Khilafah dan Riwayat Kualitas Pendidikan

Oleh Hadi Sasongko (Direktur POROS)

Khilafah Islamiyah dalam perspektif lintasan sejarah, memiliki konsep pendidikan yang unggul. Sepanjang perjalanan Khilafah pendidikan mendapatkan perhatian besar.

Pada masa kekhilafahan sekolah tinggi Islam dilengkapi dengan diwan (auditorium, gedung pertemuan), asrama pelajar/mahasiswa, perumahan dosen dan ulama. Sekolah-sekolah itu juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur, ruang makan, dan taman rekreasi. Di antara sekolah tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah an-Nashiriyah di Kairo. Madrasah al-Mustanshiriyah, misalnya, didirikan oleh Khalifah al-Mustanir pada abad ke-6 Hijriah. Sekolah ini memiliki auditorium dan perpustakaan yang dipenuhi oleh berbagai buku untuk keperluan belajar mengajar. Sekolah ini juga dilengkapi dengan pemandian dan rumah sakit. Ad-Dimsyaqi mengisahkan dari al-Wadliyah bin Atha’ bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memberikan gaji kepada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Artinya, 63,75 gram perbulan. Kalau diuangkan (dengan asumsi 1 gram emas seharga Rp 500.000), gaji mereka sebesar Rp 31.875.000.

Islam tidak membuat dikotomi antara sains teknologi dengan ilmu akhirat. Khilafah banyak mengeluarkan investasi untuk pendidikan dan penelitian. Institusi-institusi tertinggi (dikenal: madrasah) didirikan sejak abad ke-11 di semua kota besar. Kurikulum mencakup ilmu-ilmu Islam tentang al-Quran dan hadis, sebagai dasar bagi ilmu-ilmu alam seperti matematika, kedokteran, geometri, astronomi, seni dan bahasa Arab. Para alumninya banyak berkarir dalam profesi beragam termasuk guru, dosen, dan posisi pemerintahan. Hal ini menjadikan Khilafah mampu menghasilkan banyak pribadi-pribadi besar dan kemajuan ilmu. Banyak penemuan diperoleh pada masa Khilafah. Armstrong (2002) mencatat, “Muslim scholars made more scientific discoveries during this time than in the whole of previously recorded history.”

Di antara para ilmuwan besar yang dilahirkan Khilafah adalah al-Khawarizmi (matematika), Ibn al-Haitsam (Bapak Optik), Ibn al-Nafis (fisikawan), Ibn Sina (fisikawan/kedokteran), Ibnu Hazm (filosof), Ibn Khaldun (sejarahwan dan sosiolog), al-Ghazzali (teolois), Jabir Ibnu Hayyan (Bapak Kimia) dan ar-Razi (ahli kimia). Banyak lagi para ilmuwan besar lainnya yang lahir pada masa Khilafah. Ilmu pengetahuan yang disumbangkan oleh Khilafah melalui para ilmuwannya bukan sekadar bermanfaat bagi warganya, melainkan juga bagi seluruh dunia. Tidak mengherankan apabila Wiet (1971) menyatakan: “People of the west should publicly express their gratitude to the scholars of the Abbasid period, who were known and appreciated in Europe during the Middle Ages.”[]

Share artikel ini: