Oleh: Taufik S. P. (Direktur Geopolitical Institute)
Kapitalisme adalah satu prototipe sistem yang gagal. Sementara sosialisme – komunisme juga telah gagal menjadi sistem dunia yang mampu mensejahterakan umat manusia. Bahkan sistem ini telah terbukti menjerumuskan manusia ke dalam lembah kemunduran dan kehancuran. Harapan satu-satunya tinggallah Islam.
Sistem Islam yang bernama al khilafah adalah sistem pemerintahan yang menjadikan akidah Islam sebagai asas penyelengaraan urusan masyarakat dan negara serta menjadikan syariahnya sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur seluruh interaksi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Khilafah Islam tegak di atas empat pilar utama, yakni: (1) kedaulatan ada di tangan syariah; (2) kekuasaan di tangan umat; (3) kewajiban membaiat hanya seorang khalifah; (4) hak adopsi hukum ada di tangan Khalifah semata.
Berkaitan dengan poin pertama, Khilafah Islam adalah negara yang tegak di atas sebuah pandangan bahwa kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum ada di tangan Asy-Syari’, bukan di tangan rakyat. Oleh karena itu, hukum yang diterapkan untuk mengatur seluruh interaksi rakyat harus bersumber dari wahyu Allah SWT. Rakyat sama sekali tidak memiliki hak untuk menetapkan hukum. Rakyat hanya diberi hak untuk berijtihad dan menggali hukum dari dalil-dalil syariah jika memang mereka memiliki kualifikasi sebagai mujtahid.
Pandangan seperti ini tentu bertolak belakang dengan sistem demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam membuat hukum, juga dengan sistem monarki dan kekaisaran absolut yang menetapkan titah raja sebagai hukum yang wajib ditaati. Pandangan semacam ini tentu tidak menjadikan Khalifah memiliki kekuasaan absolut, atau berpotensi menjadi penguasa diktator. Pasalnya, Khalifah tidak memiliki hak untuk menetapkan hukum, tetapi ia wajib tunduk di bawah hukum syariah, sebagaimana kaum Muslim yang lain.
Adapun berkenaan dengan poin kedua (kekuasaan ada di tangan rakyat), syariah Islam telah menetapkan bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah. Artinya, seseorang baru absah menduduki jabatan Khalifah ketika ada pelimpahan kekuasaan dari rakyat. Rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengangkat seseorang menjadi kepala negara melalui metode baiat.
Berkaitan dengan poin ketiga (kewajiban rakyat membaiat hanya seorang khalifah), sesungguhnya hal ini menjelaskan dua hal. Pertama: metode syar’i pengangkatan seorang Khalifah adalah baiat yang dilakukan oleh rakyat dengan keridhaan dan atas pilihan mereka. Baiatlah metode syar’i pengangkatan kepala negara (Khalifah) di dalam sistem pemerintahan Islam. Adapun teknis pelaksanaan baiat bisa dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi, atau rakyat secara langsung melalui Pemilu. Metode pengangkatan kepala negara seperti ini tentu berbeda dengan metode pengangkatan kepala negara dalam sistem kerajaan dan kekaisaran. Pasalnya, di dalam sistem kerajaan dan kekaisaran, suksesi kekuasaan dilakukan dengan cara pewarisan dari raja atau kaisar sebelumnya kepada putera mahkota. Rakyat, dalam sistem kerajaan dan kekaisaran, tidak memiliki hak untuk menduduki tampuk kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa metode pengangkatan kepala negara dalam sistem Khilafah Islamiyah berbeda dengan metode pengangkatan kepala negara dalam sistem kerajaan dan kekaisaran. Kedua: Umat hanya berhak membaiat seorang khalifah. Ini berarti, Khalifah adalah pemimpin umum atas kaum Muslim di seluruh dunia. Tidak dibenarkan alias haram umat Muslim sedunia memiliki banyak pemimpin seperti sekarang ini. Selain itu, banyaknya pemimpin di Dunia Islam terbukti memecah-belah mereka sebagai satu umat.
Adapun poin keempat (hak adopsi hukum ada di tangan Khalifah), maksudnya adalah hak untuk mengadopsi hukum tertentu yang akan diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Khalifahlah satu-satunya pemegang otoritas untuk mengadopsi hukum. Pasalnya, pengaturan urusan rakyat tidak mungkin diatur dengan banyak hukum. Padahal para mujtahid kadang-kadang berselisih pendapat dalam satu urusan. Dalam keadaan seperti ini, harus ditetapkan sebuah hukum untuk mengatur urusan tersebut. Pihak yang berhak untuk mengadopsi sebuah hukum menjadi hukum negara yang mengikat setiap orang yang hidup di bawah Khilafah Islam hanyalah Khalifah. Hanya saja, dalam melakukan proses adopsi hukum tertentu Khalifah harus memperhatikan aspek-aspek berikut ini. Pertama: jika kepala negara tidak bisa melaksanakan pengaturan urusan umat, kecuali dengan mengadopsi hukum tertentu, maka Khalifah wajib melakukan proses tabanni/adopsi hukum. Ini didasarkan pada kaidah syar’iyyah, “Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib.” Sebab, Khalifah berkewajiban melakukan pengaturan urusan umat. Jika pengaturan urusan umat tersebut mengharuskan adanya adopsi hukum tertentu oleh Khalifah maka Khalifah harus melakukan adopsi hukum. Misalnya, adopsi hukum dalam masalah perjanjian dengan negara-negara luar. Kedua: jika Khalifah mampu mengatur sebagian urusan umat sesuai dengan syariah Islam, tanpa harus mengadopsi hukum syariah tertentu, maka Khalifah boleh melakukan adopsi hukum dan boleh juga tidak. Misalnya, penetapan jumlah minimal saksi, dan lain-lain.
Adopsi hukum tertentu oleh kepala negara sudah dilakukan sejak masa Khulafaur Rasyidin. Khalifah Abu Bakar ra. Pernah menetapkan hukum syariah tertentu pada kasus pembagian harta dan talak. Beliau membagi harta kepada kaum Muslim dengan kadar dan ukuran yang sama, tanpa memilah mana yang masuk Islam lebih dulu dan mana yang lebih akhir masuk Islam. Dalam masalah talak, beliau menetapkan bahwa ucapan talak tiga tetap jatuh sebagai talak satu. Ini berbeda dengan kebijakan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau pernah membagi harta kepada kaum Muslim berdasarkan siapa yang masuk Islam lebih dulu. Siapa yang masuk Islam lebih dulu, diberi bagian yang lebih besar. Beliau juga menetapkan ucapan talak tiga jatuh sebagai tiga kali talak. Beliau pun menetapkan tanah-tanah yang ditaklukkan lewat peperangan sebagai ghanimah untuk pemasukan Baitul Mal, tidak dibagi-bagikan kepada pasukan yang ikut berperang.
Namun demikian, pada masa Khulafaur Rasyidin hingga periode Kekhilafahan setelahnya, proses adopsi hukum hanya terjadi pada hukum-hukum syariah tertentu. Tak satu pun masa Kekhilafahan Islam yang mengadopsi hukum-hukum syariah secara menyeluruh, kecuali pada masa Kekhilafahan Bani Ayyub. Penguasa Bani Ayyub telah mengadopsi (tabanni) mazhab Syafii sebagai undang-undang dasar negara. Hal ini juga pernah terjadi pada Kekhilafahan Utsmani, yang mengadopsi mazhab Hanafi sebagai mazhab negara.
Dalam kitab Ad-Darr al-Mukhtar wa Radd al-Mukhtar (II/131-132) disebutkan bahwa pada masa Kekhilafahan Utsmani, negara menetapkan kesatuan dalam pelaksanaan puasa Ramadhan dan shalat Id. Ketetapan ini didasarkan pada mazhab Hanafi.[]