Khilafah Jalan Menuju ke Surga

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Ini kisah tentang seorang Khalifah, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, dan sahabatnya, Dukain. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah berjanji kepada Dukain, kalau nanti ‘Umar menjadi Khalifah, dia akan diangkat menjadi Wali Madinah. Maka, ketika ‘Umar benar-benar menjadi Khalifah, Dukain menghadap kepada sang Khalifah untuk menagih janjinya.

Apa jawaban sang Khalifah, ketika ditagih oleh sahabatnya itu? Sang Khalifah itu mengatakan:

إِنَّ لِيْ نَفْساً تَوَّاقَةً، وَمَا حَقَقْتُ شَيْئاً إِلاَّ تَاقَتْ لِماَ هُوَ أَعْلَى مِنْهُ، تَاقَتْ نَفْسِيْ إِلىَ الزِّوَاجِ مِنْ اِبْنَةِ عَمِّيْ فَاطِمَةَ بِنْتِ عَبْدِالمَلِكِ فَتَزَوَّجْتُهَا، ثُمَّ تاَقَتْ نَفْسِيْ إِلىَ الإِمَارَةِ فَوَلَّيْتُهَا، وَتَاقَتْ نَفْسِيْ إِلَى الْخِلاَفَةِ فَنِلْتُهَا، وَالآنَ تَاقَتْ نَفْسِيْ إِلَى الْجَنَّةِ فَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ مِنْ أَهْلِهَا

“Saya mempunyai jiwa yang tinggi. Ketika saya telah merealisasikan sesuatu, tak ada kepuasan, kecuali ingin merealisasikan yang lebih tinggi lagi. Jiwaku yang tinggi ingin menikahi putri pamanku, Fatimah bin ‘Abdul Malik. Aku pun berhasil menikahinya. Kemudian, jiwaku yang tinggi ingin mendapatkan kekuasaan [menjadi wali di Madinah], maka aku pun mendapatkannya. Kemudian jiwaku yang tinggi ingin mendapatkan Khilafah, maka aku pun mendapatkannya. Sekarang, jiwaku yang tinggi ingin menggapai surga, maka aku pun berharap menjadi penghuninya.”

Kisah ini diceritakan oleh al-‘Affani, dalam kitabnya, Shalahu al-Ummah fi Uluwwi al-Himmah. Meski dalam riwayat lain, dialog ini bukan antara ‘Umar dengan Dukain, tetapi dengan Raja’ bin Hayawah, yang tak lain adalah wazirnya.

Dari dialog dan sosok ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ini kita melihat, bahwa orang yang mempunyai jiwa yang tinggi (nafsu tawwaqah) tidak akan mempunyai cita-cita yang rendah (himmah safilah). Sebaliknya, cita-citannya membumbung tinggi (himmah ‘aliyah). Sejak kecil, dia dididik dengan ketakwaan oleh kedua orang tuanya.

Dari Damaskus dia dikirim ke Madinah untuk berguru kepada Shalih bin Kisan, ulama’ yang membentuk karakternya. Suatu ketika, dia pernah ketinggalan shalat jamaah di Masjid Nabawi, hanya gara-gara cukur rambut, maka dengan keras gurunya marah, karena dianggap lebih mementingkan rambutnya, ketimbang memenuhi panggilan Allah. Begitulah, hasil didikan ulama’ yang hebat ini, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz akhirnya menjadi sosok yang luar biasa.

Jiwa yang Tinggi, Himmah ‘Aliyah dan Thumuhat

Meski dalam manifestasinya tampak sama, antara orang yang mempunyai himmah ‘aliyah (cita-cita yang tinggi), dengan thumuhat (ambisi), misalnya pada orang atau kelompok yang menginginkan kekuasaan. Tetapi, faktanya berbeda.

Orang yang mempunyai ambisi, digerakkan oleh gharizatu al-baqa’, karena motivasi hubb as-siyadah (ambisi berkuasa). Karena itu, mereka bisa melakukan segala cara, asal bisa berkuasa. Dengan cara menyewa buzzer, menipu, melakukan pencitraan, menyebar fitnah, hoax, kecurangan sistematis, terstruktur dan brutal, sampai menghilangkan nyawa pun sanggup dilakukan. Semuanya itu karena hubb as-siyadah (ambisi berkuasa) yang digerakkan oleh gharizatu al-baqa’.

Berbeda dengan orang yang mempunyai himmah ‘aliyah, meski sama-sama ingin mendapatkan kekuasaan, sebagaimana ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, tetapi motivasinya berbeda. Karena orang atau kelompok yang mempunyai himmah ‘aliyah, tidak akan melakukan hal yang melanggar titah Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, mereka pastikan tak ada satu pun pemikiran, pandangan, hukum, metode dan caranya yang menyalahi sedikit pun titah Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan benar-benar mengikuti metode perjuangan Rasulullah. Kalau pun mendapatkan kekuasaan, kekuasaan itu bukan tujuan. Tetapi, metode untuk mendapatkan ridha Allah, dengan cara memastikan semua yang dijalankan adalah hukum Allah.

Karena itu, himmah ‘aliyah ini dibangun dan digerakkan oleh gharizatu at-tadayyun, sehingga tumbuh bersamaan dengan kesadaran akan adanya hubungan dengan Allah (idrak sillah bil-Llah). Orang yang mempunyai himmah ‘aliyah, tidak akan melakukan hal yang sia-sia, apalagi murahan. Karena jiwanya yang tinggi (nafsun tawwaqah) itu selalu mendorongnya untuk meraih hal-hal yang ideal, dan tinggi, sebagaimana sosok ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.

Khilafah Jalan ke Surga

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, dengan jiwanya yang tinggi (nafsun tawwaqah) tahu persis, bahwa meski jabatan tertinggi di dunia telah diganggam, tetapi masih ada yang lebih tinggi lagi, yaitu surga (jannah). Di sanalah, tempat abadi, tempat di mana, kita mendapatkan puncak kenikmatan, melihat wajah Allah Subahanu wa Ta’ala, sebagaimana dalam doa Nabi:

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظْرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ.

“Ya Allah, hamba memohon kepada-Mu kelezatan untuk melihat wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu.”

Himmah ‘aliyah, dan kesadaran itulah yang menjadikan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sejak pertama kali menjadi Khalifah, meminta isterinya untuk mengembalikan semua harta pemberian orang tuanya ke Baitul Mal. Karena tidak ingin sedikit ada harta syubhat, apalagi haram yang digunakan oleh keluarganya. Himmah ‘aliyah, dan kesadaran itulah yang juga menjadikan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memastikan keluarganya dalam ketaatan, bahwa membersamai mereka dalam membaca, menghayati dan mengalamkan isinya al-Qur’an.

Himmah ‘aliyah, dan kesadaran itulah yang menjadikan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tidak bisa tidur sepanjang malam, hingga memastikan tak ada satu pun rakyatnya yang kelaparan, baru bisa tidur. Himmah ‘aliyah, dan kesadaran itulah yang menjadikan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memastikan, bahwa burung-burung di wilayah Bursa, Turki, tetap mendapatkan makanan, saat salju menutupi puncak gunung, dengan cara meminta penduduk setempat untuk menaburkan gandum. Alasannya, takut jika kelak, ditanya di hadapan Allah, dan tak bisa memberi pertanggungjawaban.

Maka, himmah ‘aliyah, dan kesadaran itulah yang menjadikan seorang ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz benar-benar menunaikan amanah kekuasaan itu dengan sebaik-baiknya, dan menjadikannya tiket untuk mendapatkan surga (jannah)-Nya. Inilah bedanya, antara kekuasaan yang lahir dari ambisi, dan kekuasaan yang digenggam oleh orang yang mempunyai himmah ‘aliyah, dan jiwa yang tinggi (nafsu tawwaqah).

Maka, dalam waktu singkat, tak kurang dari 2 tahun, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz benar-benar mampu mewujudkan kehidupan yang gemah ripah loh jinawe, aman tentrem toto raharjo, atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Tak ada orang miskin, dan tak ada yang berhak menerima zakat di seluruh wilayahnya.

Bandingkan dengan kekuasaan para penguasa kaum Muslim hari ini?
[]

Share artikel ini: