pada zaman itu. Jerome R. Ravertz, dalam “Philosophy of Science”, mengungkapkan sebagai berikut:
Kebudayaan Islam paling relevan bagi (sumber) Ilmu Eropa. Bukan sekadar karena dekatnya hubungan antara Islam dengan Judaisme dan Kekristenan, melainkan juga karena adanya kontak kultural yang aktif antara negeri-negeri berbahasa Arab dengan Eropa Latin pada masa-masa yang menentukan. Ironisnya, zaman kebesaran Islam bersamaan waktunya dengan titik nadir (keterpurukan) kebudayaan di Eropa Barat. Penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh pengikut sang Nabi (Muhammad saw.) yang dimulai sejak abad ke-7 hingga abad ke-10 telah membuat bahasa Arab menjadi bahasa kaum terpelajar bagi bangsa-bangsa yang terentang mulai dari Persia hingga Spanyol. Para penakluk Arab (Khilafah Islamiyah) umumnya membawa kedamaian dan kemakmuran bagi negeri-negeri yang didudukinya. Sebagai contoh, perpustakaan Cordova di Spanyol nyata-nyata memiliki 500.000 buah buku pada saat bangsa-bangsa di Pyrenia utara paling-paling hanya mempunyai 5000 buah buku. Bangsa Muslim juga toleran terhadap keyakinan-keyakinan monoteis lainnya, sehingga orang-orang Yahudi mendapat posisi tinggi (dihargai / dilindungi karena termasuk warga Negara Khilafah Islam alias ahl al-Dzimmah) di negeri-negeri Islam pada saat mereka hampir tidak diizinkan hidup di Eropa. Tertarik akan tradisi-tradisi Ilmu Yunani, melalui para sarjana Kristen yang ada di Syiria, para penguasa Arab (Khilafah Islam) yang bertempat di Baghdad pada abad ke-9 memerintahkan penerjemahan besar-besaran terhadap sumber-sumber pengetahuan Yunani, dan segera sesudah itu peran sarjana Arab sendiri bergerak maju khususnya di bidang matematika, astronomi, optik, kimia, dan kedokteran… di ssamping sumbangannya yang sangat besar bagi peradaban Barat dalam memelihara dan menularkan warisan Yunani, bahasa Arab juga memberi kontribusi pada Ilmu modern dalam sejumlah kata, terutama berkenaan dengan tetumbuhan dan makanan, dan juga kata-kata seperti alkohol dan aljabar.[1]
Pada masa-masa keemasan peradaban Islam (tentu ratusan tahun silam sebelum adanya gagasan liberalisasi pemikiran Islam yang muncul belakangan ini), sejumlah ulama dan ilmuwan Muslim telah menghasilkan banyak karya tulis dalam bentuk buku. Bahkan banyak di antara mereka yang menghasilkan ratusan judul buku, dalam berbagai disiplin ilmu.
Ibn Sina (terkenal di Barat sebagai Aveciena), misalnya, adalah seorang pakar kedokteran terkemuka hingga abad ini. Ia meninggalkan karya sekitar 267 buku. Al-Qânûn fî ath-Thibb adalah bukunya yang terkenal di bidang kedokteran.
Lalu ada Ibn Rusyd (terkenal di Barat sebagai Averous); seorang dokter sekaligus pakar fikih dari Andalusia. Al-Kulliyât adalah salah satu bukunya yang terpenting dalam bidang kedokteran.
Lantas ada az-Zahrawi; orang pertama yang mengenalkan teknik pembedahan organ tubuh manusia. Karyanya berupa eksiklopedia pembedahan dijadikan referensi dasar dunia kedokteran selama ratusan tahun, termasuk di berbagai universitas di Barat.
Kemudian ada az-Zarkalli; seorang ahli astronomi yang pertama kali mengenalkan astrolobe. Penemuan ini menjadi revolusioner karena dapat membantu navigasi laut yang kemudian mendorong berkembangnya dunia pelayaran secara pesat.
Selanjutnya ada al-Khawarizmi; ahli matematika, penemu angka nol, sekaligus pencipta salah satu cabang ilmu matematika, algoritma. Beberapa bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada awal abad ke-12 dan terus dipakai selama 400 tahun (hingga abad ke-16) sebagai buku pegangan dasar oleh universitas-universitas di Eropa. Buku geografinya berjudul Kitâb Sûrât al-Ard yang memuat peta-peta dunia pun telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Di bidang ilmu kimia, ada masternya yang diakui oleh dunia. Dialah Jabir Ibn Hayyan. Pada abad pertengahan, karya-karya beliau di bidang ilmu kimia—termasuk kitabnya yang masyhur: Kitâb al-Kimyâ dan Kitâb as-Sab‘în—sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Terjemahan Kitâb al-Kimyâ bahkan telah diterbitkan oleh orang Inggris bernama Robert Chester tahun 1444, dengan judul The Book of the Composition of Alchemy. Berthelot juga menerjemahkan beberapa buku Jabir, di antaranya dikenal dengan judul Book of Kingdom, Book of the Balances, dan Book of Eastern Mercury.
Lalu ada al-Idrisi; pakar geografi. Ia telah membuat bola dunia dari bahan perak seberat 400 kilogram untuk Raja Roger II dari Sicilia. Globe buatan al-Idrisi ini secara cermat memuat pula ketujuh benua dengan rute perdagangannya, danau-danau dan sungai, kota-kota besar, dataran serta pegunungan. Beliau memasukkan pula beberapa informasi tentang jarak, panjang dan ketinggian secara tepat. Bola dunianya itu oleh Idris sengaja dilengkapi pula dengan Kitâb ar-Rujari (Roger’s Book). Al-Idrisi pula yang pertama kali memperkenalkan teknik pemetaan dengan metode proyeksi; suatu metode yang baru dikembangkan oleh ilmuwan Barat, Mercator, empat abad kemudian.
Lantas ada Nashiruddin ath-Thusi; masternya ilmu astronomi dan perbintangan.
Kemudian ada Ibnu al-Haytsam; master ilmu alam dan ilmu pasti. Ia menulis buku berjudul Al-Manâzhir yang berisi tentang ilmu optik. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Frederick Reysnar, dan diterbitkan di Swiss pada tahun 1572 dengan judul, Opticae Thesaurus.
Kemudian ada al-Kindi; simbol kedigdayaan ilmuwan Muslim. Ia adalah master dalam ilmu fisika dan filsafat. Ia mewariskan sekitar 256 judul buku hasil karyanya. Lima belas buku di antaranya khusus mengenai meteorologi, anemologi, udara (iklim), kelautan, mata, dan cahaya; dan dua buah buku mengenai musik.
Di bidang sejarah dan ilmu sosial tentu saja ada Ibnu Khaldun sebagai sang maestronya.
Sementara itu, ribuan karya para ulama di bidang tsaqâfah Islam (bahasa Arab, ulumul Quran, ulumul hadis, tafsir, fikih, ushul fikih, dll) sudah tidak terhitung lagi secara pasti. Di kalangan Ahlus Sunnah saja, selain empat Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali), kita mengenal as-Suyuthi, Ibn Taimiyah, al-Ghazali, dll. Imam al-Ghazali, misalnya, yang dijuluki ‘Hujjah al-Islâm’, menghasilkan lebih dari 100 judul buku dari berbagai disiplin ilmu. Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn hanyalah salah satu masterpiece-nya.
Merekalah di antaranya yang telah memberikan banyak sekali sumbangsihnya bagi kemajuan peradaban Islam pada masa lalu, yang masih terasa denyutnya hingga kini, justru pada saat orang-orang Eropa masih bergulat dengan masa kegelapannya yang panjang. Tanpa kehadiran mereka, kemajuan peradaban Barat saat ini tidak mungkin terjadi. Secara jujur, hal ini diakui oleh seorang cendekiawan Barat, Montgomery Watt, “Peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.” Jacques C. Reister juga berkomentar, “Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatan, ilmu pengetahuan, dan peradabannya yang tinggi.”[2]
[1] Jerome R. Ravertz. The Philosophy of Science (Filsafat Ilmu, alih bahsa oleh: Saut Pasaribu), cet. 1. Pustaka Pelajar – Yogyakarta. 2004. hlm. 19, 20 dan 22
[2] Arief B. Iskandar. Kejumudan Berfikir (dalam rubrik Ibrah), Majalah al-Wa’ie – Media Politik dan Dakwah : Hizbut Tahrir Indonesia – Jakarta, 2007. hlm. 34-35; lihat juga: Ziauddin Sardar dan Zafar Abbas Malik, Islam for Beginners (Muhammad for Beginners, oleh: Julianty), cet. VIII. Mizan – Bandung. hlm. 90-91; Dr. Ibrahim Rabi’ Muhammad, al-Awail fi al-Islam (Ensiklopedia Perdana Dalam Islam oleh: H. Imam Awaludin, Lc), Pustaka al-Kautsar – Jakarta Timur, cet. 1. 2004. dalam banyak Bab beliau membahasnya dengan ringkas. Lihat pula: Sutan Takdir A. dkk. Sumbangan Islam kepada Sains & Peradaban Dunia, cet.I. Yayasan Nuansa Cendekia – Bandung. hlm. 6-10.