KHILAFAH: Global ke Lokal, Lokal ke Global

 KHILAFAH: Global ke Lokal, Lokal ke Global

Oleh: Muhammad Suardi Basri

Ketika Kenichi ohmae menuliskan gagasannya mengenai The Boarderless world (1995), gagasan tersebut mendapat tanggapan positif seakan itulah satu-satunya kesadaran yang harus diadopsi untuk masa depan.

Setali tiga uang dengan Ohmae, Anthony Giddens dalam bukunya The Third way and the renewal of social democracy mengusulkan dibentuknya suata tata pemerintahan yang bersifat global. Menurutnya, Era Negara bangsa telah berakhir. Akibatnya, seluruh dinamika masyarakat ditarik oleh keyakinan menuju satu arus besar yaitu Globalisasi.

Namun, resesi ekonomi yang kini mengancam stabilitas dunia dapat dianggap sebagai hasil nyata dari kegagalan globalisasi yang memaksakan sistem persaingan bebas ke dalam system sosial Negara berkembang yang sebenarnya sama sekali belum siap. Banyak pihak mengakui bahwa krisis global ini, salah satunya, disebabkan oleh akumulasi pergerakan modal yang terlalu cepat, sehingga menghasilkan system finansial yang labil (volatile).

Pertanyaannya sekarang ialah filosofi mana yang benar-benar merupakan filosofi politik global? Dan filosofi mana yang dapat memberikan suatu sistem kehidupan yang dapat mengangkat derajat kemanusiaan dan bekerja dalam skala global?

Islam tidak hanya dapat dikatakan sebagai filosofi politik global pertama, namun juga satu-satunya filosofi praktis yang benar-benar dapat menghadapi tekanan globalisasi, dan dengannya menciptakan suatu ’peradaban baru dalam dunia post-modern.

Islam lebih tinggi dari etnisitas, karena menentukan identitas berdasarkan pandangan yang komprehensif terhadap dunia. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa seluruh makhluk diciptakan oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Islam tidak hanya memandang dan mengatur kita dalam kapasitas kita sebagai manusia, namun juga melarang etnisitas dijadikan sebagai basis identitas. Rasulullah SAW mengomentari nasionalisme dengan menyatakan: ”Tinggalkanlah sikap nasionalisme (ashabiyah), (karena) sikap itu busuk”. Ini bermakna bahwa Islam merupakan suatu agama / ideologi yang mendunia, karena menempatkan seluruh manusia diatas basis rasional, bukan diatas pemikiran-pemikiran yang memicu konflik dan ketidakharmonisan.

Batas-batas imajiner / rekaan yang telah ditempatkan diantara manusia sebagai buah dari pemikiran yang salah semacam nasionalisme merupakan alasan utama yang menjadikan kita sering melihat darah mengalir selama berabad-abad. Huntington dalam the clash of civilization menyebut bahwa dibandingkan konflik antar agama, konflik yang diakibatkan oleh paham nasionalisme jauh lebih banyak memakan korban.

Mungkin ada anggapan bahwa kepercayaan Islam lebih rendah dari pandangan global tersebut. Ada juga yang mengatakan adanya perbedaan identitas pada wilayah pemikiran menjadikan Islam tidak dapat dikatakan sanggup memberi suatu identitas global secara menyeluruh, maka muncullah istilah Islam Timur Tengah, Islam Barat, Islam Indonesia (Islam Nusantara), dsb.

Islam memang membedakan manusia berdasarkan penggolongan Muslim dan non-Muslim. Namun, bila pandangan ini kita cermati, kita akan melihat bahwa pandangan ini sama sekali tidak selaras dengan isu identitas, karena bilamana Islam diterapkan melalui negara Khilafah Islamiyyah, negara tidak membedakan warga berdasar dikotomi tersebut. Islam memandang masyarakat dalam kapasitas mereka sebagai manusia dan warga dari Negara Khilafah. Jadi, tidak ada perbedaan antara Muslim dan Non-Muslim, kedua belah pihak dipandang dalam kapasitasnya sebagai manusia dan diperlakukan sama berdasarkan hukum Islam. Kita akan menemukan bahwa Islam mengatur seluruh manusia tanpa membeda-bedakan, dan sanggup memberikan suatu sistem kehidupan yang terlepas dari keyakinan, ras, atau keturunan.

Karena itu, Islam membekali kita dengan pandangan global yang konsisten dan logis terhadap identitas dan sistem kehidupan yang selaras dengan filosofi ini. Sistem politik Islam yang dikenal dengan Khilafah, merupakan manifestasi praktis dari pandangan global ini. Dan sejarah menunjukkan bahwa negara ini mampu menyatukan rakyat dari berbagai ras dalam satu entitas politik. Ini menegaskan bahwa suatu filosofi politik global harus memiliki metode implementasi yang benar-benar konsisten dengan pemikiran dan aturannya. Sistem Khilafah memenuhi kriteria ini, karena Khilafah merupakan negara yang memegang Islam sebagai satu-satunya ideologi. Poin ini semakin jelas tatkala kita mencermati keberadaan negara-negara saat ini, yang tidak mampu memberikan jawaban memuaskan tentang identitas.

Globalisasi memberikan kita kesempatan untuk benar-benar bersatu dalam suatu perdebatan global yang melibatkan seluruh manusia. Dan sudah waktunya bagi kita untuk mewujudkan konsepsi global dari risalah Islam dalam bentuk global state, seperti yang pernah dilalui oleh sejarah umat Islam, itulah Negara Khilafah.

Dari sudut pandang inilah Khilafah bukan hanya bakal menjadi kekuatan global yang mengambil jalan yang sama seperti proyek-proyek globalisasi lainnya, melainkan juga adalah sebuah counter untuk proyek globalisasi Barat, produk lain dari Kapitalisme dan hegemoni Barat. Dengan demikian, Islam dan Kekhalifahan sebagai alternatif dari globalisasi Barat.

Pada sisi lain. Sistem Islam dan Khilafah juga diperlukan untuk menyelesaikan problem yang terjadi pada skala lokal domestik. Khilafah mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan politik dan sosial lokal. Akhirnya, Dalam konteks Indonesia, Kita membutuhkan Islam dan Khilafah untuk menyelesaikan persoalan yang diakibatkan oleh sistem Kapitalisme global. dan kita membutuhkan Islam dan Khilafah untuk berpartisipasi dalam penyelesaian konflik di dunia. Secara khusus, yang dialami oleh muslim di belahan dunia yang lain sebagai perwujudan dari aqidah Islam yang kita yakini. “Muslim itu bersaudara”. Jadi, think and act both globally and locally (berpikir dan bertindak baik global maupun lokal)”. Wallahu a’lam bish-showaab

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *