Oleh: Abu Inas (Tabayyun Center)
Tegaknya Khilafah dan kewajiban untuk menegakkan Khilafah merupakan perkara yang sudah ma’luum[un] min ad-diin bi ad-dharuurah (bagian dari ajaran agama yang urgen). Bahkan kewajiban untuk menegakkan Khilafah disebut taaj al-furuudh (mahkota kewajiban], atau ahamm al-waajibat (kewajiban yang paling penting).
Bagaimana tidak bodoh tentang Islam, jelas Khilafah merupakan institusi yang menggantikan nubuwwah (kenabian) dalam menjaga agama dan mengurus dunia. Nabi saw. dengan tegas menyatakan:
كَانَتْ بَنُوْا إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ مِنْ بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ.
Dulu Bani Israil diurus oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, dia digantikan oleh nabi yang lain. Namun sungguh setelah aku tidak lagi ada nabi, yang ada adalah para khalifah (penggantiku). Jumlah mereka banyak (HR Muslim).
Para khulafa’ (jamak dari khalifah) adalah pengganti. Mereka menggantikan Nabi saw. bukan dalam konteks kerasulan dan kenabian, tetapi dalam menjaga agama dan mengurus urusan dunia, yang sebelumnya diurus oleh Nabi Muhammad saw. Karena itu Ibn Khaldun menyatakan:
خِلاَفَةٌ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ فِي حَرَاسَةِ الدِّيْنِ وَرِيَاسَةِ الدُّنْيَا بِهِ
(Khilafah itu) mengganti pemilik syariah dalam menjaga agama dan mengurus urusan dunia dengan agama.
Ulama mazhab Syafii hampir semuanya sepakat tentang kedudukan Khilafah, yang keberadaannya untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurus urusan dunia. Mereka mengatakan:
الإِمَامَةُ [الخِلاَفَةُ] مَوْضُوْعَةٌ لِخِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ فِي حَرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Imamah (Khilafah) diadakan untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurus urusan dunia dengan agama.
Karena itu keberadaan Khilafah sangat vital dan merupakan perkara ma’luum[un] min ad-diin bi ad-dharuurah (bagian dari ajaran agama yang urgen). Begitu urgennya, sampai Imam al-Ghazali membuat analogi:
الدِّيْنُ وَالسُّلْطَانُ تَوْءَمَانِ..الدِّيْنُ أُسٌّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ، فَمَا لاَ أُسَّ لَهُ مَهْدُوْمٌ، وَمَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعُ
Agama dan kekuasaan (Khilafah) adalah ibarat dua saudara kembar.. Agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan (Khilafah) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak mempunyai pondasi pasti runtuh. Sesuatu yang tidak mempunyai penjaga pasti akan hilang.
Karena itu semua ulama kaum Muslim dari berbagai mazhab sepakat tentang urgensi adanya Khilafah dan kewajiban untuk menegakkan Khilafah. Baik Ahlus Sunnah, Syiah, Khawarij, Murji’ah, Muktazilah maupun Jabariah; semuanya sepakat. Jika ada yang tidak sepakat, itu hanya satu-dua orang. Mereka disebut sekte ghullat (ekstrem) seperti an-Nadzam dan al-Fuwathi, dari sekte Muktazilah, serta al-Asham dan an-Najadat, dari sekte Khawarij. Mereka yang menolak Khilafah ini, oleh Imam al-Qurthubi, seperti sebutan beliau kepada al-Asham, disebut orang yang tuli tentang syariah.[]