Khilafah dan Sains

Oleh: Ahmad Rusjdan Handoyo Utomo, PhD

Saya ingat semasa SMP diajak Papa mengikuti kuliah umum Dr Nurcholis Majid tentang peradaban Islam. Tentang masa Khilafah, beliau bilang jangan alergi dengan episode pertumpahan darah masa itu. Kalau untuk mengapresiasi panjang kereta, jangan lihat kepala gerbong dari depan, tapi lihatlah dari samping, dan anda akan apresiasi betapa panjangnya kereta peradaban Islam selama 1300 tahun.

Dalam era sepanjang –atau tepatnya– selama itu, tidak ada (atau mungkin jarang terekam) kisah pembersihan etnis suku maupun pemeluk agama tertentu. Hingga kini para ilmuwan masih bertanya apa yang membuat warga Mesir, Afrika Utara, dan Syam Raya (Jordan, Lebanon, Suriah, Palestina) yang awalnya merupakan wilayah kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) yang notabene kristen (koptiks, ortodoks) bisa “berpindah agama” en bloc tanpa ada catatan sejarah persekusi masif..

Tidak dipungkiri memang ada Khalifah yang memang terbunuh, tapi demikian juga banyak Presiden Amerika Serikat (tidak hanya JFK) yang terbunuh dalam sejarah Amerika yang relatif singkat (3 abad) dibanding masa kekhilafahan (13 abad).

Dua puluh tahun setelah mendengarkan kuliah Cak Nur, saya mulai bergelut di Sains, dan mulai ‘ngeh’ apa yang Cak Nur sampaikan untuk meng-apresiasi gerbong sejarah kereta peradaban Islam yang sedemikian panjang.. Kakek saya memberikan nama kedua saya (ra syin dal alif noon) memiliki akar kata yang mirip dengan Khalifah Harun Ar Rasheed, dan juga Spanish muslim philosopher, physician, cum jurist Ibn Rushd, dimana Barat mengenalnya sebagai Averoes. Dua tokoh ini adalah pilar yang berkontribusi besar dalam tradisi keilmuan, yang satu sebagai patron, yang kedua sebagai penelitinya. May Allah ta’ala bless them both.

Dalam masa keemasan Khilafah, dunia belajar optics yang dijabarkan oleh Ibn al Haytham (Al Hazen). Maka tiap kali saya melihat mikroskop dalam upaya melihat ‘makhluk halus’ jaringan tubuh dan sel, saya tidak bisa melupakan dua nama, Al Hazen dan Leuwenhoek (ada bukunya yang ditulis bu Laura Synder yang judulnya Eye of Beholder and the reinvention of Seeing)

Kita peneliti paham susahnya meneliti tanpa ada dana. Dan saya menemukan jawaban mengapa ilmuwan muslim mampu berkarya secara produktif bahkan diantara mereka menguasai multisubyek. Para Khalifah memberikan mereka dana dan fasilitas untuk meneliti secara serius. Tentu tidak hanya dana dan fasilitas, tapi juga ekosistem keilmuan untuk berpikir dan mengasah intelektual (scholarship). Mereka tidak kuatir bagaimana pendidikan anak-anak mereka, dan kemana harus pergi kalau ada yang sakit. Khalifah dulu berkomitmen agar rakyatnya punya pasar, sekolah, dan fasilitas kesehatan yang bisa diakses siapapun. Baik oleh Muslim dan Non Muslim. Bahkan ketika umat Yahudi dipersekusi oleh Eropa, kemana mereka pergi? tidak lain, mereka diterima oleh Sultan dengan senang hati, mereka diterima dan berkarya secara produktif dibawah perlindungan peradaban Khilafah.

Di tahun politik lokal ini memang istilah ‘khilafah’ menjadi monster. Namun ia mungkin menjadi monster menakutkan bagi mereka yang belum bisa meng-apresiasi panjangnya gerbong sejarah peradaban dan keilmuan. Terima kasih Cak Nur.[]

Share artikel ini: